Mohon tunggu...
Ocyid
Ocyid Mohon Tunggu... Lainnya - In the Age of Information, being unknown is a privilege

Hidup seperti ngopi, ngeteh, nyoklat: manisnya sama, pahitnya beda-beda

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

SIBBuK (Bag. 7): Mempertanyakan Penggunaan Elemen "Sri" dalam Nama "Sriwijaya"

1 Oktober 2024   00:41 Diperbarui: 27 November 2024   17:52 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peristiwa bersatunya orang-orang Bhoja dan Melayu menjadi Sri Bhoja (Dokpri)

Keterkaitan dua nama ini yang sesungguhnya membuat bahasan ini menjadi sangat menarik: walau pada awalnya kita membahas ketepatan tentang “identifikasi nama”, yang membawa kita pada posisi benar-dan-salah,  pada akhirnya hubungan antara dua nama inilah yang justru dapat memperjelas eksistensi dari kerajaan yang kita kenal sebagai “Sriwijaya”. Lalu, bagaimana kita dapat meluruskan misidentifikasi yang terjadi?

Kunci dari permasalahan misidentifikasi yang terjadi sesungguhnya berada dalam catatan biksu I-tsing/Yijing, di mana beliau menyebutkan dua nama: “Shih-li-fo-shih” dan “Fo-shih”. Dari penyebutan dua nama inilah, nama “Sribhoja” dan “Bhoja” didapatkan. Menariknya, walau buku biksu I-tsing/Yijing sendiri diterjemahkan oleh sensei Junjiro Takakusu, keterangan terkait permasalahan “nama” ini sebetulnya justru diberikan oleh Herr. Hirth dan Mr. Rockhill dalam buku terjemahan mereka, Chau Ju-kua: on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries (1911):

Keterangan Herr. Hirth dan Mr. Rockhill dalam buku mereka (hal. 63 - Dokpri)
Keterangan Herr. Hirth dan Mr. Rockhill dalam buku mereka (hal. 63 - Dokpri)

Dari keterangan Herr. Hirth dan Mr. Rockhill, kita dapat melihat bagaimana nama “Shi-li-fo-shi” dihubungkan dengan nama “Sribhoja” dan, lalu kemudian, dengan nama “Serboza” (Sribuza - versi monsieur Cœdès). Namun, yang mungkin luput untuk dipahami di sini adalah, baik Herr. Hirth dan Mr. Rockhill serta Takakusu sensei sebetulnya tidak hanya menghubungkan nama-nama ini, sebagaimana yang juga dilakukan oleh monsieur Cœdès, tetapi juga menghubungkan nama “Fo-shi” dengan “Bhoja” – dan dengan sendirinya dengan “Boza” (Ser-boza).

Hal inilah yang justru luput untuk disertakan dalam keseluruhan pembahasan tentang “Sriwijaya” – sesuatu yang terbilang sangat sederhana, tetapi imbasnya cukup signifikan dalam memahami tentang kerajaan “Sriwijaya”. Nama “Fo-chi” (Fo-shi) sendiri bukan tidak dihubungkan dengan Sriwijaya. Adalah Mr. John Vivian Gottlieb (JVG) Mills dalam buku terjemahan Ying-yai Sheng-lan versi beliau, The Overall Survey of the Ocean’s Shores (1970), yang menghubungkan nama ini dengan “Sriwijaya” (hal. 98) – walau dengan menghilangkan awalan “Sri” di depan nama tersebut:

Keterangan Mr. Mills yang menghubungkan antara
Keterangan Mr. Mills yang menghubungkan antara "Fo-chi(-hu)" dengan "Vijayo" (Wijaya - Dokpri)

Pertanyaannya sampai di sini, tentu, mana nama yang sebetulnya berhubungan dengan nama Shih-li-fo-shih/San Fo-ch’i/San-bo-tsai/Sarbaza/Serboza/Sribuza? Sejujurnya untuk mencari tahu nama asli dari Shih-li-fo-shih/San Fo-ch’i/San-bo-tsai/Sarbaza/Serboza/Sribuza, secara adil, kita butuh untuk melihat sumber-sumber yang disertakan Herr. Hirth dan Mr. Rockhill. Dengan melihat sumber-sumber tersebut, kita akan memahami “argumen” yang membuat Herr. Hirth dan Mr. Rockhill menghubungkan nama-nama itu dengan “Sribhoja” dan juga dengan “Bhoja”. Sayangnya, hal ini jelas membutuhkan waktu dan, mungkin juga, pendanaan – sesuatu yang tidak saya miliki untuk saat ini.

Namun, pun dengan perbedaan-perbedaan yang ada, terdapat satu kesamaan di antara keterangan-keterangan ini. “Kesamaan” inilah yang sebetulnya cukup jelas dari keseluruhan pembahasan yang telah diberikan, yaitu terkait penggunaan kata “Sri”. Dan sebab penggunaan kata “Sri” yang sama-sama terdapat dalam kata “Sribhoja” dan “Sriwijaya” serta (sepertinya) sama-sama dapat dilesapkan menjadi “Bhoja” dan “Wijaya” (Vijaya), secara logis, kata inilah yang (mungkin) seharusnya dipahami terlebih dahulu.

Penggunaan Kata "Sri"

Sebagai pengguna bahasa Indonesia – bahasa yang banyak meminjam dari bahasa Sanskerta, penggunaan kata “Sri” ini sepatutnya menjadi bagian yang cukup menarik perhatian kita – setidaknya di tahap awal. Mengapa? Sebab, penggunaan kata “Sri” sebagai “gelar” cukup dikenal oleh masyarakat Asia Tenggara, termasuk di Indonesia – khususnya sebagai gelar kebangsawanan Jawa. Yang paling terkenal, tentu saja, gelar “Sri Sultan” yang diberikan pada raja-raja Jawa yang dimuliakan, dengan salah satu rajanya pada saat ini: paduka yang mulia Sri Sultan Hamengkubuwana X. Ada lagi, contoh lainnya, penggunaan gelar kehormatan “Sri Baginda” dan “Sri Paduka” - di mana yang terakhir ini, menurut situs Wikipedia, merupakan “kata ganti orang ketiga tunggal untuk menyebut Adipati Mangkunagaran atau Adipati Pakualaman” (laman Gelar Kebangsawanan Jawa, pada bagian Penguasa - dilihat: 30/09/2024). 

Sejujurnya, penulis kurang begitu mengerti penggunaan dari gelar-gelar ini. Dan, untuk itu, tidak etis rasanya jika saya menulis dengan gaya tulisan seolah-olah penulis memahami penggunaan dari gelar-gelar ini. Ada banyak sumber yang mungkin dapat ditemukan dalam mesin pencarian daring. Namun, sayangnya, sumber-sumber yang penulis temukan tidak secara khusus membahas tentang gelar “Sri”. Yang karenanya pada tulisan ini, gelar-gelar tersebut, pada akhirnya, hanya semata disajikan sebagai contoh bahwa: orang-orang Indonesia mengenal penggunaan kata “Sri” sebagai “gelar” – ini bagian yang harus diingat.

Dan bukan hanya di Indonesia, penggunaan kata “S(h)ri” sebagai “gelar kehormatan”, khususnya yang berada di depan (awalan/prefiks) sebuah nama, juga dikenal di kalangan orang-orang Asia Tenggara, seperti Thailand, Filipina, dan Malaysia. Namun, sepertinya, penggunaan gelar kehormatan ini tidak lagi digunakan di Thailand dan Filipina, sebab contohnya sangat sulit untuk ditemukan – setidaknya bagi penulis yang melakukan pencarian cepat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun