Mohon tunggu...
Nia Febriana
Nia Febriana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Cerpen - Cerbung - Review - Daily

hihihi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerbung Friendshit Episode 1 - Jujur

25 Mei 2022   10:35 Diperbarui: 25 Mei 2022   10:49 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

                                                                                                                                            

Kalau kuhitung berdasarkan waktu, kita sudah mengenal setidaknya 10 tahun, 120 bulan, 3.650 hari, 86.400 jam. Kita bahkan melewati gerhana matahari dan gerhana bulan di abad 21 ini loh! 

Aku kira dengan banyaknya waktu yang mudah terhitung dengan jari tangan dan bantuan kalkulator sudah cukup untuk menggambarkan betapa lamanya perkenalan kita yang terus mengalir sepanjang waktu ini. Astaga, aku salah, bahkan air yang mengalir pun bisa berhenti pada suatu tempat, lalu menguap atau menyerap, kemudian mengering dan seolah tidak pernah ada. 

Kita dipertemukan dengan tidak sengaja saat memasuki sekolah menengah pertama. Kita sangat asing dan enggan bertegur sapa. Aku pribadi sih, bukan gengsi, rasanya kurang nyaman kalau langsung sok akrab dengan orang yang baru pertama kali kutemui. Kecuali orang itu yang mencolekku pertama kali untuk berbincang, nah, aku baru bisa flow. Itu dulu, cerita lama. Sekarang 10 tahun berlalu, kita dipertemukan dengan sengaja karena memang ada jadwal kita bertemu. Wahai kawan-kawan lamaku. Kia dan Tata.

"Sudah lama nunggu? Maaf ya, aku masih ada revisi." Begitu kalimat pertama yang aku ucapkan saat menghampiri meja yang sudah ditempati Kia dan Tata.

Meja itu bentuknya bundar, kami bertiga meski tidak bisa duduk berhadapan, tapi bisa saling menggenggam tangan satu sama lain, duduk berdampingan satu sama lain. Ini adil, tidak ada yang merasa sangat jauh dan sangat dekat hanya karena meja yang membatasi ruang gerak kami. 

Kia memiliki kepribadian yang lemah lembut, dia tidak pernah berkata kasar apalagi membentak seekor semut. Bayangkan, dia orang yang baik bukan? Setelah tamat SMA, dia langsung melamar pekerjaan dan kini dia sedang bekerja di sebuah perusahaan swasta, gajinya lumayan besar. Bahkan aku pernah meminjam uang padanya. Haha... that's what friends are for, right? Nah, hebatnya kawanku satu ini, selain bekerja, dia juga berkuliah. Walaupun berbeda satu tahun di bawahku. Tapi yang patut digaris bawahi, pakai uang sendiri. Serius, hebat bukan? Selain bisa memberi penghasilan untuk keluarganya, dirinya, dan pendidikan pun dapat dia urus sekaligus. 

Tata. Semestinya dia sama denganku. sama-sama sedang mengejar dosen yang suka ghosting, sambil menyusun tugas akhir. Tapi, dia banting setir di tahun pertamanya, dari mahasiswa teknik menjadi mahasiswa kedokteran, karena benci dengan senioritas fakultas teknik yang tidak sesuai dengan kepribadiannya. 

Jadi, anggap saja malam ini, pada pertemuan ini, di meja ini, aku menjadi kakak tingkat mereka. 

"Eh, udah lama banget ya kita gak ketemu. sejak corona." Ujar Kia dengan nada khasnya yang halus disertai senyum membumbung diarahkan kepada Tata.

"Iyah benar, kita terakhir ketemu waktu kamu lagi berduka ya Ki, setelah itu kita gak ketemu lagi." Jawab Tata membalas tatapan Kia. Seakan itu hanya percakapan mereka berdua, ah, aku sudah biasa.

"Kamu Yun, gimana skripsinya?" Yes, kali ini Kia bertanya kepadaku.

"Yah, gitu... susah dijelasin, sakit juga kalau dirasain, macam ada luka tapi gak berdarah. Kena mental banget sih, parah. Katanya tugas akhir, tapi rasanya gak berakhir." Aku mengeluh, mungkin pengunjung di sekitar meja kami bisa mendengarnya karena ruangan masih sepi dan belum banyak suara-suara obrolan bagaikan suara lebah berdengung. 

"Sabar, yang penting doa dan usahamu gak pernah putus." Kia menasihatiku. Selanjutnya, kami bertiga berbincang dan menyantap hidangan yang sudah dipesan sebelum aku datang, jadi, aku tidak perlu berlama-lama menahan lapar. Tidak terasa kalau ruangan semakin sesak karena pengunjung terus berdatangan. Cafe yang edgy dan instagramable ini memang favorit sekali di kotaku, aku juga termasuk penggemar beratnya. Sayang, empat puluh lima menit kemudian aku membenci cafe ini. 

"... kamu yang tanya apa aku pernah membenci salah satu diantara kalian, ya. Jawabanku iya. kenapa gak? Itulah hukum kejujuran, ada pahit dan manis yang tidak bisa disembunyikan. Seperti bangkai busuk yang pasti tercium kendati disembunyikan rapat." Kataku.

Kia menjatuhkan air mata, dan Tata mengelus bahu Kia. Sial, aku tahu mereka kawan lamaku dan kami sangat akrab. Tapi dalam keadaan sekarang, aku sama sekali tak simpati. 

Aku tidak tahan setelah mulutku berbusa, sementara tangisan Kia semakin menderas, Tata mendekatkan tubuhnya untuk menopang tubuh Kia yang rapuh. Pengunjung yang lain menoleh ke arah kami dan menghentikan urusannya di atas meja masing-masing. Pemandangan itu menggambarkan akulah tersangkanya. Kia sebagai korban, dan Tata sebagai saksi ahli. Muak dengan drama di atas meja bundar, aku sengaja meninggi, 

"Bisa-bisanya kita dipertemukan di dunia ini, jika bisa memilih, kepedihan yang kualami selama ini, akan kuberikan kepadamu. Aku ikhlas." Kata-kata itu ku tujukan kepada Kia. "Ah, tagihan makanan ini sudah kubayar semua, kalian tak perlu repot-repot membuka dompet, menghitung pembagian bill beserta pajak, dan memutuskan siapa yang maju ke kasir."

Aku beranjak dengan gaya santai. Semua orang sepertinya tahu kalau aku berdarah dingin. Sama sekali tidak bersuara ketika kakiku melangkah keluar dari cafe itu. Suasana hening melepas kepergianku.

Rupanya di luar hujan. Entah untuk menyambangi kesedihan Kia dan Tata yang terkejut dengan sikapku, atau justru hujan turun berpihak padaku untuk mencuci luka lamaku. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun