Mohon tunggu...
Odila Paska
Odila Paska Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Wajah Cantik Seorang Ibu

24 Maret 2017   12:46 Diperbarui: 25 Maret 2017   02:00 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

          Senja ini terasa sangat sejuk. Aku dan temanku duduk di bawah pohon besar sambil memandang betapa luasnya hamparan bunga itu. Dari atas bukit kecil ini tampak seperti titik titik warna warni. Bunga bunga liar itu tak pernah diganggu keberadaanya. Dari luasnya hamparan itu hanya ada satu pohon di tengah-tengahnya. Ditambah dengan langit senja yang berwarna merah kekuningan. Aku termenung, memandang pemandangan yang membuatku merasa nyaman dan tenang. Temanku itu tak bergeming, ia sama sepertiku yang terus memandang ke depan. Tak satupun dari kami yang mengucapkan satu katapun. Sampai ahkirnya diapun membuka pembicaraan. “jadi apa yang mau kau bicarakan?” tanyanya padaku. Pastilah aku mengajaknya kemari karena suatu alasan. Inilah tempat yang tepat untukku mencurahkan isi hatiku. “Ah.. itu, kau pasti tahu Amanda bukan? Ia cantik, berbakat dan pintar. Aku tak mengerti mengapa ia begitu baik hingga ketika aku merasa iri, aku mengingat kebaikannya padaku dan itu membuatku sesak, terlebih lagi ia adalah saudara perempuanku.”

            Ia diam dan tersenyum. Entah apa yang ada dipikirannya, itu membuatku sedikit jengkel, bagaimana tidak? ia mentertawakan curhatanku. Aku memilih untuk diam dan tak berkata apapun. Diapun begitu, tak mengatakan apapun. Bedanya, wajahnya terlihat cerah tersenyum. “Bagiku, kau terlihat cantik,” katanya padaku. “Jangan katakan itu jika itu hanya untuk membuatku senang, aku tahu aku tak menarik,” kataku dengan nada kesal. Ia semakin tersenyum lebar. “iya… iya,” katanya sambal tertawa kencang. Aku memonyongkan bibirku menandakan bahwa aku sedang kesal. Lalu ia mengacak-acak rambutku dan beranjak berdiri. Ia mengulurkan tangannya padaku dan berkata, “ayo pulang, ini sudah hampir waktunya makan malam.” Lalu aku meraih tangannya dan berusaha bangkit berdiri. Memang matahari sudah tak menampakkan wajahnya. Langitpun berubah menjadi berwarna oranye pekat pertanda hampir petang. Aku dan kawanku pulang menaiki sepeda.

            Sesampainya di rumah aku langsung menuju ruang makan. Ya… hampir setiap hari aku melihatnya. Bagaimana tidak, kami satu rumah. Meski begitu aku tetap tak dapat membenci Amanda sepenuhnya. Begitulah hubungan saudara tiri. Sesungguhnya apa yang membuatku membencinya karena dia masih memiliki keluarga dan aku tidak, maksudku ya, namun bukan kandung. Meskipun keluarga ini baik, aku tetap penasaran siapa ibuku sebenarnya.

            Dulu aku tinggal di panti asuhan. Disebuah kota kecil nan jauh dari hiruk pikuk kota. Di depan pantiku terdapat sungai, meskipun tak deras namun cukup besar. Ibu panti mengatakan bahwa aku dulu ditemukan di sungai itu. Ia mengatakan bahwa aku basah kuyub. Namun setelah beberapa tahun keluarga ini mengadopsiku. Waktu itu aku masih belajar membaca. Ya… dan pada ahkirnya disinilah aku. Aku bersyukur mama dan papaku sekarang adalah orang yang baik. Papa memiliki usaha peternakan di pinggir kota, sekitar dua sampai tiga jam dari rumah ini.

            Terkadang aku melupakan fakta bahwa aku adalah seorang anak angkat. Teman-temanku di sekolah sangat baik, keluarga angkatku baik, dan aku punya seorang sahabat yang baik. Namun, ada beberapa teman yang menggangguku. Mereka mengatakan bahwa aku hanyalah anak buangan yang dipungut. Sesungguhnya aku tak peduli dengan mereka, namun Amanda, ia membelaku dan bertarung seperti ayam jago untukku. Aku benci itu, sangat membencinya. Itu hanya akan membuatku semakin merasa bersalah padanya. Mengapa ia mau menderita karena aku. Aku tak menyukainya. Akan lebih baik aku yang menanggungnya, aku cukup kuat untuk itu. Namun, terkadang aku membiarkannya.

            Ditengah-tengah acara makan malam kami, ada seseorang mengetuk pintu. “Biarkan aku yang membukanya,” kataku pada mama yang hendak beranjak dari kursi. Aku berjalan mendekati pintu lalu aku membukanya. Aku mendapati sesosok laki-laki berjakun seumuran denganku. Kulitnya kuning langsat bersih. Tingginya kira-kira lebih dari 170-an dan aku mengenal sosok ini. Ya, dia adalah orang yang aku temui tadi sore. Ia tersenyum melihatku membukakan pintu untuknya. “oh Brian? Masuklah.” Lalu ia melangkah menuju ruang makan untuk menyapa orang tuaku. “halo bibi,” katanya ramah sambil tersenyum. “oh hai Brian, bagaimana kabarmu, ahkir-ahkir ini aku jarang melihatmu.” Ia tersenyum manis, “baik bi, ahkir-ahkir ini OSIS sedang menyiapkan acara jadi aku pulang sore setiap harinya, oiya, bundaku membuat ini untuk bibi, tadi nenek datang membawa banyak sawi untuk dibuat.” “terima kasih nak, sampaikan terima kasihku pada ibumu.” Kata mama sambil menerima semangkuk sayur yang di bawa oleh Brian. “Bi, Brian ingin pamit pulang.” Katanya sambil beranjak hendak pulang. “Loh nak, mengapa tidak menunggu sebentar, sambil ikut makan disini?” kata mama untuk mencegah Brian pulang lebih awal. Ahkirnya ia ikut kami makan bersama.

            Keesokannya aku melihat Brian mengunci gerbang pintunya saat aku hendak berangkat bersama Amanda. Ia melambai padaku. Aku menuntun sepedaku berjalan ke arahnya. Kami memang terbiasa berangkat bersama menggunakan sepeda. Sekolah kami tak jauh dari rumah kami, mungkin hanya berjarak sekitar satu kilometer. Aku dan Brian sering bersama-sama. Meskipun aku juga satu sekolah dengan Amanda namun aku lebih sering bersama-sama dengan Brian. Mungkin karena kami seumuran, berbeda dengan Amanda yang lebih tua satu tahun. “Bella, apa hari ini ada tugas?” ia bertanya padaku sambil melihat kearah depan supaya ia tak jatuh dari sepedanya. “Ada, matematika,” kataku padanya. “Oh sepertinya sudah dari minggu lalu aku menyelesaikan tugas itu.” katanya sambil sedikit menyombongkan diri. “Oh Brian kita sudah sampai gerbang.” Aku, Amanda, dan Brian segera memarkirkan sepeda kami di tempat parkir. “Kak kami akan ke kelas duluan ya.” Kataku kepada Amanda. Ia mengangguk pertanda mengiyakan.

            Aku dan Brian memang sekelas, kami bahkan sebangku. Semenjak sekolah dasar sampai SMA kami selalu satu sekolah, namun tak selalu satu kelas. Aku merasa kami selalu satu hati. Entah mengapa, apapun yang terjadi padanya akupun ikut mersakannya, begitu pula dengan Brian.

           

            “Mama… aku pulang.” Kataku sambil berjalan ke arah kamarku yang berada di lantai dua. Aku berganti pakaian lalu turun ke lantai satu untuk makan siang. Sampai di dapur mamaku masih menyiapkan semua makanan. “Nak, kakakmu belum pulang?” kata mama bertanya sambil mengaduk-aduk sesuatu yang berada di wajan. “Amanda mengatakan ia punya kelas tambahan untuk ujian nasional.” Mamaku meng-o panjang tanda ia mengerti. “Ma, hari ini kita jadi mengunjungi panti asuhan tempatku dulu?” Lalu mama mengangguk lembut. Ia meletakkan semua makanan ke atas meja.

            Selesai makan mama menyuruhku untuk bersiap-siap pergi ke panti asuhan. Mungkin tak banyak yang kubawa, hanya beberapa pakaian kekecilan dan beberapa makanan. Aku  sudah tak sabar bertemu Lina. Dia teman seumuranku yang selalu bersama-sama denganku saat aku masih tinggal di panti. Namun nasibnya dengan nasibku berbeda, bias dibilang aku lebih beruntung. “Turun nak, mama sudah siap, ayo kita berangkat.” Mendengar teriakan mama aku turun dengan segera. Mungkin ini akan menjadi perjalanan yang panjang.

            Sesampainya di sana aku melihat Lina. Aku berlari dan memeluknya. “oiya, aku membawa sesuatu untuk mu dan beberapa teman.” Lalu ia tersenyum manis. Aku mengambil kardus dan beberapa kotak makan yang ada di bagasi lalu memberikannya kepada Lina. “Kau tahu aku punya berita baik dan buruk.” Aku menautkan alisku. “berita mana yang ingin kau dengar terlebih dahulu,” lanjutnya. “Berita baik,” kataku penasaran. Lalu Lina tersenyum girang. “aku ahkirnya diadopsi oleh sebuah keluarga, mungkin tak terlalu kaya namun ibunya baik dan ramah begitu pula dengan ayahnya.” Aku langsung memeluknya, ahkirnya dia akan merasakan kehangatan keluarga. Selama ini dialah yang paling menderita karena memang dialah yang paling dewasa. Aku melepas pelukannya, “lalu berita buruknya.” Lalu Lina terdiam sesaat. “ini tentang dirimu.” Aku menautkan alisku. Aku semakin penasaran dengan apa yang dia katakana. “Kau tahu, ibu aslimu masih hidup, dan dia mencarimu. Katanya ia sudah mencari dirimu dan saudaramu kemana-mana.” Aku terperanjat mana mungkin ia masih hidup. “Bagaimana kau tahu itu?” tanyaku padanya. “Kemarin ia kemari.” Aku semakin terkejut. “cobalah tanyakan pada ibu panti.” Aku langsung berlari masuk ke panti tak peduli dengan teriakan Lina.”

            “hah… hah… hah…” aku berusaha mengatur nafas setelah berlarian. “Ibu Maria aku ingin bertanya sesuatu.” Ibu Maria hanya tersenyum tenang, “pasti kau sudah dengar dari Lina.” Ia menyuruhku duduk dan memberikanku teh panas. Lalu ia memberikan sebuah foto. Aku terkejut, bukankah ini foto yang berada di dompet Brian. “Ini alamat ibumu, ia memberikannya padaku supaya kau dapat menemukannya, dan satu lagi, kau mempunyai saudara laki-laki, mungkin saudaramu masih tinggal di panti asuhan atau dia telah di adopsi aku tak tahu.” Aku semakin terkejut.

             Selama perjalanan pulang aku termenung. Aku memandangi foto yang diberikan oleh ibu Maria. Lalu aku menanyakan alamat yang ada tertera disana pada mama. Mama tersenyum, mungkin ia tahu apa yang tejadi. Lalu ia menunjukan alamat itu. Mungkin dia tahu aku sangat terkejut hari ini. Terlebih lagi nama saudara kembarku yang di beri tahu ibu Maria, Cristianus Brian. Bukankah… itu nama tetanggaku sekaligus sahabatku. Aku hanya berharap hari ini adalah sebuah mimpi.

            Keesokannya aku pergi ke rumah Brian. Aku mengetuk pintu rumahnya dengan sangat tidak sabar. Tak lama kemudian pintu itu terbuka. “Apa kau tahu tentang ini?” belum sempat ia bertanya aku sudah memotongnya. Ia terbingung, lalu ia tersenyum petanda ia tahu perihal apa yang aku maksudkan. Ia memelukku dan aku menangis sejadi-jadinya. “Aku tahu sejak lama adik kembarku, mungkin kau yang terlalu lama menyadarinya.” Mendengar itu aku berhenti menagis, ia mengusapkan jarinya padaku untuk mengelap air mataku. “Sudah sejak lama pula aku mengetahui siapa ibu asliku, kau tak tahu bukan kalau bundaku bukan ibu asliku?”Aku terdiam, “apa kau sudah pernah melihat wajah ibu kita?” “Iya, ia cantik sepertimu.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun