Jaminan ini dipertegas pula dengan Pasal 6 ayat 1 dan Pasal 7 Kesepakatan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights-ICCPR) sekaligus dikuatkan lagi oleh Protokol Opsional Kedua (Second optional Protocol) atas perjanjian Internasional mengenai hak-hak Sipil dan Politik tahun 1989 tentang Penghapusan Hukuman Mati.
Kenyataan ini menunjukan bahwa dorongan manusia untuk menghargai kehidupan (nyawa) manusia tidak perlu dipertanyakan lagi. PBB sebagai sebuah lembaga Internasional, di dalamnya mencakup berbagai budaya, etnis, agama, ataupun warna kulitnya. Artinya, PBB tidak hanya mewakili paham dari budaya, agama, ataupun etnis tertentu tetapi merupakan sebuah kesadaran yang dimiliki manusia secara universal.
Pandangan dalam agama-agama
Kiranya, kita sepakat bahwa agama apapun memiliki paham yang sama terhadap kehidupan manusia terutama soal luhurnya kehidupan itu. Kehidupan adalah pemberian dari Yang Maha Kuasa sehingga manusia tidak memiliki hak untuk mencabut nyawanya ataupun orang lain. Penulis tertarik dengan beberapa ide kemanusiaan dalam beberapa agama berikut ini yang dapat mewakili agama-agama di Indonesia.
Dalam agama Hindu misalnya, Ahimsa. Ini merupakan suatu ajaran yang menentang tindak kekerasan. Selain itu, terdapat pemahaman bahwa jiwa seseorang tidak dapat dibunuh dan kematian hanya dibatasi pada kematian fisik. Tentu sangat jelas, hukuman mati akan ditolak karena menghalangi seorang untuk berkarya demi mencapai nirwana.
Demikian pun halnya dalam Budha. Harus diakui ajaran Budha tidak banyak bicara soal hukum dalam kaitannya hidup bersama karena ajarannya lebih sebagai sebuah jalan menuju “Budha”. Ajaran Sang Buddha bertujuan untuk menyelamatkan manusia dari kejahatan secara perorangan.
Kemudian, lebih dari pada itu, ajaran Sang Buddha bertujuan untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penderitaan, baik di dunia ini maupun di alam lain. Maka dari pemahaman ini, hukuman mati berarti bertentangan dengan ajakan Sang Budha bagi setiap pengikutnya untuk menjadi Budha kelak. Selain itu, ajaran Budha sangat lekat dengan Cinta Kasih. Berarti pengampunan tanpa batas dan tanpa syarat sangat dijujung tinggi.
Dua agama besar lainnya; Islam dan Kristen (Protestan dan Katolik), kiranya memiliki pandangan yang sama dengan agama-agama sebelumnya. Sebagai agama abrahamik, yang memiliki paham monoteis, memahami kehidupan sebagai anugerah dari Allah. Manusia tidak memiliki hak atas nyawa manusia karena itu merupakan pemberian dari Allah. Secara eksplisit, penulis tidak mengkaji seperti apa persisnya hukuman mati dalam Islam.
Keyakinan Islam, Allah adalah Pencipta. Dengan demikian Allah saja yang memiliki hak atas nyawa manusia. Hal ini menyakinkan penulis untuk membuktikan ajaran Islam pro terhadap kehidupan (pro-life). Mengakui Allah sebagai pencipta berarti sekaligus mengakui bahwa hanya Dialah yang memiliki hak atas kehidupan (nyawa) manusia.
Harus diakui bahwa agama Kristen pra reformasi (dalam konteks ini Katolik dan Protestan) telah melukiskan sebuah sejarah kelam dalam kaitannya dengan kemanusiaan. Dalam abad-abad pertengahan (sekitar VI-XIV) banyak terjadi kisah-kisah tragis seperti pemenggalan kepala dan pembakaran manusia. Mulai dari pelanggaran sederhana sampai pada pelanggaran berat seperti murtad ataupun memberontak terhadap hirearki Gereja.
Setelah melewati abad kelam itu, Gereja khususnya Katolik, dalam beberapa dekade lalu, masih menerima praktek hukuman mati terhadap kasus-kasus berat. Tentu ini secara prinsipiil bertentangan dengan ajaran Kristus yang mengedepankan Hukum Cinta Kasih, seperti dalam perumpamaannya, “Jika saudaramu melemparimu dengan batu balasah dia dengan kapas”.