Salah-satu kenyataan yang tidak dapat disangkal bahwa dari dalam dirinya, manusia memiliki dorongan untuk menghargai kehidupan. Penulis berkeyakinan, apapun agama, budaya, ras, etnis, ataupun warna kulitnya, tidak akan bisa menyangkal kenyataan ini. Kita menyadari bahwa kehidupan (nyawa) seseorang bernilai secara intrinsik. Artinya, kita tidak perlu mencari alasan eksternal kenapa kita harus menghargai kehidupan.
Selain itu, nyawa manusia tidak dapat diperlakukan seperti barang atau makhluk lain. Dalam arti lain, nyawa manusia memiliki kedudukan tertinggi di hadapan ciptaan lain. Kiranya, semua kita sependapat dengan hal ini. Implikasinya, kita tidak dapat menjadikan nyawa manusia sebagai obyek tetapi memanfaatkan alam ini secara bijaksana demi keberlangsungan kehidupan manusia.
Dalam uraian singkat ini, akan ditujukan beberapa fakta bahwa memang dari dalam dirinya, manusia memiliki kesadaran untuk menghargai kehidupan (nyawa) baik dirinya maupun orang lain. Kenyataan itu akan ditunjukan melalui sejarah kehidupan manusia terutama dalam melihat hak dan martabat seseorang. Walaupun melalui sebuah proses panjang tetapi setidaknya menunjukan betapa kuatnya dorongan untuk menghargai kehidupan.
Kita dapat melihat apakah kesadaran itu semakin meningkat atau malah menurun terutama penghormatan terhadap kehidupan manusia. Selain itu, penulis akan menunjukkan beberapa alasan mengapa kita harus menolak hukuman mati. Alasan-alasan itu sebenarnya diambil dari hukum itu sendiri selain dari alasan kesadaran moral terhadap kehidupan manusia.
Sejarah Perkembangan Hukum
Hamurabi merupakan salah-satu sistem hukum kuno dan menjadi “sumber” bagi sistem hukum Mesopotamia dan daerah Timur Tengah lainnya pada masa itu. Secara implisit, hukum Hamurabi memiliki jejaknya dalam Hukum Musa (Taurat).
Secara singkat, hukuman Hamurabi dijatuhkan akan sama persis dengan perbuatannya. Misalnya, jika seorang telah mematahkan kaki sesama maka hal yang sama akan dilakukan padanya. Ada banyak bentuk dan kompleksitasnya. Namun, satu gagasan penting adalah jejak Hamurabi itu tidak diteruskan begitu saja khusus dalam Taurat, sejauh penulis memahami.
Artinya, muncul kesadaran akan martabat manusia. Dalam Hamurabi, “mematahkan kaki seseorang maka akan diperlakukan hal yang sama pada pelaku”. Sedangkan dalam Taurat, prakteknya tidak lagi demikian walaupun masih menerapkan hukum rajam bagi seorang pezinah.
Selain itu, kedudukan budak dan tuannya sama di hadapan hukum. Jika seorang mematahkan kaki budaknya maka orang itu mesti merawatnya atau bahkan mengangkat statusnya bukan lagi seorang budak”. Demikianpun halnya, dalam masyarakat umum, sanksi tidak lagi seperti sistem balas dendam. Hal penting yang mau ditujukan adalah bertumbuhnya kesadaran manusia akan martabat kehidupan yang tidak dapat diperlakukan sebagai “obyek”.
Uraian ini tentu tidak lengkap karena penulis hanya mengambil dari sudut pandang Taurat. Penulis mengakui kekurangan itu. Tetapi sebagai sebuah kesadaran sebagai manusia kiranya hal yang sama terjadi dalam budaya lain. Hal ini kiranya terbukti melalui deklarasi HAM oleh PBB beberapa dekade lalu.
Dalam HAM, penerapan hukuman mati digolongkan sebagai bentuk hukuman yang kejam dan tidak manusiawi, di samping melanggar Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights).