Dibandingkan nama "Bhoja" yang jauh lebih tidak dikenal, nama "Mathura" sebetulnya lebih dikenal di Indonesia. Hanya saja, penulis belum memahami sepenuhnya hubungan antara dua nama ini. Yang penulis pahami (sejauh ini) adalah nama "Bhoja" merujuk pada nama "suku", sedangkan "Mathura" merupakan nama "tempat".
Sedikit tambahan, menurut kitab Vishnu (Wisnu) Purana bab XII, Mathura merupakan kota yang didirikan oleh Śatrughna, adik dari Sri Rāma, di tempat beliau mengalahkan raksasa Lavaṇa (Rahwana) yang merupakan putra/keturunan Madhu. Yang menarik dari nama ini adalah: jika nama "Bhoja" (atau variasinya) dapat kita temukan pada nama suatu wilayah di Jawa Timur, nama "Mathura" atau variasinya seharusnya juga ikut ditemukan di sekitar wilayah Jawa Timur... bukan? Dan, mungkin, sudah ada yang bisa menebak daerah yang penulis maksudkan...
Namun sayangnya, sekali lagi, masih sulit untuk menemukan hubungan langsung di antara nama-nama ini. Yang cukup pasti di sini adalah nama "Bhoja" itu sendiri, sebab nama "Bhoja" ini cukup legendaris - setidaknya di India. Karenanya, tidak mengherankan jika peneliti sekelas Herr. Hirth, Mr. Woodville, dan sensei Takakusu cukup yakin dalam menghubungkan nama ini dengan “Fo-shih” dan “Fo-ts’i” (Fo-ch’i) - yang juga disebut “Shih-li-fo-shih” dan “San-fo-ts'i (ch’i)". Pada nama-nama ini, kita dapat melihat sendiri bahwa elemen yang dapat dipisahkan, dihilangkan, atau dilesapkan berada di awal nama-nama tersebut – dan bukan di akhir, sebab nama yang penting untuk dikenal justru berada di akhir dan bukan awalannya.
Sekarang jika kita kembali pada kesimpulan monsieur Sauvaget, bahwa ejaan Arab menghilangkan akhiran "-ya" di akhir nama “Sribuza”, maka nama ini justru menjadi tidak dikenal, bukan? Hal ini disebabkan nama yang butuh dikenal justru "Wijaya" atau "Vijaya" dan bukan "Sribuza" (yang justru menghilangkan akhiran "-ya" dalam teori monsieur Sauvaget).
Karenanya, jika merujuk pada "pola" yang telah diberikan, jika "Sribuza" merujuk pada "Sriwijaya" (Srivijaya), tidak mungkin rasanya akhiran "-ya" yang justru dihilangkan - sekali lagi: jika memang nama "Sribuza" mengacu pada "Srivijaya" (Sriwijaya). Dengan alasan inilah, kemungkinannya justru: nama "Sribuza" tidak merujuk pada "Sriwijaya" (Srivijaya), tetapi pada nama lain.
Jika aturan pemenggalan yang ada pada catatan Cina dan aturan penulisan kata "Sri" di India kita ikuti dan terapkan pada nama Sarbaza/Serboza/Sribuza, kita akan mendapatkan nama-nama berikut:
Baza/Boza/Buza
Nama-nama ini jelas memiliki kemiripan, atau bahkan sama persis, dengan nama “Bhoja” (Bhoga). Sedangkan, elemen yang dihilangkan adalah suku kata: Sar/Ser/Sri – yang juga memiliki kemiripan atau bahkan sama persis dengan kata “Sri” dalam “Sribhoja/Sribhoga”. Satu hal yang paling unik dari keterangan-keterangan ini adalah pengejaan yang digunakan monsieur Cœdès dalam menulis “Sarbaza” atau “Serboza”, yaitu “Sribuza”. Ejaan yang beliau berikan sesungguhnya justru mendekatkan nama ini dengan “Sribhoja” dan bukan “Sriwijaya”. Jika kita urutkan keterangan-keterangan ini dalam suatu gambaran, kita akan mendapatkan gambaran berikut:
Sribuza = Srvja
(menurut monsieur Sauvaget, hal ini berdasarkan “aturan” transliterasi tertua penulisan ejaan dalam bahasa Arab yang mengubah huruf “v” menjadi “b” dan “j” menjadi “z” serta pelesapan silabel “ya”):
Srivija
Namun, keterangan ini sesungguhnya meninggalkan teka-teki pada akhiran “-ya” dalam nama Sriwijaya dan membuat elemen "Wijaya" atau "Vijaya" dalam nama tersebut justru menjadi sulit dikenali. Gambaran ini didapatkan dari keterangan monsieur Cœdès tentang hubungan nama “Sribuza” dengan “Sriwijaya” (hal. 320).
Akan tetapi jika kita terapkan “pola lesapan”, sebagaimana yang terjadi pada nama “Sribhoja” serta pada nama “Shih-li-fo-shih” dan “San Fo-ch’i”, kita akan mendapatkan gambaran yang jauh lebih sederhana:
Sar/baza
Ejaan meester Groeneveldt (1876) dan sensei Takakusu (1896)
Ser/boza
Ejaan Herr. Hirth dan Mr. Woodville (1911)
Sri/buza
Ejaan monsieur Cœdès (1975)
Sri/bhoja
Nama asli dalam bahasa Sanskerta