Mohon tunggu...
Ocyid
Ocyid Mohon Tunggu... Lainnya - In the Age of Information, being unknown is a privilege

Hidup seperti ngopi, ngeteh, nyoklat: manisnya sama, pahitnya beda-beda

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

SIBBuK (Bag. 7): Mempertanyakan Penggunaan Elemen "Sri" dalam Nama "Sriwijaya"

1 Oktober 2024   00:41 Diperbarui: 27 November 2024   17:52 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Arti dan penggunaan kata "Sri" dalam kamus Sir Sir Monier Williams (Dokpri)

Dari contoh-contoh yang telah diberikan, kita dapat melihat penggunaan gelar/sebutan/tanda kehormatan “Sri” yang sudah bertahan sangat lama di wilayah Asia Selatan dan Tenggara – setidaknya, sudah lebih dari 1000 tahun gelar ini digunakan di kawasan-kawasan tersebut. Disebabkan rentang waktu yang cukup panjang ini dan pergerakan manusianya dalam jangka waktu tersebut, penggunaan gelar itu sendiri menjadi tidak terbatas pada satu bahasa saja, tetapi juga bertransformasi dan/atau beradaptasi dengan bentuk bahasa-bahasa lainnya. Dalam artian, kata yang awalnya memiliki bentuk Sanskerta “श्री” ini pada akhirnya memiliki bentuk “ꦱꦿꦶ” dalam bahasa Jawa, “سري” dalam bahasa Jawi, “ศรี” dalam bahasa Thailand,  “室利” atau “尸利” dalam bahasa Cina, dan mungkin bentuk-bentuk lain dalam bahasa-bahasa lainnya. Lalu, apa yang bisa kita dapatkan dari temuan-temuan ini?

Temuan-temuan penggunaan kata “Sri”, dalam beragam bentuknya, sebagai suatu “gelar kehormatan” yang digunakan bukan saja di Indonesia tetapi juga di Asia Tenggara, termasuk dalam prasasti-prasasti, sebetulnya memberikan landasan bagi kita untuk mempertanyakan peran elemen “Sri” di depan “Sriwijaya” dan juga “Sribhoja”:

Apakah elemen “Sri” di depan kedua nama ini merupakan bagian dari “nama” ataukah elemen tersebut digunakan sebagai gelar kehormatan?

Penggunaan elemen “Sri” di depan nama “Sribhoja” sebetulnya jauh lebih memberi kepastian, sebab catatan biksu I-tsing/Yijing yang diterjemahkan oleh sensei Takakusu menerangkan bagaimana perluasan wilayah Bhoja hingga ke Malayu (Melayu) mengubah nama wilayah atau kerajaan(?) ini menjadi “Sri Bhoja”. Di sini, penggunaan gelar “Sri” mengindikasikan kemasyhuran/keluasan/keagungan dari wilayah atau kerajaan(?) Bhoja, atau dalam bahasa Inggris: “The Great Bhoja”, sebagai hasil dari perluasan wilayah itu sendiri. Penerjemahan ini mengikuti contoh yang diberikan oleh Mr. Fleet dalam menerjemahkan elemen "Sri" dalam "sri-Srimatyam = utpannah” (yang dilahirkan dari Mahadewi, Srimati yang agung) dan “sri-Sripathayam puri” (di kota Sripatha yang termasyhur) menjadi "glorious" (sederhananya: yang agung) dan “famous" (yang termasyhur).

Tetapi, tentu, pertanyaannya adalah: apakah hal yang sama dapat diterapkan pada nama “Sriwijaya”? Dengan temuan pola/kebiasaan/tradisi penggunaan gelar “Sri” di depan nama yang diagungkan di kawasan Asia Tenggara, sebagaimana yang juga dapat ditemukan di India – baik pada masa kini hingga masa lampau, setidaknya hal ini dapat memberikan legitimasi (pembenaran) yang baik terhadap pendekatan kebiasaan penggunaan gelar “Sri” untuk diterapkan pada nama "Sriwijaya". Dalam artian:

Jika gelar “Sri” adalah suatu keharusan dalam menyebutkan suatu nama yang diagungkan, bukankah kata “Sri” seharusnya juga digunakan di depan nama “Sriwijaya” menjadi: Sri Sriwijaya – sebagaimana gelar ini tetap ditambahkan di depan kata (nama?) “Srimati” atau di depan kata "Sripathayam"? Alasan inilah yang digunakan oleh Mr. Faithfull Fleet dalam menerangkan bahwa elemen “Sri” bukanlah bagian dari nama “Gupta”, sebab jika elemen ini adalah bagian dari nama “Gupta”, maka gelar “Sri” tetap akan ditambahkan pada nama tersebut, menjadi: “Sri Srigupta”. Lalu, apakah hal ini juga berlaku pada nama “Sriwijaya”?

Pada titik ini, penulis ingin mengingatkan bahwa, sebelum kita menerima atau menolak argumen yang diberikan Mr. Fleet, mungkin kita terlebih dahulu ingin mempertimbangkan pendekatan yang beliau gunakan. Hal ini disebabkan pendekatan yang dilakukan oleh Mr. Fleet terbilang mengikuti kaidah penalaran yang baik. Dan, dari penalaran tersebut, kita mampu mengajukan pertanyaan-pertanyaan rasional yang dibutuhkan untuk memahami kebenaran secara lebih baik. Sebagai contoh, pendekatan yang beliau gunakan dan contoh-contoh temuan yang telah diberikan membawa kita pada pertanyaan:

  • Bukankah aneh jika gelar “Sri” tetap digunakan pada “nama-nama” yang dimuliakan dalam prasasti-prasasti yang ditemukan di nusantara dan sekitarnya, tetapi gelar ini justru tidak digunakan pada nama “Sriwijaya” itu sendiri?
  • Dan untuk itu, bukankah akan jauh lebih logis jika awalan “Sri” dalam nama “Sriwijaya”, tidak lain dan tidak bukan, sesungguhnya adalah gelar kehormatan itu sendiri?

Jika memang awalan "Sri" dalam kata "Sriwijaya" sebetulnya merupakan gelar kehormatan, hal ini sesuai dengan tradisi dan kebiasaan dari penggunaan gelar yang ditemukan terbentang dari India ke tanah Jawa (katakanlah: utara-selatan) dan dari Sri Lanka sampai ke Filipina (atau, katakanlah: barat-timur). Dan, berbicara tentang Sri Lanka, Mr. Fleet sebetulnya memberikan contoh bagaimana gelar ini tetap digunakan pada nama tempat “sri-Sripathayam puri” (di kota Sripatha yang termasyhur). Contoh ini mungkin bisa digunakan untuk dikembangkan lebih lanjut – di sini, tentu dengan catatan: jika nama “Sriwijaya” memang merujuk pada nama suatu tempat/wilayah kerajaan.

Penggunaan Gelar "Sri" pada Nama Tempat

Jika kita mau melihat contoh sederhana, cara yang paling mudah untuk melihat penggunaan gelar "Sri" pada nama tempat terdapat pada laman “S(h)ri” dalam situs Wikipedia. Ini cara paling mudah. Sayangnya, kebanyakan contoh yang diberikan kurang akurat baik secara etimologis maupun historis. Dalam artian, tidak semua kata “Sri” yang dicontohkan dalam nama-nama tempat tersebut merujuk pada gelar “Sri”: ada yang merupakan kependekan dari nama Sang Mahadewa Siwa (Shiva) seperti pada nama “Shimoga”, ada yang terbentuk dari nama dewi kemakmuran (dewi Lakshmi di India atau dewi Sri di Indonesia) seperti pada nama “Srinagar” dan "Seri Menanti", dan sebagainya. Sayangnya juga, tidak semua nama-nama tempat ini menyediakan informasi terkait asal-usul dari nama tersebut, yang semakin mempersulit penelusuran. Tetapi, tetap, terdapat beberapa contoh penggunaan gelar “Sri” di depan nama wilayah yang cukup pasti, seperti pada nama “Sri Lanka”.

Nama “Lanka” sudah cukup lama dikenal sebagai nama tempat, sebab nama ini disebutkan baik dalam kitab Ramayana dan Mahabharata sebagai pulau sekaligus benteng dari raja raksasa Ravana (Rahwana). Penggunaan gelar “Sri” di depan nama “Lanka” ini menjadi contoh yang baik bahwa gelar tersebut dapat diberikan pada nama tempat “Lanka”. Namun, penggunaan nama Sri Lanka sendiri terbilang baru. Situs Wikipedia tentang nama Sri Lanka, Names of Srilanka, menjelaskan bahwa nama ini diperkenalkan oleh partai beraliran Marxisme, yaitu partai Lanka Sama Samaja yang didirikan pada 1935. Sedangkan, penggunaan gelar kehormatan “Sri” di depan nama “Lanka” diperkenalkan oleh partai Sri Lanka Freedom Party yang didirikan pada 1952. Sayangnya, untuk informasi ini, situs tersebut tidak menyertakan sumber-sumber lebih jauh.

Sebelum penggunaan nama ini, Sri Lanka sendiri dikenal oleh para pribumi (penduduk lokal) sebagai Silam, Sihala, dan Sailan, yang lalu diadaptasi oleh orang-orang Portugis yang datang ke negara ini menjadi “Ceilão” mulai dari tahun 1505 – dan, lalu kemudian, disebut Zeilan atau Zeylan dalam bahasa Belanda dan Ceylon dalam bahasa Inggris. Nama “Lanka” sendiri tetap dikenal oleh masyarakat Sri Lanka sejak lama, sebagaimana nama ini dikenal pada abad ke-10 dan 12 M. Yang karenanya, walau penggunaan nama “Sri Lanka” terbilang baru, nama ini telah dipertimbangkan sebagai nama negara tersebut selama sekitar 11 abad.

Masih dari Sri Lanka, satu contoh lain dari nama-nama tempat yang menggunakan gelar kehormatan “Sri” ini, sejauh yang dapat penulis temukan, adalah Sri Jayawardenepura (Jayawardhanapura) Kotte - ibu kota legislatif Sri Lanka. Kota ini disebut-sebut berawal dari perdana menteri raja Vikramabahu III yang berkuasa pada abad ke-14, yaitu Nissaka Alakesvara, yang mendirikan “benteng” (kotte) di tempat tersebut. Pada masa penaklukan tempat ini oleh kerajaan Jaffna di bawah raja Sapumal pada sekitar tahun 1391, kota ini diberi nama “Sri Jayawardenepura”.

Selain di Asia Selatan, penggunaan kata “Sri” juga ditemukan pada nama-nama tempat di Asia Tenggara, seperti pada nama ibu kota Brunei Darussalam: Bandar Seri Begawan – di mana “Bandar”, yang awalnya bermakna “pelabuhan”, diartikan sebagai “kota” dan “(sri) begawan”, yang diberkahi, merujuk pada anggota kerajaan yang telah pensiun (turun tahta). Karenanya, Bandar Seri Begawan bermakna “kota orang-orang (terutama mantan sultan) yang diberkahi” – dengan gelar kehormatan “Seri” ditempatkan di depan kata/nama/gelar “begawan”, yang berasal dari kata Sanskerta untuk “Tu(h)an” (भगवान = bhagavān). Contoh lain, yang datangnya dari dalam negeri sendiri adalah Siak Sri Indrapura, ibu kota kabupaten Siak di Riau. Sayangnya, penulis belum/tidak menemukan informasi terkait asal-usul nama ini. Dan karenanya, serta sayangnya, nama ini sulit untuk dijadikan contoh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun