Aku kangen,
pada masa kecilku di kota kecil bernama Wlingi. Ketika malam tiba, dan purnama sedang tersenyum bulat bundar, di teras toko kami, kami menggelar tikar. Engkong (kakek)ku bersila, dengan rokok lintingan klobot-nya, ada kong Yo (Pak Pariyo- teman keluarga kami, seorang priyayi Solo) yang ikut bercengkrama. Aku suka sekali duduk dipangkuan Kong Yo (kami - aku dan saudara-saudaraku memang memanggil beliau dengan sebutan 'kong' bukan eyang, meskipun kami memanggil istrinya Yangti - Eyang Putri), dia akan nembang sambil menggoyang-goyangkan kakinya, sehingga aku seperti duduk di kursi goyang. Aku akan terkekeh dan menggumamkan "eeeee ....eeee...eeee..." Aku kangen kembali ke saat itu.... Persahabatan yang tulus meski kami tidak sama.
Aku kangen,
pada deretan toko di sepanjang Jalan Majegan (sekarang jadi Jalan Gajah Mada), berbedak (pintu) kayu, berisikan keramahan. Dulu sekali, jalan itu bernama Kampoong Familie, karena sepanjang jalan itu dihuni oleh sanak kerabat kami. Ketika aku kecil, sudah ada satu dua keluarga dari 'luar' yang jadi tetangga kami. Di depan toko kami, ada pasangan pengantin baru, namanya Mas Mamiek dan mBak Mamiek (nama mereka memang sama), orang Jawa, Mas Mamiek adalah santri (ini sebutan untuk Islam taat versi Mamie Papieku), mBak Mamiek lebih 'moderat'. Kami bertetangga baik. Mereka membuka toko alat-alat sekolah, aku kerasan main di sana, main-main sambil cuci mata. Ketika waktu sholat tiba, aku suka mengintip mereka sembahyang. Menarik sekali, karena aku tidak pernah melihat cara senbahyang seperti ini. Aku mulai belajar perbedaan dan penghormatan akan perbedaan.
Aku kangen,
kembali ke masa SDku - SD Babadan Satu, SD negeri terbaik di Wlingi. Karena SD negeri, di kota kecil pula, kami semua harus ikut pelajaran Agama Islam. Aku ingat sekali, gurunya adalah Pak Muchlis, laki-laki sederhana dan sabar, selalu memakai peci hitam di kepalanya. Aku menyimak pelajarannya, karena beliau pandai mendongeng, aku juga belajar menulis Arab, pernah aku dibuat bangga karena ulangan menulis Arabku nomer satu di kelas. Aku ikut ke Mushola untuk praktek wudhu dan sholat. Di bagian ini kami, aku dan teman-teman Kristen lainnya dibebaskan untuk cuma jadi penonton. Dari beliau aku belajar menghargai dan bertoleransi.
Aku kangen,
pada tetanggaku di bagian selatan ruas jalan Majegan ini. Mereka umumnya adalah orang-orang Mentaraman - orang Jawa yang berakar pada budaya Jogya. Mereka seperti kami, saling bersaudara. Mereka umumnya adalah Islam Abangan, tetapi ada pula yang Katholik, bahkan ada salah satu dari mereka yang menjadi Uskup (pimpinan Gereja Katholik) Surabaya, almarhum Monsinyur Dibyo, beliau adalah kebanggaan kami. Aku senang main ke rumah mereka, adem dan menyimpan aura magis. Mungkin karena mereka suka laku puasa dan tapa. Satu keluarga yang akrab adalah keluarga Bu Dibyo. Salah satu Putrinya teman sekelasku, Pur namanya. Kami berangkat dan pulang sekolah bersama, main dan belajar juga bersama. Ibunya menghidupi delapan anaknya seorang diri karena Bapaknya hilang dalam peristiwa G-30S PKI; pun tidak ada seorangpun dari kami yang menjauhi maupun menghakimi. Kami ikut berempati pada mereka. Ketika waktu makan siang tiba, mereka makan bersama beralas tikar. Nasi dibagikan oleh Bu Dibyo, sayur boleh ambil sesukanya, tapi lauk, terutama daging, hanya boleh mengambil satu potong saja. Pernah aku menyaksikan mereka makan dengan lauk daging masak terik dengan sambal terasi dan kerupuk gendar. Aku benar-benar menelan air liur menyaksikan mereka makan. Tentu mereka menawari aku makan, tapi aku cukup tahu diri untuk tidak mengurangi jatah mereka. Aku lari pulang dan meminta emak (nenek) masak lauk serupa untuk esok hari, Dari mereka aku belajar arti rasa syukur dan kebersamaan.
Aku kangen,
pada aroma Pasar Lawas di sore hari. Pasar ini sekarang sudah digusur untuk jadi jalan raya, Jalan Wirabumi namanya. Aroma dari sayur busuk bercampur dengan bau daging, terasi, dan bumbu dapur yang tersisa dari keramaian pagi hari, tidak lagi memuakkan kami. Pasar ini ada di seberang jalan agak menyerong ke selatan dari tokoku. Sore hari anak-anak kecil senang bermain petak umpet di sana, karena pasar sudah tutup, tinggal lincak-lincak kosong yang menjadi tempat sempurna untuk bersembunyi. Ada satu perempuan tua di sana, namanya Wak (bu de) Sho Hie, Tionghoa totok. Dia sebatang kara. Suaminya sudah meninggal entah tahun kapan, anak semata wayangnya tertinggal di RRC. Rumah dan tokonya hanya sepetak kecil. Aku suka mengamati peralatan dapurnya, panci kecil, anglo kecil, wajan kecil, teko kecil, semua serba kecil; piring seng, cangkir seng, sederhana sekali. Makan sehari-hari beliau juga sederhana, demikian juga pakaiannya: celana chiong sam yang sudah kumal. Beliau mengisi waktu luangnya dengan merajut, aku pernah diajari. Dengan dua jeruji sepeda sebagai alat rajutnya dan benang wool warna abu-abu atau coklat , tangan beliau akan lincah menari-nari, menghasilkan jaket yang hangat. Wak sho Hie adalah wanita yang ramah tapi tidak banyak omong. Dia hemat sepanjang hidupnya untuk mengumpulkan bekal pulang ke negaranya. Aku belajar kesederhanaan, ketekunan, dan ketabahan dari beliau.
Aku kangen,
pada sungai kecil yang membelah kota kecil kami. Kali Lekso namanya, membelah Wlingi menjadi bagian timur dan barat. Di sungai kecil ini aku suka bermain dan berenang bersama teman-teman kampungku. Mereka tinggal di kampung di belakang rumah. Senang sekali bisa berendam di air yang jernih, mengejar ikan-ikan kecil, uceng namanya, endemik Kali Lekso. Ikan uceng ini sebesar jari kelilingking, rasanya gurih kalau digoreng. Setelah puas main air, aku suka menyusuri sawah di atasnya untuk mencari suplier yang cantik-cantik (bahkan pada waktu itu suplier belum menjadi tanaman hias yang sengaja ditanam di pot). Sesampai di rumah, Mamie akan menyambut dengan muka galak. Duduk tidak boleh gerak, tidak boleh bicara adalah hukuman untuk gadis kecil yang bandel! Mamie menghukum bukan karena aku bermain dengan anak-anak kampung, mereka toh sudah dikenal dan mengenal kami; tetapi lebih karena bahaya yang mengintai. Kali Lekso, meskipun kecil, menyimpan potensi banjir yang menakutkan. Jika banjir tiba, akan ada kehebohan di pagi hari, karena sekolah kami ada di bagian barat kali ini dan kami tinggal di timur kali. Banjir sering kali menghayutkan jembatan sesek (bambu) yang menghubungkan Wlingi timur dan Wlingi barat. Seandainyapun jembatan tidak hanyut, akan bahaya dan sulit sekali menitinya. Tetapi entah kenapa, aku menikmati saat-saat itu. Kali Lekso telah mengajari aku untuk mencintai dan menghormati alam, bahwa air, meskipun kelihatan bersahabat, jangan pernah dilawan, karena dia bisa menyemburkan amarah yang berbahaya.
Aku kangen,
pada suasana persahabatan tanpa basa basi yang pernah aku reguk di masa kecilku. Di sebelah utara, di tusuk sate Jalan Majegan, adalah Kantor Wedono (pimpinan wilayah kawedanan, setingkat lebih tinggi dari Kecamatan). Pejabat Wedono, kami menyebutnya Pak Wedono dan keluarganya tinggal di sana, di belakang pendopo. Tidak ada yang angker di sana, kecuali pohon tanjung besar yang kata emakku adalah rumah wewe gombel (kuntil anak). Kami bebas bermain di halamannya yang luas, bersepeda, 'luru' (mengumpulkan) kecik (biji buah) tanjung untuk main dakon dan kecikan, dan bunga tanjung untuk kami ronce jadi kalung seperti gaya hula-hula. Sejauh yang aku ingat, Pak Wedono dan keluarganya juga tidak menjaga jarak dengan kami. Kami, anak-anak kecil, bisa bermain sampai masuk-masuk ke belakang, ke kediaman mereka. Mereka juga suka beranjang sana ke rumah kami. Ibu Wedono suka belanja sendiri ke toko kami. Juga Pak Lurah, Pak Carik, kami semua akrab tak berjarak, aku juga berteman dengan anak-anak mereka. Masih bisakah kita temui pejabat seperti ini di era sekarang ini?
Aku kangen,
pada Pak Noyo dan Ibu, mereka adalah orang tua angkatku, teman kerja papieku. Aku di-kue pang-kan (diberikan) kepada mereka karena aku sakit-sakitan, dan hanya beliau berdualah yang berhasil menenangkan aku dalam buaian mereka sehingga emak dengan spontan menyerahkan aku kepada mereka. Mereka langsung memberiku nama ASTUTI - artinya persembahan yang suci. Nama itu ternyata membawa berkah, aku sembuh dan tumbuh menjadi anak yang sehat dan sedikit bandel. Mereka berdua tidak mempunyai anak kandung, semua kasih sayang tercurah habis untuk aku, demikian aku, sayang sekali ke beliau berdua. Libur sekolah adalah saat yang aku tunggu-tunggu, karena aku bisa ke Blitar dan menginap barang seminggu dua minggu, dan menikmati kemanjaan anak tunggal bersama mereka. Mereka tidak menganut agama apapun, tapi hidup mereka lebih saleh dari umat agama manapun. Mereka hanya mempercayai ada kekuatan yang Maha segalanya di atas kita. Untuk itu, mereka mengajariku untuk selalu rendah hati, jujur, sederhana, cinta kepada sesama dan alam - ojo dumeh. Saat ini hanya doa yang dapat aku kirim untuk beliau berdua, karena belum sempat aku mampu membalas cinta mereka, mereka harus menghadap Sang Khalik. Pak - Bu- anakmu kangen...
Aku kangen,
pada suasana damai tanpa curiga, ketika persaudaraan berpagut dengan kasih sayang. Aku kangen pada masa kecilku, ketika keragaman dibungkus dengan tepo seliro tanpa berhias curiga. Aku ingin pulang, ke pelukan hangat bernama empati tanpa sekat. Aku kangen, pada hati yang murni yang menghidupi perjuangan dengan rasa ikhlas dan syukur. Mengapa semakin jauh dari jangkauan? Aku sudah lelah dengan angkara dan kebuasan bernama panji-panji agama dan perbedaan 'tanda lahir'. Aku sudah letih menyaksikan ketentraman dicabik-cabik oleh teror tak berkesudahan. Aku kangen, aku ingin pulang....
(aku adalah seorang Tionghoa, yang dibesarkan dalam keberagaman)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H