Mohon tunggu...
Nia Febriana
Nia Febriana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Cerpen - Cerbung - Review - Daily

hihihi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerbung Friendshit Episode 1 - Jujur

25 Mei 2022   10:35 Diperbarui: 25 Mei 2022   10:49 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kamu Yun, gimana skripsinya?" Yes, kali ini Kia bertanya kepadaku.

"Yah, gitu... susah dijelasin, sakit juga kalau dirasain, macam ada luka tapi gak berdarah. Kena mental banget sih, parah. Katanya tugas akhir, tapi rasanya gak berakhir." Aku mengeluh, mungkin pengunjung di sekitar meja kami bisa mendengarnya karena ruangan masih sepi dan belum banyak suara-suara obrolan bagaikan suara lebah berdengung. 

"Sabar, yang penting doa dan usahamu gak pernah putus." Kia menasihatiku. Selanjutnya, kami bertiga berbincang dan menyantap hidangan yang sudah dipesan sebelum aku datang, jadi, aku tidak perlu berlama-lama menahan lapar. Tidak terasa kalau ruangan semakin sesak karena pengunjung terus berdatangan. Cafe yang edgy dan instagramable ini memang favorit sekali di kotaku, aku juga termasuk penggemar beratnya. Sayang, empat puluh lima menit kemudian aku membenci cafe ini. 

"... kamu yang tanya apa aku pernah membenci salah satu diantara kalian, ya. Jawabanku iya. kenapa gak? Itulah hukum kejujuran, ada pahit dan manis yang tidak bisa disembunyikan. Seperti bangkai busuk yang pasti tercium kendati disembunyikan rapat." Kataku.

Kia menjatuhkan air mata, dan Tata mengelus bahu Kia. Sial, aku tahu mereka kawan lamaku dan kami sangat akrab. Tapi dalam keadaan sekarang, aku sama sekali tak simpati. 

Aku tidak tahan setelah mulutku berbusa, sementara tangisan Kia semakin menderas, Tata mendekatkan tubuhnya untuk menopang tubuh Kia yang rapuh. Pengunjung yang lain menoleh ke arah kami dan menghentikan urusannya di atas meja masing-masing. Pemandangan itu menggambarkan akulah tersangkanya. Kia sebagai korban, dan Tata sebagai saksi ahli. Muak dengan drama di atas meja bundar, aku sengaja meninggi, 

"Bisa-bisanya kita dipertemukan di dunia ini, jika bisa memilih, kepedihan yang kualami selama ini, akan kuberikan kepadamu. Aku ikhlas." Kata-kata itu ku tujukan kepada Kia. "Ah, tagihan makanan ini sudah kubayar semua, kalian tak perlu repot-repot membuka dompet, menghitung pembagian bill beserta pajak, dan memutuskan siapa yang maju ke kasir."

Aku beranjak dengan gaya santai. Semua orang sepertinya tahu kalau aku berdarah dingin. Sama sekali tidak bersuara ketika kakiku melangkah keluar dari cafe itu. Suasana hening melepas kepergianku.

Rupanya di luar hujan. Entah untuk menyambangi kesedihan Kia dan Tata yang terkejut dengan sikapku, atau justru hujan turun berpihak padaku untuk mencuci luka lamaku. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun