Mohon tunggu...
ekki oddo
ekki oddo Mohon Tunggu... -

Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara-Jakarta. Gemar menulis dan diskusi Lintas Agama dan Budaya. #Menjadikan-Dunia-Satu-Keluarga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hukuman Mati: Sebuah Kemunduran Moral?

12 September 2016   20:20 Diperbarui: 14 September 2016   08:22 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: www.coloribus.com

Secara singkat pandangan Gereja Katolik terbaru, menolak hukuman mati apapun alasannya. Dalam ensiklik Evangelium Vitae (EV) yang diterbitkan tahun 1995, Paus Yohanes Paulus II menghapuskan status persyaratan untuk keamanan publik dari hukuman mati dan menyatakan bahwa dalam masyarakat modern saat ini, hukuman mati tidak dapat didukung keberadaannya.

Dengan demikian Gereja Katolik, berdasarkan dokumen EV, tidak mendukung hukuman mati.  Penulis mau menunjukkan setidaknya kesadaran akan martabat luhur manusia membutuhkan proses panjang sekalipun ajaran pembaruan Yesus Kristus sangat jelas menolak cara ini seperti yang telah ditunjukan melalui kesaksian hidup-Nya yaitu mengampuni musuh sekalipun mereka yang telah menyalibkan-Nya.

Sejumlah alasan untuk menolak.

Tentu alasan pertama adalah, “apakah kita rela menyangkal dorongan dari dalam hati untuk menghargai kehidupan (nyawa) manusia itu?”. Seperti yang telah diuraikan di atas, kiranya semua kita sepakat bahwa nyawa seseorang tidak dapat dijadikan obyek apalagi menghilangkannya. Seorang ateis sekalipun tetap memiliki pandangan yang sama karena bagaimanapun setidaknya dia memiliki dorongan yang sama untuk mempertahankan kehidupan.

Kedua, secara prinsipiil, praktek hukuman mati sangat kontradiktif. Hukum itu sendiri melanggar apa yang menjadi prinsipnya yaitu setiap kita dilarang untuk mencabut nyawa orang lain. Hukum melalui undang-undang mengatur sanksi setiap bentuk kejahatan termasuk menghilangkan nyawa orang lain. Namun demi alasan kemanusiaan, hukum melakukan hal yang bertentangan dan sangat kontradiktif dengan prinsipnya.

Ketiga, praktek hukuman mati telah mencabut hak bagi terpidana yaitu kesempatan untuk merubah diri. Bukankah tujuan moral dari sanksi adalah merubah sikap pelaku? Dengan demikian, hukum telah bertindak tidak adil terhadap pidana mati  karena tidak diperlakukan secara sama di hadapan hukum.

Keempat, hukuman mati bukanlah sarana mencapai efek jerah. Sebenarnya,  terpidana mati itu sendirilah yang mesti mencapai hal tersebut bukan untuk orang lain. Tetapi dia tidak memiliki kesempatan untuk itu. Ini pun terbukti  tidak berhasil. Misalnya, dalam kasus pengedar Narkoba. Hukum sudah bertindak secara tidak adil bagi mereka, apalagi dalam kasus Narkoba terbukti para aparatpun terlibat di dalamnya.

Artinya, hukum sudah salah secara prosedural. Narkoba bukanlah kasus dalam skala nasional tetapi internasional. Pemerintah mesti menyelesaikan akar permasalahan secara bijak. Sebuah pohon tidak akan tumbang kalau kita hanya menebang rantingnya saja. Dalam kenyataan, jumlah pengedar narkoba itu masih banyak yang belum tertangkap. Itu berarti negara siap melakukan sebuah pembunuhan masal? Bukankah itu sebuah kejahatan kemanusiaan?

Kelima, hukum cenderung cacat. Setiap keputusan yang diambil sangat rentan dengan cacat hukum. Apakah kita berani mengatakan bahwa hukuman mati bebas dari cacat hukum? Dan jika terbukti cacat di kemudian hari, apakah kita dapat menghidupkan lagi  terpidana mati? Secara sistematik hukum kita sudah cacat terbukti melalui keterlibatan (Narkoba) beberapa aparat kita.

Sebuah Pertanyaan Refleksi?

Lalu, untuk apa hukuman mati dilaksanakan? Bukan untuk tujuan efek jerah atau kesempatan untuk merubah diri. Apakah itu bertujuan untuk menebus kesalahan?  Tentu tidak! Penebusan terjadi kalau ada salah-satu yang diselamatkan. Dan siapa yang menerima tebusan itu? Kenyataannya baik pelaku maupun korban tidak ada yang diselamatkan. Bukankah hal itu berarti kita kembali ke sistem Hamurabi atau zaman rimba?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun