Mohon tunggu...
Ocyid
Ocyid Mohon Tunggu... Lainnya - In the Age of Information, being unknown is a privilege

Hidup seperti ngopi, ngeteh, nyoklat: manisnya sama, pahitnya beda-beda

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sejarah Indonesia Berdasarkan Buku Klasik (Bagian 7), Mempertanyakan Penggunaan Elemen "Sri" dalam Nama "Sriwijaya"

1 Oktober 2024   00:41 Diperbarui: 1 Oktober 2024   00:46 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penggunaan gelar "Sri" (श्री) di depan nama Maharaja Samudragupta - Wikipedia “Samudragupta” (Dokpri)

Ada satu hal unik yang mungkin patut disertakan dalam tulisan ini. Kata “pura” yang berada di akhir nama “Jayawardenepura” dan "Indrapura" sebetulnya mengikuti suatu tradisi yang dapat ditarik jauh ke masa dinasti Gupta di India. Menurut situs Wisdomlib.org, kata “pura” (पुर) yang berasal dari bahasa Sanskerta ini dapat ditemukan pada peninggalan-peninggalan tertulis dinasti Gupta yang berkuasa pada abad ke-3 Masehi. Akhiran yang diletakkan di akhir nama-nama tempat ini sejatinya bermakna “benteng” atau “tempat perlindungan” (rampart, fort, or stronghold) pada bagian-bagian akhir kesusastraan Veda (Weda). Menurut situs ini, kata “pura” yang bermakna “kota” atau semata mengindikasikan suatu “tempat” merupakan suatu perkembangan baru dan tidak digunakan pada (masa) kesustraan Veda (Weda). Namun, masih dalam penjelasan situs tersebut, kata ini tetap dapat bermakna "kota", dengan mengutip penjelasan Mr. Thomas Burrow.

Menurut Mr. Burrow, kata "pura" berasal dari kata "√pri" yang berarti "mengisi" (to fill). Kata ini dieja dalam dua bentuk: "pur" dan "pura". Kata "pur" (kota) berasal dari "puru" (banyak) dan "purna" (penuh) yang bermakna "memenuhi" (plentitude - dalam konteks ini, penuh orang atau multitude of settlers). Contoh yang diberikan terkait kata "pura" ini dalam situs tersebut, di antaranya, adalah: "Simhapura/Sinhapura" atau secara harfiah "Singapura", "Peshawar" dari nama "Purushapura" (kota laki-laki atau kota Purusha), dan bahkan "Lahore" yang diduga berasal dari nama "Lavapura" (kota Lava). Hal ini menjadi menarik, sebab di India ada desa yang diberi nama "Bhojapura". Jika kita menggunakan arti nama "pura" yang digabung dengan nama "Bhoja", kita akan mendapatkan makna "kota Bhoja". Pemaknaan ini sesungguhnya sama persis dengan makna "Bojanagara" (Bojonegoro) atau "negara Boja".

Satu hal lain, dalam catatan biksu I-tsing/Yijing terdapat wilayah yang disebut "Fo-shih-pu-lo", yang oleh  Takakusu sensei diartikan sebagai "Bhoga-pura" - di mana kata "Fo-shih" (佛逝) beliau artikan sebagai "Bhoga" (Bhoja) dan "Pu-lo" sebagai "pura". Penggunaan ejaan Cina "pu-lo" yang diartikan sebagai bahasa Sanskerta "pura" tidak hanya ditemukan dalam tulisan beliau, tetapi juga dijelaskan dalam the Journal of the Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland - Volume Seventeenth (1860, hal. 106). Dengan keterangan yang telah diberikan, kita dapat menyimpulkan bahwa: Fo-shih-pu-lo = Bhojapura = Bojanagara. Walau mungkin lokasi wilayah ini pada masa itu tidak berada di Jawa Timur, tetapi orang-orangnya tetap disebut "orang Bhoja". Dan, sebagaimana kata "pura" yang terletak di belakang nama-nama ini, begitu juga dengan kata "pura" yang ada dalam nama “Jayawardenepura” dan "Indrapura", bukan?

Jika kata (elemen) “pura” (पुर) dalam Indrapura berarti "benteng" atau "kota", maka nama ini akan bermakna benteng/kota Indra. Namun, pun kita temukan arti dari nama ini, tetap saja sulit memahami "Indra" yang dimaksud dalam nama tersebut: apakah “Indra” di sini merupakan nama pribadi seseorang atau merujuk pada hal lain? Dan, jika nama “Indra” memang sebuah “nama”, nama siapa yang sebetulnya digunakan: apakah Indra yang dimaksud adalah dewa Indra ataukah nama ini adalah nama dari seorang raja agung? Yang pasti, dari keterangan terkait elemen atau kata “pura”, kita dapat memahami bahwa nama ini merujuk pada kota atau benteng Indra.

Sedikit berbeda dengan nama "Indrapura", nama “Jayawardenepura” sedikit membawa kepastian. Jika kita menggunakan rujukan yang, menariknya, dapat kita temukan di nusantara, nama “Jayawardene” sebetulnya dapat menjadi nama suatu "gelar". Kata “Jayawardhana” terdapat dalam gelar yang dimiliki Raden Wijaya – raja yang berkuasa di sekitar abad yang sama (1293-1309), yaitu: Nararya Sanggramawijaya Sri Maharaja Kertarajasa Jayawardhana. Apakah kota atau benteng ini ada hubungannya dengan Raden Wijaya? Entahlah...

Yang pasti, nama "Jayawardene", dengan menggunakan rujukan yang kita temukan di nusantara, bisa merujuk pada suatu "gelar". Satu hal menarik di sini adalah: pendirian benteng hingga pemberian nama Sri Jayawardenepura Kotte (kotte = benteng = pura) sendiri pun disebut-sebut terjadi pada abad yang berdekatan dengan masa pemerintahan maharaja Raden Wijaya. Entah apa hubungan yang ada di antara keduanya, atau malah tidak ada sama sekali, yang pasti nama/gelar "Jayawardana/Jayawardene" ini sama-sama digunakan pada sekitar abad ke-14 – walau pada wilayah yang jauh berbeda.

Penggalan artikel pada situs web.archive.org di mana pada bagian atas terdapat tulisan: The Official Website of the Government of Sri Lanka (Dokpri)
Penggalan artikel pada situs web.archive.org di mana pada bagian atas terdapat tulisan: The Official Website of the Government of Sri Lanka (Dokpri)

Menjejaki asal kata sebetulnya tidaklah mudah, sebab penggunaan kata-kata sesungguhnya memiliki sejarahnya sendiri; kita tidak bisa sembarangan alias main tebak-tebakan dalam menyimpulkan sejarah nama-nama ini. Untungnya, dalam tulisan ini, penulis semata menelusuri penggunaan gelar kehormatan “Sri”. Hal ini masih terbilang mudah (meski tetap merepotkan) dibandingkan masuk ke ranah “etimologi kata” yang sesungguhnya. Dari keterangan-keterangan dan contoh-contoh penggunaan gelar “Sri” yang diberikan, walau mungkin dengan segala kekurangan, ketidakpastian, dan segala keterbatasan, kita setidaknya dapat menarik satu kesimpulan sederhana yang cukup jelas, bahwa:

Kata “Sri”, walau pada saat ini banyak dikenal sebagai bagian dari “nama”, namun kata ini secara historis umumnya digunakan sebagai “gelar kehormatan” dan umumnya ditulis secara “terpisah”. Untuk itu, sekali lagi, pertanyaannya adalah: apakah awalan “Sri” dalam “Sriwijaya” dan “Sribhoja” sebenarnya adalah “gelar” dan bukan bagian dari nama?

Kompleksitas dalam Kesederhanaan dan Kesederhanaan yang Kompleks

Mengapa lalu hal ini menjadi masalah yang cukup penting? Walau awalnya terlihat sebagai permasalahan yang sangat-sangat sederhana, turunan dari masalah ini sebetulnya menjalar ke mana-mana. Masalah yang awalnya merupakan masalah bahasa yang sangat sepele, di mana penulisan gelar “Sri” dijadikan sebagai bagian dari nama, berimbas kepada identifikasi, analisis, dan pada akhirnya kesimpulan terhadap sejarah Indonesia dan bahkan, mungkin, menjalar hingga ke sejarah Asia Tenggara pada umumnya. Jika kita terapkan penggunaan gelar ini sebagaimana kebiasaan yang berlaku secara umum di Asia Selatan hingga Tenggara sesuai dengan contoh-contoh yang kita temukan, yaitu dengan memisahkan antara “gelar” dengan “nama” yang berada di belakangnya, kita dapat melihat masalah yang sesungguhnya:

Sri Wijaya (Vijaya) & Sri Bhoja

           (Gelar + Nama)


Jika kita memisahkan antara gelar “Sri” dengan nama yang berada di belakangnya, kita dapat melihat bahwa fokusnya sesungguhnya tidak berada pada nama "Sriwijaya" dan "Sribhoja", tetapi justru pada nama "Wijaya" (Vijaya) dan "Bhoja". Di sini, secara komikal, kita juga dapat melihat bagaimana permasalahan dipisah atau disambung yang terlihat sangat-sangat sederhana dalam bahasa ini, yang karenanya wajar saja untuk diabaikan, imbasnya terbukti cukup signifikan. Dari sinilah, kita dapat melihat permasalahan utama sejarah Indonesia: mungkin selama ini kita salah fokus dalam memahami kerajaan yang menjadi pembuka narasi sejarah nusantara dan, sangat mungkin, turut mempengaruhi sejarah Asia Tenggara ini.

Ingatlah bahwa penggunaan gelar “Sri” yang menghubungkan antara Asia Selatan dengan Asia Tenggara menjadi indikasi yang baik dari, setidaknya, kesamaan “tema” dari narasi yang ada. Dan, ini semua terjadi semata karena kealpaan kita dalam memahami nama; dalam memahami penggunaan “gelar” – gelar yang masih digunakan di Indonesia hingga saat ini. Mengapa hal ini bisa sampai terjadi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun