Mohon tunggu...
Ode Abdurrachman
Ode Abdurrachman Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Trading Blogger - Pemerhati Pendidikan | Ketua IGI Provinsi Maluku | Ketua Dikdasmen PDM Kota Ambon Guru, Pengajar, aktivis Muhammadiyah Kota Ambon

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ulama Serabutan; Ulama Multiprofesi dalam Sistem Pendidikan Islam di Abad Pertengahan

2 Desember 2012   12:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:18 1688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Muatan tulisan ini dengan judul Ulama Serabutan, hanya untuk mendokumentasi beberapa tulisan saya sebelumnya.....

Abstrak

Ulama tidak saja dituntut untuk menguasai ilmu keagamaan juga ilmu-ilmu terapan secara mendalam atau profesional sehingga mampu memberikan solusi cerdas terhadap permasalahan yang dihadapi ummat, sehingga peran ulama tidak saja menguasai kompetensi keulamaannya namun secara spesifik, harus menguasai ilmu dan kemampuan Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Seni sebagai kreativitas lain agar mampu menjawab tantangan zaman, bahkan harus mampu mempraktekan keilmuwannya di tengah masyarakat. Dari seorang tokoh spiritual keagamaan, kemudian nyambi (baca: sambil) menjadi cendikiawan, politisi, ekonom, dan birokrat bahkan praktisi. Atau peran lebih praktsi mejadi ilmuwan, pengacara, pedagang, atau tokoh pemerintah dan berbagai aktivitas lainnya. Aktivitas multiprofesi ini dikenal dalam istilah Jawa Serabutan. Aktivitas Serabutan ini tentunya harus didukung juga dengan sisi keilmuan yang berbanding lurus dengan aktivitas kesehariannya. Meski demikian, faktor-faktor inilah yang kemudian terkadang menjadi bumerang terhadap peran aktif ulama itu sendiri karena dianggap tidak seimbang dan bergeser dari keulamaannya sehingga terkesan memihak pada satu peran tertentu di tengah masyarakat dan menjadi bertentangan dengan tujuan ulama sebagai tokoh spiritual yang mampu mencerahkan ummat.

Keyword : Ulama Serabutan, mutliprofesi, sistem pendidikan Islam, abad pertengahan

A. Ulama dan Perannya  dari Masa ke Masa

Tradisi intelektual yang dibangun pada masa klasik di masa Rasulullah Muhammad Saw, telah begitu menentukan bentuk dan corak pemikiran Islam sehingga apa yang berkembang pada abad pertengahan lebih bersifat konservatif. Jika pada abad-abad sebelumnya bisa dirasakan pesatnya perkembangan pendidikan Islam yang ditandai dengan semangat mengkritik, polemik dalam bentuk karya tulis, munazarah dan pengajaran di madrasah, halqah di masjid-masjid dan perpustakaan, maka pada abad pertengahan ini mengalami kebekuan dan konservatisme dalam sistem pendidikan. Sehingga masa ini dikenal dengan masa taqlid, karena kegairahan berijtihad telah punah.

Meskipun demikian, sebenarnya banyak sarjana-sarjana dan ulama yang sesungguhnya melahirkan karya baru yang penting, sekalipun mereka kadang-kadang kurang menonjol. Sarjana-sarjana tersebut seringkali mengembangkan kreativitasnya mereka di lingkungan istana-istana raja dan amir sehingga didukung sepenuhnya oleh penguasa. Maka disinilah lahir kegiatan budaya baru yang bisa dikatakan sebagai penyelamat dunia Islam dari kemandekan total dalam bidang budaya dan intelektual.

Aktivitas ini baru berkembang pesat pada abad pertengahan dimana telah dikenal adanya lembaga pengajaran berupa Madrasah, yang mana tempat melakukan kegiatan belajar dengan bimbingan instruktur atau mudarris yakni seorang yang bergelar professor (guru besar). Perkembangan pesar dalam bidang pendidikan inilah kemudian melahirkan ulama-ulama besar dengan penguasaan ilmu pengetahuan, sains, kedokteran dan tokoh filusuf terkenal dengan tidak meninggalkan sisi keulamaan mereka.

Tujuan utama dari seluruh bentuk pendidikan Islam ini adalah untuk mewariskan khazanah budaya dari satu generasi ke generasi beriktunya dengan harapan generasi tersebut akan memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari generasi sebelumnya baik secara moral maupun secara intelektual.

B. Ulama Serabutan; Konsepsi dan Realitas Keulamaan

Kata serabutan sendiri berasal dari bahasa Jawa yang berarti silang-menyilang tidak menentu. Namun kosakata ini sering dipakai pada pekerjaan yang beragam dan jika disandarkan pada aktivitas seseorang maka kerja serabutan adalah pekerjaan yang cenderung melakukan apa saja atau berperan dalam banyak pekerjaan. Pengertian ini membayangkan kita pada akar pohon/tanaman serabut, yang memiliki banyak jalur untuk menyerap makanan atau sekedar survive menopang pokok dan pohonnya.

Meski penggunaan bahasa ini sering dipakai untuk pekerja kasar atau  pekerjaan rumahtangga lainnya yang dilakukan oleh house keeping atau pembantu rumah tangga, bukan berarti pekerjaan itu menjadi pekerjaan terhina atau rendahan, faktanya pembantu rumah tangga, atau Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang menjadi pekerja di luar negeri berpenghasilan sangat cukup bahkan berlebih bahkan menjadi pahlawan devisa bagi negara.

Ulama Secara bahasa, ‘ulama’ berasal dari kata kerja dasar ‘alima (telah mengetahui); berubah menjadi kata benda pelaku ‘alimun (orang yang mengetahui – mufrad/singular) dan ‘ulama (jamak taksir/irregular plural). Berdasarkan istilah, pengertian ulama dapat dirujuk pada al-Quran dan hadis. Yang sangat masyhur dalam hal ini adalah : ‘innama yakhsya Allahu min ‘ibadihi al ulama’ artinya: sesungguhnya yang paling taqwa kepada Allah diantara hambaNya adalah ulama (Q.S. Fathir :  28). ‘Al ulama-u waratsatu al anbiya’ artinya : ulama adalah pewaris para nabi – hadith. Secara hakikat, taqwa tidak mudah dipakai untuk kategorisasi, sebab yang mengetahui tingkat ketaqwaan seseorang hanyalah Allah.

Kata al-’ulama’ dan al-’alimun sekalipun berasal dari akar kata yang sama tapi keduanya memiliki perbedaan makna yang sangat signifikan. Perbedaan makna ini dapat ditengarai dalam Al-Qur’an ketika kata al-’ulama’ disebutkan hanya 2 (dua) kali dan kata al-’alimun sebanyak 5 (lima) kali, dan kata al-’alim sebanyak 13 (tiga belas) kali.

Kata serabutan sengaja disandarkan pada aktivitas dan peran mulia seorang ulama yang multiprofesi, profesional, cerdas, berakhlak, menguasai segala bidang dalam aktivitas keulamaannya tidak menutup kemungkinan ulama tersebut adalah ulama serabutan.

Setidaknya Rasulullah telah mecontohkan aktivitas konsep ulama serabutan sendiri, yakni sadar atau tidak bahwa Rasulullah adalah seorang tokoh ulama besar sepanjang sejarah, pemimpin agama, pemimpin militer, cendikiawan, pemimpin politik, ekonom bahkan pedagang yang hebat di jamannya. Para sahabat pun mewarisi ketokohan spiritualis serabutan ini sebagai penopang dakwah nyambi melakukan aktivitas lain misalnya sebagai tokoh birokrasi, juru catat, guru, penulis, pengelola lembaga atau badan, menjadi filosof, ilmuwan, bahkan sebagai asisten dan aktivitas lainnya.

Dalam penyebaran Islam di Nusantara yang dilakukan oleh wali sanga (wali songo) atau sembilan wali, yang menyebarkan Islam di Pulau Jawa dan ke seluruh Nusantara, pun dilakukan secara serabutan, dari menjadi birokrat, pemimpin pasukan sampai pedagang. Ambil contoh bahwa ketenaran Sunana kalijaga yang lihai menjadi dalang wayang dan kegemaran bermain gamelan yang menjadi alternatif berdakwah merupakan aktivitas lain selain berdakwah. Bahkan di luar wali songo sendiri ada yang bergelar Sunan Serabut yakni Raden Panji Sekar (Raden Sekar Sungsang) anak dari Maharaja Sari Kaburangan, raja Raja Negara Daha (Kerajaan Hindu) di Kalimantan Selatan yang kemudian masuk Islam dan menikah dengan putri sunan Giri, di Gresik di Jawa Timur.

Demikian juga ulama di masa kini, banyak ulama yang kemudian berpofesi ganda sambil menjadi politisi, birokrat, pengacara, sastrawan, dan pebisnis, sehingga jarang sekali ulama yang tidak berporfesi ganda.

C. Peran Ulama di Bidang Sosial Keagamaan di masa lalu

Penggunaan kata al-’ulama’ dalam Al-Qur’an selalu saja diawali dengan ajakan untuk merenung secara mendalam akan esensi dan eksistensi Tuhan serta ayat-ayat-Nya baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Ajakan perenungan terhadap ayat-ayat Tuhan ini adalah untuk mencari sebab akibat terhadap hal-hal yang akan terjadi sehingga dapat melahirkan teori-teori baru. Kata al-’alimun diiringi dengan usainya suatu peristiwa dan Al-Qur’an menyuruh mereka untuk merenungi kejadian ini sebagai bahan evaluasi agar kejadian tersebut tidak terulang lagi.

Contoh pada tataran ini adalah ketika Al-Qur’an mengajak al-’alimun untuk memikirkan peristiwa-peristiwa yang dialami oleh umat terdahulu disebabkan dosa yang mereka lakukan (lihat Q.S. Al-’Ankabut ayat 40-43). Penyebutan kata al-’alim dalam bentuk tunggal semuanya mengacu hanya kepada Allah dan tidak kepada selain-Nya. Penggunaan kata ini diiringi dengan penciptaan bumi dan langit serta hal-hal yang ghaib dan yang nyata. Hal ini mengindikasikan bahwa munculnya pengetahuan manusia berbarengan dengan munculnya ciptaan-ciptaan Tuhan.

Kyai Muchith Muzadi,- salah seorang ulama dari NU- membuat kategorisasi ulama atas dasar ilmu, secara garis besar sebagai berikut:

1.Ulama Ahli Quran ialah ulama yang menguasai ilmu qiraat, asbabunnuzul, nasih mansuh dan sebagainya. Ulama tafsir adalah bagian dari ini yang memiliki kemampuan menjelaskan ‘maksud’ Qur’an.

2.Ulama Ahl al-hadith yaitu ulama yang menguasai ilmu hadith, mengenal dan hafal banyak hadith, mengetahui bobot kesahihannya, asbabul wurudnya (situasi datangnya hadith) dsb.

3.Ulama Ahl Ushl ad-din ialah ulama yang ahli dalam aqidah Islam secara luas dan mendalam, baik dari segi filsafat, logika, dalil aqli dan dalil naqlinya.

4.Ulama Ahli Tasawuf adalah ulama yang menguasai pemahaman, penghayatan, dan pengamalan akhlaq karimah, lahir dan bathin serta metodologi pencapaiannya.

5.Ulama Ahli Fiqh adalah ulama yang memahami hukum Islam, menguasai dalil-dalilnya, metodologi penyimpulannya dari al-Qur’an dan al-hadith, serta mengerti pendapat-pendapat para ahli lainnya.

6.Ahli-ahli yang lain, pada berbagai bidang yang diperlukan sebagai sarana pembantu untuk dapat memahami Qur’an dan hadith, seperti ahli bahasa, ahli mantiq, ahli sejarah, dan sebagainya. Merujuk pada arti ulama-baik secara bahasa dan istilah- dan kategorisasi ulama menurut Kyai Muchit Muzadi, ternyata selama ini yang dipahami masyarakat telah mengalami ‘kecelakaan pemahaman’. Menurut kebanyakan orang, yang dimaksudkan sebagai ulama hanyalah orang-orang yang mumpuni di bidang agama-dalam hal ini meliputi tafsir, tasawuf, aqidah, muamalah, dan sejenisnya bahkan ada yang menambahkan ulama adalah orang ahli agama yang memilki pondok pesantren (sekaligus memiliki santri).

Sedangkan ahli bidang keilmuan yang lain, misalnya: ahli bahasa, ahli sains, ahli teknik, ahli ekonomi- yang nota bene juga merupakan bidang ilmu yang dapat dijadikan sarana untuk lebih memahami al-Qurân dan hadith serta mendekatkan diri kepada Allah ternyata tidak pernah disebut sebagai ulama, melainkan sering dinamakan dengan sebutan Guru/Dosen. Yang lebih merepotkan, istilah “ulama” yang beredar dalam masyarakat kita – seperti berbagai istilah lain – mempunyai “kelamin ganda” dan berasal tidak hanya dari satu sumber. Dalam bahasa Indonesia, ulama berarti “orang yang ahli dalam hal atau dalam pengetahuan Islam agama Islam”.

Sedangkan di Arab sendiri, ulama (bentuk jamak dari alim) hanya mempunyai arti “orang yang berilmu”. Dalam hali ini, menurut Imam Suprayogo dalam bukunya-Paradigma Pengembangan Keilmuan Islam- menegaskan bahwasannya selama ini, pembidangan ilmu agama Islam (seputar tauhid, fiqh, akhlaq, tasawuf, bahasa arab, dan sejenisnya) telah berhasil melahirkan berbagai sebutan ulama, seperti ulama fiqh, ulama tafsir, ulama hadith, ulama tasawuf, ulama akhlaq, dan lainnya. Tetapi, tidak pernah dijumpai ulama yang menyandang ilmu selain tersebut.

Misalnya ulama matematika, ulama teknik, ulama ekonomi dan sebagainya. Mereka yang ahli di bidang tersebut hanya cukup disebut sebagai sarjana matematika, sarjana teknik, sarjana ekonomi, dan seterusnya. Para ahli di bidang ini dipandang tidak memiliki otoritas dalam ilmu keislaman sekalipun mereka beragama Islam dan juga mengembangkan ilmu yang bersumber dari ajaran Islam. Selama ini, definisi ulama yang dikonstruk masyarakat adalah orang yang mengkaji fiqh, tasawuf, akhlaq, tafsir, hadith, dan sebagainya. Berangkat dari hal ini, menurut Suprayogo seharusnya ulama tidak sebatas dilekatkan pada diri seseorang yang memahami tentang fiqh, tauhid, tasawuf, dan akhlaq saja melainkan orang yang mengetahui dan memahami tentang segala hal yang terkait dengan objek yang dikaji.

Jika demikian penggunaan arti ulama, maka ulama bisa dilekatkan pada berbagai orang yang mendalami ilmu tentang apa saja, termasuk misalnya kedokteran, ekonomi, sains, teknik, dan bahkan juga seni dan budaya. Selanjutnya tidak diperlukan lagi pembedaan istilah intelek dan ulama, karena pada hakekatnya ulama yang intelek dan intelek yang ulama tidak memilki perbedaan. Penggunaan konstruk yang berbeda terhadap fenomena yang sama tetapi berbeda objeknya saja ternyata terjadi dalam banyak hal.

Ulama di abad pertengahan tidak saja berperan sebagai pemimpin ummat, atau tokoh spiritual dalam agama yang memegang kepemimpinan religiusitas di tengah masyarakat yang memiliki otoritas dalam menstimuli serta mempengaruhi jama’ah yang dipimpinnya, akan tetapi ulama di saat itu merangkap dalam berbagai profesi sebagai hakim, pengacara, saksi ahli dan pengabdi yang terkait dengan profesi hukum, dan juga pejabat di birokrasi negara, pemeriksa pasar, pengawas waqaf, bahkan sebagai bendahara negara. Mereka adalah elit profesional dan terpelajar dari kota besar tersebut, mereka terlibat dalam segala bidang urusan kemasyarakatan yang memiliki kemampuan yang tidak secara terspesialisasi dan tidak dibeda-bedakan. Meski demikian paradigma itu kemudian berubah seiring perkembangan masa karena ketokohan ulama hanya dipandang sebagai guru spiritual, atau pendakwah di tengah masyarakat.

Di abad pertengahan, kelompok ulama memegang peranan penting sebagai pemersatu masyarakat, antara satu wilyah dengan wilayah lainnya. Peran ulama mengalami pengembangan dari peran keulamaan yang murni dan sebagai elit keagamaan dengan fungsi yudisial menuju sebuah peran sosial yang luas dan elit politik.

Mereka mengurusi tugas-tugas yang berkenaan dengan pajak lokal, irigasi, urusan yudisial dan kepolisian, dan bahkan sebagian menjadi juru tulis dan pejabat. Bahkan dalam beberapa hal, ulama menjadi perwakilan yang efektif, bahkan dipercayai untuk menjalankan fungsi gubernur di dalam teritorial mereka masing-masing. Disamping itu ulama tidak sekedar berperan dalam bidang keagamaan, namun dalam pemerintahan dan elit sosial, dimana perannya dalam menjembatani lini horisontal dalam masyarakat Islam. Peran ulama ini, meliputi berbagai aspek kehidupan, diantaranya hukum agama, bisnis, administrasi hukum dan institusi pendidikan. Termasuk di dalamnya keluarga ulama terkemuka, dimana sering menjalankan perintah yang independen sebagaimana yang dilakukan pemimpin suku, tun-tuan tanah atau para Sultan bahkan gubernur militer saklipun.

Dalam hal ini ulama tidak dianggap sebagai kelas sosial yang terpisah, melainkan kelompok yang tersebar ke seluruh bagian masyarakat dari golongan bawah sampai tingkat atas. Kedudukan ulama ini, tidak didasarkan atas pengangkatan mereka dari sejumlah pejabat, namun lebih bersifat personal yakni dalam bentuk ikatan yang sangat kuat antara guru agama dengan murid pengikutnya. Misalnya seorang imam yang dianggap mempunyai otoritas kesucian yang tinggi, maka secara aklamasi mendapat pengakuan dari masyarakat awam atau sejumlah ulama lainnya, selanjutnya dikukuhkan oleh pemerintah. Hal ini mengikatkan masyarakat untuk tunduk dan patuh kepada para ulama tersebut, dimana ikatan tersebut bukanlah sebuah struktur jabatan dalam institusi melainkan network yang berupa ikatan emosional dibawah komitmen umum, untuk menjunjung tinggi keluarga, komunitas keagamaan dan umat sebagai ekspresi yang esensial dari sebuah tata sosial Islam.

Ulama juga diakui kapasitas keagamaannya dalam bentuk pengakuan resmi oleh penguasa sebagai pengurus masjid, Guru/Mudarris, Mufti dan Hakim, disamping memiliki hak-hak khusus dari penguasa untuk mengajar di masjid-masjid, sekolah-sekolah dasar (maktab) madrasah-madrasah sekaligus bertanggung jawab terhadap kualitas dan mutu pendidikan yang mereka jalani di masyarakat.

Nakotsen menjelaskan bahwa ada enam tipe guru dalam pendidikan Islam diantaranya; Muallim, Muaddib, Mudarris, Syaikh, Ustadz, Imam, belum lagi termasuk guru-guru pribadi dan para muayyid (asisten guru-guru senior). Muallim biasanya untuk julukan guru-guru sekolah dasar, Muaddib arti harfiahnya orang yang beradab atau guru adab yakni guru-guru sekolah dasar menegah, Mudarris adalah julukan professional untuk seorang Mu’id atau asisten dan sama dengan asisten professor yang bertugas membantu mahasiswa menjelaskan hal-hal yang sulit mengenai kuliah yang diberikan profesornya. Syaikh adalah julukan khusus yang menggambarkan keunggulan akademis teologis. Imam adalah guru agama tertinggi.

Pada perkembangan selanjutnya, ulama memiliki memiliki hubungan dekat dengan keluarga-keluarga pedangang, birokrat dan pejabat. Pengikut-pengikut mereka bisanya terdapat di beberapa tempat seperti di masjid-masjid dan madrasah yang cukup terorganisir.

Di abad pertengahan inilah, yakni pada masa Amawiyah, Abbasiyah dan ‘Uttomani, vitalitas intelektual tidak bertahan lama atau mengalami kehancuran dan stagnasi karena para ulama menjadi birokratis, terlembaga dan cenderung mementingkan diri sendiri, mereka semakin menjadi konservatif dan bersikukuh, cenderung mencegah perubahan dalam proses pendidikan melalui kendali mereka.

D. Sumber Pendapatan Ulama

Membahas profesionalitas kalangan ulama tidak terlepas dari seberapa jauh kehidupan kesejahteraan mereka. Tentu ulama sendiri harus bisa bertahan hidup di tengah dakwah dan syi’ar Islam begitupun juga keluarga mereka. Para ahli fiqih berbeda pendapat tentang hal ini. Fatwa Imam al-Ghazali yang mengharamkan menerima upah dari hasil pengajarannya bahkan ulama dilarang memperkaya diri, menjadi sorotan sendiri dalam tema profesionalisme ulama. Namun pandangan yang berbeda disampaikan oleh Al Qabisi yang mengurai panjang lebar tentang pendapat al-Ghazali bahwa berdasarkan fakta bahwa seorang ulama yang wara’ dan bertaqwa ikhlas dalam pekerjaan, bijaksana mengajarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul tidak menghalangi seseorang untuk menerima gaji untuk melanjutkan kehidupannya.

Di abad pertengahan, sumber pendapatan para ulama “Mudaris” dan Syaikh sendiri tentunya diperoleh dari hasil kegiatan akademis, meskipun menyangkut hal ini menjadi dilema sepanjang periode klasik, yang disebabkan boleh tidaknya seorang guru/ulama menerima bayaran dari muridnya. akan tetapi, terlepas dari persoalan ini, mereka menggantungkan diri secara finansial pada lembaga waqaf untuk memenuhi kebutuhannya.

Dalam catatan sejarah disebutkan bahwa hampir semua para guru pada saat itu tergolong dalam masyarakat yang tingkat penghasilannya pada level menengah ke atas, karena secara umum para guru yang sudah terkenal menerima imbalan labih dari usahanya, bahkan beberapa dari mereka jauh lebih mapan, meskipun sedikit bukti dari mereka yang memutuskan untuk menjadi guru dengan tujuan ekonomi.

Konon pemimpin sebuah masjid-akademi atau madrasah menerima bayaran antara 15 sampai dengan 60 dirham per bulan. Jabatan-jabatan yang lebih rendah dalam lembaga ini menerima gaji lebih kecil. Tapi perlu diketahui juga seorang ilmuwan bisa menjabat beberapa posisi di berbagai lembaga dan melipatgandakan penghasilannya.

Mereka yang mengajarkan fiqh dan ilmu-ilmu asing diperbolehkan memungut uang dari muridnya dengan ditentukan oleh guru dan murid dan dibayar pada awal masa belajar. Satu dirham per hari dianggap sebagai biaya pendidikan yang pantas dan beberap ilmuan menjadi lebih kaya dari pengahasilannya sebagai guru. Misalnya ada yang mencapai penghasilan sampai 100 dirham per bulan. Namun kasus ini sangat jarang. Karena uang bukan pertimbangan utama bagi mereka yang mengabdikan dirinya pada ilmu pengetahuan. penjelasan yang yang lebih masuk akal atas usaha keras para ilmuwan sepanjang masa klasik-Islam, adalah penghormatan kepada para ilmuwan, disamping gaji yang diberikan.

Seorang menjadi “syaikhdi lebih dari satu masjid dan ini meningkatkan penghasilannya sedangkan “mudarris” disamping sebagai tenaga pengajar dan administrator dari proses pendidikan pada masjid akademi. Jika keuangan memungkinkan masjid dapat menambah stafnya dengan mempekerjakan seorang asisten guru (na’ib), Juru ulang (mu’id) dan seorang tutor (mufid). Na’ib menggantikan “Mudarris” ketika sedang sibuk dengan urusan administrasi lembaga yang dipimpinnya. Mu’id dipercaya untuk mengulangi ceramah Mudarris kepada murid yang tidak memahaminya, atau tidak hadir dalam pertemuan tersebut. Na’ib juga dipercayakan memberikan bantuan secara individual kepada murid-murid yang mendapat kesulitan.

Dana yang diterima oleh masjid dan akademi yang diasuh para ulama, berbeda-beda sesuai dengan sumber-sumber yang tersedia, diantaranya juga berupa sumbangan dari bantuan berupa harta (waqaf). Hasil dari waqaf ini diperlukan untuk membiayai keperluan pengajaran dan untuk memberikan tunjangan kepada para pengajar. Penggunaan dana waqaf ini mengakibatkan perbedaan yang sangat mendasar antara madrasah dan masjid, dimana masjid dianggap milik umat secara keseluruhan. Adapun madrasah yang berasal dari waqaf dianggap bersifat personal sehingga masih dimungkinkan kontrol dan intervensi dari pemberi waqaf dengan adanya dana waqaf tersebut. Sementara di lain pihak dengan adanya dana waqaf yang memadai, para mudarais professor dan syaikh dapat digaji secara professional atas tugas pengajaran yang dilakukan.

Pemberian pensiun adalah bagian dari bentuk penghormatan kepada orang yang telah berjasa dalam bidang tertentu, dalam hal ini bagi kalangan ulama yang telah berjasa dalam dunia pendidikan. Sepanjang sejarah tercatat bahwa penghormatan ini diberikan kepada Mufti/Professor atau masyarakat terpelajar lainnya dan juga para mahasiswa.

Qadhi Abu Yusuf misalnya, murid dari Abu Hanifah yang pernah menerima sejumlah uang dari Khalifah Harun al-Rasyid, disamping itu Abu Yusuf juga menerima pensiun bulanan yang setara dengan gaji ahli hukum/professor. Disamping itu Al-Zajjaj sebagai ulama yang sangat dihormati oleh Khlifah al-Mu’tadid yang memerintah pada tahun 892-902 memberikan tiga macam pensiun kepada al-Zajjaj diantaranya, pensiun sebagai sahabat baik, pensiun sebagai Mufti/Profesor dan pensiun sebagai ulama. Sehingga total pensiun yang didapat kurang lebih menjadi 3000 dinar. Demikian juga bagi professor yang mengajar di Madrasah Nizamiyyah pada abad ke lima sampai kesebelas. Mereka mendapat gaji tambahan sebesar 10 dinar per bulan dan tidak termasuk dalam anggaran pengeluaran harta waqaf. Pengeluaran 10 dinar untuk gaji itu merupakan hasil keuntungan dari pengelolaan lembaga Madrasah Nizamiyyah tersebut.

E. Analisis

Ketokohan ulama serabutan yang mampu tampil sebagai cendikiawan agamis mendapat tempat tersendiri dalam catatan sejarah perkembangan Islam dari masa kemasa, terutama dalam bidang pendidikan. Di antara cara penyebaran Islam yang paling ampuh mendakwahkan ajaran Islam oleh para ulama sepeninggalan Rasul dan sahabatnya, melalui pendidikanlah cara terampuh mengembangkan dakwah Islam secara sistematis sembari menggeluti keilmuwan di bidang lain misalnya sains, kedokteran, filsafat dan perniagaan, atau yang diistilahkan serabutan.

Hal ini disebabkan karena meluasnya pengaruh dan masyarakat muslim, sehingga orang-orang yang memiliki kemampuan bisa memanfaatkan proses pendidikan sebagai cara memobilisasi masyarakat, sehingga banyak kelompok dalam masyarakat terbentuk melalui institusi pendidikan itu sendiri. Misalnya halqah, dan yang paling terkenal adalah mazhab fiqh.

Keberhasilan ini menunjukan bahwa, meskipun masyarakat muslim abad pertengahan mempertahankan orientasi nilai tradisional dan keseimbangan internalnya, masa-masa keemasan mereka tidak akan bisa dipertahankan, karena pengendalian kehidupan intelektual bisa saja berhenti pada kelompok yang menolak perubahan dan inovasi. Sehingga Watt sendiri mengatakan bahwa perubahan yang terjadi di abad pertengahan dipengaruhi oleh pandangan statis pengetahun yang tidak bisa dipisahkan dari pemahaman Islam tentang dunia, dan keasyikan pemikiran intelektual dengan sistem filsafat yang diajarkan di universitas pada abad pertengahan (scholastic).

Sementara imbas negatif dari faktor ini adalah adalah ketika peran ulama dalam masyarakat yang multitalenta, yakni ketika peran ulama menjadi birokrat penguasa atau  yang cenderung terfokus pada keinginan memperkaya diri sendiri, sehingga hubungan mereka dengan elit penguasa menjadi kian tergantung dan akhirnya lemah. Atau di sisi lain aspek ekonomi yang menjadi keutamaan para ulama dan ummat yang dipimpinnya tidak mendapat perhatian dan bimbingan. Hal ini dikomentari juga oleh Watt bahwa belajar dari runtuhnya kejayaan Islam di Abad pertengahan di antaranya ketokohan ulama yang tidak bisa bertahan karena posisi intelektual (cendikiawan) dalam masyarakat yang cenderung birokratis dan mensuport penguasa.

Faktor lainnya adalah ketika ulama sudah tidak netral dalam memposisikan dirinya sebagai tokoh spritualis, berusaha tanpa pamrih yang menjembatani antara penguasa dan masyarakat, cenderung mementingkan kepentingan sendiri lantaran larut dalam aktivitas serabutannya sehingga lupa membimbing ummat sehingga tergelincir kepada perilaku praktis yang bertentangan jauh dengan Islam. Setidaknya Islam mencatat runtuh dan bangunnya kekuasaan Islam dikarenakan inkonsistensi ulama di dalam ketokohannya dan sedikit sekali yang istiqomah serta konsisten dalam perjuangannya.

F. Catatan Akhir

Peran para ulama dari masa ke masa selalu menjadi tokoh sentral dalam pusaran aktivitas keagamaan yang cukup berpengaruh dan mampu menggiring ummat yang dipimpinnya. Peran ulama tidak saja dituntut untuk mampu menguasai kompetensi  profesional keilmuan secara utuh, namun harus bisa menguasai segala keilmuan aktual yang dibutuhkan di sekelilingnya, sehingga persoalan apapun yang berada disekitarnya mampu diatasi dengan maksimal agar peran ulama tidak saja mampu memberikan solusi teoritik lewat fatwa-fatwanya namun harus mampu terjun langsung mengatasi permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat.

Hal ini tentunya yang akan sangat berpengaruh terhadap masyarakat sekitarnya karena segala perilaku yang dilakukan oleh pengikutnya tergantung bagaimana ulama tersebut memberikan pencitraan dan pembimbingan di dalam jama’ahnya.

Namun ketokohan ulama seringkali bergeser dari tugas utama membimbing ummat, ketika dipengaruhi oleh keadaan yang berada di sekelilingnya. Faktor politik, kekuasaan dan kondisi masyarakat sering menggiring peran ulama menjadi tidak netral dalam menyikapi sebuah permasalahan aktual di tengah masyarakat. Ulama kemudian cenderung mendukung kekuasaan dan tidak berpihak kepada masyarakat yang menjadikan ulama sebagai corong kekuasaan atau bahkan sebaliknya ketokohan ulama bertolak belakang dengan kukuasaan pemerintah yang kemudian dianggap sebagai pembangkang dan dianggap mengancam.

Tentunya kita membutuhkan ulama profesional, cerdas, yang siap bekerja di tengah ummat, ulama multiprofesi atau ulama serabutan yang memiliki kompetensi serta kreativitas yang mampu mengawal kekuasaan dan membimbing ummat ke arah yang lebih baik. InsyaAllah.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, K. A Study of Islamic History Terj. Ghufron A. Mas’adi, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,2003

Azhari, Afif. Lembaga Pendidikan Islam; Madrasah, Nizamia, Jurnal Pendidikan dan Pemikiran Islam, fakultas Tarbiyah, IAIN Sunan Ampel

Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi Dalam Islam, Terj. H. Afandi dan Hasan Asari, Jakarta:Logos Publishing House,1994

Diyan & M.S. Rohman, Sumbangan-sumbangan Karya Sains super Dahsyat Islam di Abad Pertengahan, Jogjakarta: Diva Press, 2010

Ja’farian, Rasul. History of Caliphs; From The Death of The Mesenger to The Decline of The Umayyad Dynasty 11-132 AH, Terj. Ilyas Hasan. Jakarta:PT. Lantera Basritama, 2004.

Johannes Jacobus Ras, Hikayat Banjar terjemahan oleh Siti Hawa Salleh, Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, hal. 1037, Mukim Perindustrian PKNS - Ampang/Hulu Kelang - Selangor Darul Ehsan, Malaysia 1990.

Keddie, Nikki R. Scholars, Sains and Sufis, London: University of London Press,1978

Langgulung. Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Husna Baru, 2003

Lapidus, Ira M., A History of Islamic Societies, Terj. Gufron A Mas’adi, Jakart: Raja Grafindo Persada, 2000

Marshal G. Hidgson, The Venture of Islam; Consciense and History in a World Civilization. Vol. 1 The Classical Age of Islam, terj. Mulyadi Kartanegara, Jakarta: Paramadina, 2003.

Mughni, Syafiq A., Dinamika Intelektual Islam Pada Abad Kegelapan, Surabaya : Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat (LPAM), 2002

Nakotsen, Mehdi. History of Islamic Origins in The Western Education,1964

Shalaby, Ahmad. History of Muslim Education, Beirut, dar al-Kashaf,1954.

Szyliowics, Joseph S. Education and Modernization In Middle East, Ed. Ahmad Jainuri, Surabaya, Al-Ikhlas,2001

Watt, W. M. Muslim Intelectually, Edinburgh:Edinburgh University Press,1963

http://id.wikipedia.org/wiki/Raden_Sekar_Sungsang. diakses 2 September 2011

http://seputar-negara.blogspot.com/2011/04/kerajaan-daha-negara.html. diakses 2 September 2011

http://arsiparmansyah.wordpress.com/2008/02/13/pengertian-ulama/. diakses 2 September 2011

Dosen Pendidikan Agama Islam di FKIP Universitas Pattimura, Alumni PascaSarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, e-mail: odeabdurrachman@yahoo.com, blogsite : www.pakode.wordpress.com

Syafiq A. Mughni, Dinamika Intelektual Islam Pada Abad Kegelapan, Surabaya : Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat (LPAM), 2002, h.53.

Madrasah merupakan sebuah perguruan yang diorganisir secara formal, juga menyiapkan tempat tinggal bagi para Guru besar dan murid-muridnya (khan), dengan fasilitas Masjid, Perpustakaan baru baerkembang pada abad ke X – XI (Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, Terj. Gufron A Mas’adi, Jakart: Raja Grafindo Persada, 2000,h.252.)

Lihat tulisan lengkap perkembangan sains di Abad pertengahan dalam tulisan Diyan & M.S. Rohman, Sumbangan-sumbangan Karya Sains super Dahsyat Islam di Abad Pertengahan, Jogjakarta: Diva Press, 2010

Nabi Muhammad Saw, dikenal dengan pedangan ulung dan jujur dan bergelar al-amin yakni yang dipercaya, banyak tulisan sejarah Rasulullah Saw yang menerangkan hal ini, di antaranya tulisan, Marshal G. Hidgson, The Venture of Islam; Consciense and History in a World Civilization. Vol. 1 The Classical Age of Islam, terj. Mulyadi Kartanegara, Jakarta: Paramadina h.225.

Tentang aktivitas dakwah dan sejarah sahabat Rasulullah sepeninggalan beliau lihat tulisan Rasul Ja’farian, History of Caliphs; From The Death of The Mesenger to The Decline of The Umayyad Dynasty 11-132 AH, Terj. Ilyas Hasan. Jakarta:PT. Lantera Basritama, 2004. Tulisan lainnya lihat K. Ali, A Study of Islamic History Terj. Ghufron A. Mas’adi, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,2003

http://seputar-negara.blogspot.com/2011/04/kerajaan-daha-negara.html. lihat lebih jauh tulisan tentang Sunan Serabut dalam Johannes Jacobus Ras, Hikayat Banjar terjemahan oleh Siti Hawa Salleh, Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, hal. 1037, Mukim Perindustrian PKNS - Ampang/Hulu Kelang - Selangor Darul Ehsan, Malaysia 1990. Informasi uang sama bisa ditelurusri pada situs Ensiklopedi Wikipedia http://id.wikipedia.org/wiki/Raden_Sekar_Sungsang.

http://arsiparmansyah.wordpress.com/2008/02/13/pengertian-ulama/.

Ira M. Lapidus, Muslim Cities in the Later Middle Eastern Affairs, Cambridge: Havard University Press,h.108

Joseph S. Szyliowics, Education and Modernization In Middle East, Ed. Ahmad Jainuri, Surabaya, Al-Ikhlas,2001,h.104

Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, Terj. Gufron A Mas’adi, h.270

Nikki R. Keddie, Scholars, Sains and Sufis, London: University of London Press,1978,h.33

Terdapat perbedaan istilah Mudarris dalam pandangan Mehdi Nakosten dan George Makdisi yakni. Istilah Mudarris bagi Nakotsen adalah kedudukan setingkat asisten professor (guru yunior) sedangkan dalam prespektif Makdisi “Mudarris” adalah kedudukan setingkat professor, terutama professor dalam bidang hukum.

Mehdi Nakotsen, History of Islamic Origins in The Western Education,1964,h.76-77

Al Ghazali mengharamkan Gaji bagi para muallim atau ulama termasuk guru dalam proses pengajaran, seperti yang ditulis Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Husna Baru, 2003, 171-173

Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi Dalam Islam, Terj. H. Afandi dan Hasan Asari, Jakarta:Logos Publishing House,1994,h.39

Ahmad Shalaby, History of Muslim Education, Beirut, dar al-Kashaf,1954.

Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi Dalam Islam, Terj. H. Afandi dan Hasan Asari, Jakarta:Logos Publishing House,1994,h.41

Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, Terj. Gufron A Mas’adi,h.252

Afif Azhari, Lembaga Pendidikan Islam; Madrasah, Nizamia; Jurnal Pendidikan dan Pemikiran Islam, fakultas Tarbiyah, IAIN Sunan Ampel, h.25.

George Makdisi, The Rise of Colleges, Institution of Learning in Islam and The West, Endinburg, Endinburgh University Press,1981.h.163.

W. M. Watt, Muslim Intelectually, Edinburgh:Edinburgh University Press,1963,h.161-162.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun