Mohon tunggu...
Ocyid
Ocyid Mohon Tunggu... Lainnya - In the Age of Information, being unknown is a privilege

Hidup seperti ngopi, ngeteh, nyoklat: manisnya sama, pahitnya beda-beda

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

SIBBuK (Bag. 4): San-bo-tsai, Jambi, dan Disintegrasi Ku-kang (Palembang) saat Keruntuhan San-bo-tsai

6 April 2024   04:36 Diperbarui: 27 November 2024   17:49 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Tulisan ini merupakan sambungan dari tiga tulisan lainnya:

1. Sejarah Indonesia Berdasarkan Buku Klasik (Bagian 1): Sribhoga (Sribhoja) dalam Catatan Biksu I-Tsing

2. Sejarah Indonesia Berdasarkan Buku Klasik (Bagian 2): San-bo-tsai dalam Catatan Willem Pieter (WP) Groeneveldt

3. Sejarah Indonesia Berdasarkan Buku Klasik (Bagian 3): Jambi sebagai Ibu Kota Lama dalam Catatan Sejarah Cina

Pada tulisan sebelumnya, penulis membahas tentang ibu kota lama kerajaan San-bo-tsai, yang mengarah pada Jambi, sedangkan ibu kota baru kerajaan ini disebutkan berada di Palembang. Oleh karena itu, sebelum berpindah ke Palembang, penceritaan tentang kerajaan San-bo-tsai pada dasarnya selalu mengarah ke Jambi. Hal ini sebetulnya cukup jelas terpapar dalam catatan sejarah Cina - jika saja kita mau mencermati narasi penceritaan kerajaan ini dalam catatan tersebut.

Bukan itu saja, dalam penceritaan yang menyebutkan nama Jambi dan Palembang ini, kita dapat mengetahui bahwa pada suatu masa Jambi dan Palembang sebetulnya berada di bawah kerajaan yang sama. Perpisahan (disintegrasi) keduanya sebetulnya mewarnai "proses" keruntuhan kerajaan San-bo-tsai - sebelum akhirnya kerajaan ini seakan-akan menghilang tanpa jejak di bumi nusantara. Pada tulisan ini, kita akan mencoba memahami berjalannya proses tersebut berdasarkan keterangan-keterangan yang terdapat dalam catatan sejarah Cina tentang kerajaan ini lebih jauh.

Chan-pi (Chan-pei) atau Jambi (Djambi)

Walau pada awal catatan beliau tentang kerajaan ini, meester WP Groeneveldt menyatakan bahwa kerajaan ini berada di Palembang berdasarkan "tradisi" (pemahaman) para sejarawan Cina (hal. 60), penceritaan catatan sejarah Cina tentang San-bo-tsai sendiri sesungguhnya selalu mengarah pada Jambi - dan bukan Palembang. Jika kita memperhatikan keterangan meester WP Groeneveldt terkait penyebutan "Jambi" (Djambi) dalam bukunya, contohnya, nama ini sebetulnya sudah disebutkan dari narasi awal dalam catatan dinasti Sung (Song; 960-279) yang menjelaskan bahwa: raja di San-bo-tsai disebut atau bergelar (styled) “Chan-pi”. Kata "Chan-pi" inilah yang diinterpretasikan oleh meester WP Groeneveldt sebagai "Jambi" (Djambi - hal. 63).

Namun, meester Groeneveldt menduga bahwa sebutan ini tidak merujuk pada sebutan diri (nama) atau gelar raja, tetapi suatu kesalahpahaman penulis catatan dalam mengidentifikasi “Jambi” sebagai nama tempat yang dikenal oleh orang Cina. Oleh karenanya, bagi meester Groeneveldt, sebutan “Chan-pi” ini tidak merujuk pada gelar atau nama seorang raja (Raja Jambi), tetapi semata merujuk pada raja “dari” Jambi. Meester Groeneveldt sendiri mengakui keraguannya perihal nama “Jambi” dalam catatan akhirnya (hal. 76), khususnya terkait keterangan catatan dinasti Ming tentang nama ini (hal. 72) yang beliau nyatakan: “sepertinya” (does not seem) tidak dapat diandalkan dan tidak didukung oleh keterangan-keterangan lain, kecuali “karangan/khayalan” (fancy) dari penulis (catatan) itu sendiri.

Namun, pun demikian, sebetulnya ada catatan khusus terkait penggunaan nama raja yang digunakan sebagai nama kerajaan di sekitaran Semenanjung Malaya. Monsieur George Cœdès dalam bukunya, The Indianized States of Southeast Asia, menyatakan bahwa nama kerajaan yang dipinjam dari nama raja merupakan sebuah hal yang biasa (customary usage) di kawasan ini (hal. 55). Hal ini beliau nyatakan saat mempertanyakan nama raja kerajaan Ho-lo-tan yang mengirim utusan kepada kaisar Cina pada tahun 434, yaitu raja Shih-li-p'i-ch'o-yeh. Menurut monsieur Cœdès, nama ini merupakan "transkripsi" (bentuk tulis dari pengucapan) yang sesuai dengan nama Sriwijaya. Karenanya, beliau mempertanyakan: apakah nama Sriwijaya berasal dari nama ini?

Selain (raja) Jambi dan (raja) Shih-li-p'i-ch'o-yeh, satu nama raja lain yang juga mengingatkan pada nama wilayah, menurut meester Groeneveldt, adalah raja Ma-na-ha-pau-lin-pang yang mengirim utusan kepada kaisar Cina pada 1374 (hal. 69). Menurut beliau, tiga suku kata terakhir dari nama raja ini (pau-lin-pang) mengingatkan kita pada nama "Palembang". Akan tetapi, pun dengan temuan ini, beliau menyatakan bahwa Jambi dan Palembang kemungkinan telah lama ada sebelum keruntuhan kerajaan San-bo-tsai. Ini alasan utama mengapa beliau meragukan nama Jambi berasal dari nama raja - sebagaimana yang dijelaskan oleh catatan sejarah Cina itu sendiri.

Terkait nama "Jambi", satu hal yang harus diingat di sini adalah: keraguan meester Groeneveldt sebetulnya merupakan pendapat beliau sendiri. Beliau tidak menyertakan bukti-bukti lebih jauh yang menunjukkan bahwa nama Jambi memang telah ada sebelum nama raja ini disebutkan dalam catatan sejarah Cina. Karenanya, pernyataan beliau sebenarnya tidak lebih dari sebuah "opini pribadi" yang butuh ditelusuri lebih jauh kebenarannya. Adapun, penggunaan nama raja yang pada akhirnya menjadi nama kerajaan sebetulnya bukanlah sesuatu yang tidak biasa, sebagaimana yang diungkapkan oleh monsieur Cœdès.

Ada beberapa nama-nama kerajaan lain yang, diduga, berasal dari nama raja-raja. Sayangnya, sebab mengumpulkan materi yang dibutuhkan tidaklah mudah, kita terpaksa membahas hal ini di kesempatan yang lain. Setidaknya, sampai sini, kita tahu bahwa meester Groeneveldt tidak sendirian dalam mengartikan nama "Chan-pi" sebagai "Jambi". Monsieur George Cœdès dalam bukunya juga mengidentifikasikan hal yang sama, hanya saja beliau menggunakan ejaan "Chan-pei" (Cœdès, 179).

Dalam catatan sejarah Cina yang diterjemahkan oleh meester Groeneveldt, Chan-pi (Jambi) beberapa kali disebutkan, salah satunya pada narasi (penceritaan) tentang perpindahan ibu kota lama dari San-bo-tsai ke Palembang atau Ku-kang (hal. 73). Dalam narasi yang dimulai satu halaman sebelumnya ini, terdapat penjelasan bahwa orang-orang dari kalangan (sosial) yang lebih rendah menyebut orang-orang dari kalangan yang lebih tinggi dengan sebutan “Chan-pi” - yang artinya sama dengan "penguasa negeri" (means the same as sovereign of the country). Kemudian, ada juga keterangan bahwa tempat di mana pemimpin pertama (first chief) mereka tinggal juga disebut “Chan-pi” (Jambi). Setelah penjelasan ini, barulah keterangan tentang perpindahan ibu kota itu disebutkan.

Jika kita menggunakan asumsi bahwa informasi yang diberikan saling berhubungan secara teratur, keterangan tentang “Chan-pi” (Jambi) tepat sebelum penjelasan tentang perpindahan ibu kota San-bo-tsai ke Ku-kang (Palembang) ini sesungguhnya akan membawa kita pada kesimpulan bahwa: ibu kota San-bo-tsai yang lama berada di “Jambi” (Chan-pi) itu sendiri. Jika kita berpikir secara logis bahwa informasi yang diberikan sebetulnya saling terhubung secara runut, tidak mungkin rasanya informasi tentang "Chan-pi" ini lepas konteks dari keterangan tentang perpindahan ibu kota San-bo-tsai yang diterangkan setelahnya. Mungkinkah catatan sejarah Cina ini menceritakan keterangan-keterangan yang terletak bersebelahan ini secara acak (random)?

Keterhubungan yang ada pun sebetulnya tidak lepas konteks dari awal nama "Chan-pi" disebutkan pada catatan sejarah dinasti Sung (Song). Dalam artian, dari awal penceritaan di mana nama Jambi ini disebutkan hingga titik ini, keterangan yang diberikan akan mengarah pada Jambi itu sendiri - dan bukan pada Palembang yang disebut-sebut sebagai ibu kota baru. Karenanya, jika kita susun informasi-informasi yang berkaitan ini secara teratur, ditambah dengan keterangan yang menjelaskan tentang perubahan nama dan perpindahan ibu kota sebagaimana yang telah penulis jelaskan dalam artikel-artikel sebelumnya, kita akan mendapatkan urutan kronologi peristiwa sebagai berikut:

  • Penyebutan nama “Chan-pi” yang disebut sebagai raja atau, setidaknya “gelar” raja, San-bo-tsai dalam catatan sejarah dinasti Sung (Song – 960-1279) saat menjelaskan tentang kerajaan ini (hal. 63)
  • Perubahan nama kerajaan San-bo-tsai menjadi Ku-kang (Sungai Tua) dan kekacauan yang terjadi pada kerajaan San-bo-tsai akibat finalisasi pendudukan Jawa pada sekitar tahun 1397 (hal. 71) - pada titik ini, belum ada keterangan terkait perpindahan ibu kota
  • Catatan sejarah Cina tentang peristiwa pada akhir pemerintahan kaisar Chia-ching (Jiajing) dari dinasti Ming, yang berkuasa pada tahun 1522-1566 (1521-1567), yang menyebutkan tentang “Chan-pi” (Jambi) sebagai nama tempat di mana pemimpin (chief – walau dari konteksnya sepertinya mengarah pada “raja”) pertama mereka tinggal (hal. 73). Setelah keterangan ini, barulah disebutkan bahwa ibu kota lama San-bo-tsai telah dipindah ke Palembang
  • Penyebutan “Palembang” (P'o-lin-pang) secara langsung sebagai nama lain dari Ku-kang dalam catatan shifu Ma Huan (Ying-yai Sheng-lan – 1416) yang mengindikasikan perpindahan ibu kota kerajaan San-bo-tsai kemungkinan terjadi sebelum kedatangan ini. Catatan shifu Ma Huan (sepertinya) juga dapat menjadi penanda di mana San-bo-tsai, yang tadinya merupakan kerajaan yang luas, pada akhirnya hanya semata diidentikkan dengan Palembang
  • Penyebutan “men of Djambi” (orang-orang Jambi) dalam narasi tentang kapal yang berlabuh di Ku-kang pada catatan Tung Hsi Yang K’au (1618) yang mengindikasikan telah terpisahnya Jambi dengan Palembang yang, pada awalnya, berada di bawah kekuasaan kerajaan yang sama

Narasi tentang Jambi yang diceritakan dalam catatan sejarah Cina sebetulnya sempat beralih ke Palembang pada catatan shifu Ma Huan, atau setelah perpindahan ibu kota. Karenanya, untuk mencapai suatu keteraturan, kita akan butuh untuk melewati catatan ini dan beralih pada catatan yang kembali membahas keterangan lanjutan tentang Jambi. Keterangan ini berada pada catatan terakhir yang diterjemahkan oleh meester Groeneveldt pada subbagian San-bo-tsai, yaitu: catatan Tung Hsi Yang Káu - Buku III yang bertarikh 1618 (hal. 75). Dalam catatan ini, terdapat keterangan yang menyebutkan tentang orang-orang Jambi (men of Djambi) yang melakukan perdagangan dengan cara bertukar barang (barter) di Palembang.

Keterangan tentang orang-orang Jambi yang melakukan pertukaran (barter) di Palembang - Dokpri
Keterangan tentang orang-orang Jambi yang melakukan pertukaran (barter) di Palembang - Dokpri

Men of Djambi

Orang-orang Jambi ini diterangkan melakukan perdagangan dengan cara menukar barang dengan “pepper” (secara harfiah merica/lada, walau bisa saja merujuk pada rempah-rempah secara umum), saat kapal bersandar di "Ku-kang" – yang saat ini sudah merujuk, semata, pada Palembang. Dalam keterangan akhir catatan ini turut diceritakan bahwa ibu kota kerajaan San-bo-tsai, yang tadinya merupakan kerajaan yang “kaya” (makmur), telah ditinggalkan dan hanya beberapa pedagang yang datang ke sana pada waktu catatan ini dibuat.

Keterangan ini, secara jelas, berhubungan dengan informasi yang menceritakan tentang perpindahan ibu kota. Karenanya secara logis, ibu kota yang dinyatakan telah ditinggalkan dalam keterangan tersebut akan membawa kita kembali pada "Jambi" sebagai ibu kota lama. Dari informasi yang tertera ini juga, kita dapat memahami bahwa pada saat inilah dalam sejarah, ibu kota baru atau Palembang telah menjadi tempat yang ramai - khususnya dalam hal perdagangan. Hal ini berkesesuaian dengan keterangan yang diberikan tentang kedatangan kapal di Ku-kang (Palembang), dan bahkan orang-orang yang berasal dari Jambi, untuk berdagang. Pertanyaannya, tentu: mengapa “orang-orang Jambi” (men of Djambi) yang disebutkan dalam penceritaan ini, jika orang-orang ini tidak ada hubungannya dengan ibu kota yang ditinggalkan?

Meester Groeneveldt dalam catatan kakinya mengungkapkan kebingungan beliau: “catatan ini tidak begitu jelas, Ku-kang adalah Palembang, tapi tiba-tiba penulis (catatan) itu menyebutkan ‘orang-orang Jambi’ tanpa mengatakan apakah mereka melakukan perdagangan (dengan sistem barter) ini di ibu kota mereka sendiri atau hanya di Palembang”. Dari pernyataan ini, kita dapat menangkap kebingungan beliau tentang penyebutan "orang-orang Jambi" yang (menurut beliau) disebutkan secara tiba-tiba, walau pertanyaan beliau sendiri mengarah pada “lokasi dagang”: apakah orang-orang dari Jambi ini hanya melakukan perdagangan di Ku-kang ataukah juga di ibu kota mereka sendiri? Kebingungan beliau tentang penyebutan "orang-orang Jambi", yang seakan-akan disebutkan secara tiba-tiba, ini sebetulnya telah dijawab oleh keterangan dalam catatan tersebut: sebab ibu kota San-bo-tsai yang dinyatakan telah ditinggalkan sesungguhnya adalah Jambi itu sendiri - dengan alasan inilah "orang-orang Jambi" turut diceritakan dalam catatan itu.

Satu hal lain yang butuh untuk dicermati di sini adalah penyebutan orang-orang Jambi (men of Djambi) dan Ku-kang (Palembang) yang disebutkan secara terpisah. Dalam artian, tidak ada keterangan yang menjelaskan bahwa orang-orang ini adalah orang-orang San-bo-tsai, yang telah berganti nama menjadi Ku-kang, yang berasal dari Jambi. Jika pada saat itu orang-orang ini masih dikenali sebagai orang-orang dari kerajaan San-bo-tsai, yang pada awalnya Palembang termasuk ke dalam wilayahnya, orang-orang ini seharusnya dikenali sebagai “orang-orang Ku-kang yang berasal dari Jambi” - dan bukan semata-mata sebagai orang Jambi. Namun, keterangan meester Groeneveldt sendiri semata menyatakan bahwa “orang-orang Jambi” ini memiliki ibu kota mereka sendiri (their own capital – hal. 76).

Ketiadaan keterangan yang menghubungkan orang-orang Jambi dengan Palembang (Ku-kang) ini, pada masa itu, sesungguhnya mengindikasikan bahwa Jambi dan Palembang, yang tadinya berada di bawah kekuasaan kerajaan yang sama, pada akhirnya terpisah dan menjadi dua wilayah yang independen (tersendiri). Hal ini disebabkan, jika Jambi saat itu masih dikenali sebagai bagian dari kerajaan San-bo-tsai (Ku-kang) yang telah berpindah ibu kota ke Palembang, orang-orang ini pasti disebutkan masih berasal dari kerajaan yang sama. Dengan alasan inilah, kemungkinan itu hadir, bahwa pada titik ini dalam penceritaan sejarah tersebut, atau katakanlah pada sekitar tahun 1618, Jambi telah sepenuhnya berpisah dari Palembang - atau sebaliknya, Palembang telah berpisah dari Jambi. Dan untuk itu, orang-orang Jambi tidak lagi dikenali sebagai orang-orang yang sama dengan orang-orang Ku-kang yang, pada titik ini dalam sejarah, telah semata diidentikkan dengan Palembang.

Entah kapan tepatnya perpisahan ini terjadi. Yang pasti, pada tahun 1405-1406, kekaisaran Cina masih berhubungan dengan orang-orang San-bo-tsai dengan mengundang pemimpin-pemimpinnya, yaitu Liang Tau-ming dan Ch’ên Tsu-i. Dan, berbeda dari kesimpulan meester Groeneveldt, keberadaan dua pemimpin di San-bo-tsai yang telah berganti nama menjadi Ku-kang ini sebenarnya tidak secara jelas menunjukkan bahwa San-bo-tsai dan Ku-kang adalah dua wilayah yang berbeda - sebagaimana yang telah dibahas pada artikel sebelumnya. Hal ini bisa jadi menunjukkan bahwa memang terdapat dua pemimpin orang-orang di Cina yang ada di San-bo-tsai: Liang Tau-ming sebagai pemimpin (master) orang-orang Cina yang dikatakan menguasai sebagian wilayah kerajaan San-bo-tsai (tidak disebutkan secara jelas di mana dan wilayah mana saja tepatnya yang beliau kuasai), sedangkan Ch’ên Tsu-i dikatakan sebagai pemimpin (chief) di Ku-kang - yang mengarah pada posisi beliau sebagai pemimpin di ibu kota pada saat itu.

Sedikit catatan, pada suatu peristiwa di tahun 1407 diceritakan bahwa Ch’ên Tsu-i berencana merampok laksamana Cheng Ho (Zheng He). Namun, aksi ini digagalkan berkat laporan dari seseorang bernama Shih Chin-ch’ing. Orang ini, lalu kemudian, diangkat menjadi pemimpin orang-orang di Ku-kang. Dalam narasi ini, terdapat keterangan yang menyatakan bahwa wilayah kepemimpinan Shih Chin-ch’ing tidaklah luas dan tidak dapat disandingkan dengan wilayah kerajaan San-bo-tsai yang lama. Namun, apakah pada masa ini ibu kota telah berpindah dari Jambi ke Palembang? Sayangnya, masih sulit untuk menentukan hal tersebut pada saat ini. Yang pasti, penceritaan ini menunjukkan bahwa Jambi dan Palembang, pada saat itu, masih berada di bawah kerajaan yang sama - yaitu kerajaan San-bo-tsai yang telah berganti nama menjadi Ku-kang.

Sekali lagi, entah kapan tepatnya perpisahan itu terjadi. Yang jelas, kita tahu bahwa disintegrasi ini telah terjadi selama lebih dari 406 tahun (2024-1618), tetapi kurang dari 617 tahun (2024-1407). Karenanya, ada jeda sekitar 211 tahun di antara kedua peristiwa tersebut (1405-1618). Dengan perhitungan ini, kemungkinannya, perpisahan (disintegrasi) Jambi dan Palembang, yang juga sekaligus menandakan runtuhnya kerajaan San-bo-tsai secara menyeluruh, terjadi selama kurun waktu tersebut. Setidaknya, kita tahu pada tahun 1618, orang-orang dari Jambi tidak lagi teridentifikasi sebagai orang-orang San-bo-tsai yang saat itu telah berganti nama menjadi Ku-kang dan beribukota di Palembang.

Dari penjelasan-penjelasan yang telah diberikan, kita dapat melihat bahwa keterangan tentang catatan sejarah Cina sebetulnya selalu mengarah ke Jambi - khususnya sebagai ibu kota lama. Dari mulai penyebutan tentang Raja Jambi, perpindahan ibu kota ke Palembang, hingga keterangan tentang orang-orang Jambi yang berdagang di Ku-kang, catatan sejarah Cina dari mulai dinasti Sung (Song; 960-279) hingga catatan Tung Hsi Yang Káu - Buku III (1618) selalu bercerita tentang Jambi. Lalu, jika pada dasarnya (ibu kota lama) kerajaan San-bo-tsai menurut catatan sejarah Cina itu sendiri selalu mengarah ke Jambi, mengapa tradisi pemahaman Cina pada akhirnya mengidentikkan San-bo-tsai (Ku-kang) semata sebagai Palembang - sebagaimana yang dinyatakan oleh meester Groeneveldt (hal. 60) dan juga sensei Takakusu (hal. xliv) dalam buku mereka?

Tiga Alasan Kesalahpahaman Letak San-bo-tsai

Ada setidaknya tiga alasan sederhana mengapa kesalahan identifikasi terkait "letak" ini terjadi. Yang pertama, harus diingat bahwa catatan-catatan sejarah dinasti-dinasti di Cina ini sebetulnya berjarak ratusan tahun jauhnya. Hal ini belum ditambah adanya "jeda" (catatan-catatan yang bisa dibilang hilang, belum ditemukan, atau belum dipelajari lebih jauh) di antara catatan-catatan yang ada. Hal ini tercermin dari pernyataan meester Groeneveldt pada catatan akhir beliau tentang kerajaan Kan-da-li; di mana nama kerajaan di pesisir timur Sumatra ini sebetulnya menghilang dalam catatan sejarah Cina dan baru ditemukan kembali pada akhir abad ke-10 dengan nama yang berbeda (hal. 62). Keadaan ini jelas mempersulit proses identifikasi yang dilakukan oleh sejarawan-sejarawan Cina.

Yang kedua, pergantian nama serta perpindahan ibu kota kerajaan San-bo-tsai, sebagaimana yang telah didemonstrasikan (ditunjukkan) dalam tulisan-tulisan ini, kemungkinan turut memperumit "proses" identifikasi yang dilakukan oleh para sejarawan Cina - yang pada akhirnya juga turut mempengaruhi para peneliti modern, seperti meester Groeneveldt, sensei Takakusu, dan monsieur Cœdès. Hal ini belum ditambah kemiripan topografi antara Jambi dan Palembang.

Keduanya, semisal, sama-sama berada di wilayah pertigaan antara Selat Malaka, Laut Tiongkok Selatan, dan Laut Jawa. Keduanya sama-sama dilalui aliran sungai-sungai terbesar (terpanjang) di Sumatra: sungai Batang Hari di Jambi dan sungai Musi di Palembang. Dan, aliran sungai-sungai ini sama-sama bermuara di pesisir timur Sumatra. Letak keduanya, dari muara sungai-sungai tersebut, juga sama-sama cukup jauh dari muara sungai - sebagaimana yang mungkin bisa ditunjukkan pada peta-peta dibawah ini:

Letak Jambi dari arah muara sungai Batang Hari (warna biru) di pesisir Timur Sumatra - Dokpri
Letak Jambi dari arah muara sungai Batang Hari (warna biru) di pesisir Timur Sumatra - Dokpri

Letak Palembang dari arah muara sungai Musi di pesisir timur daratan Sumatra - Dokpri
Letak Palembang dari arah muara sungai Musi di pesisir timur daratan Sumatra - Dokpri

Mengingat kemiripan topografi antara Jambi dan Palembang ini, kesalahpahaman terkait identifikasi letak kerajaan San-bo-tsai sebetulnya merupakan suatu hal yang, bisa dibilang, cukup wajar. Hal ini belum ditambah rumitnya permasalahan pergantian nama dan perpindahan ibu kota yang terjadi pada kerajaan San-bo-tsai.

Pun dengan semua permasalahan ini, San-bo-tsai memiliki dua ibu kota, ibu kota lama dan ibu kota baru, sesungguhnya cukup tidak terbantahkan. Karenanya, bagaimanapun, Jambi dan Palembang tetaplah sama-sama pernah menjadi ibu kota kerajaan San-bo-tsai. Namun, pertanyaannya di sini adalah: mengapa pada akhirnya letak kerajaan ini semata terpaku pada Palembang?

Selain dua poin yang telah penulis jabarkan, terdapat satu poin lain yang kemungkinan sangat mempengaruhi kesalahpahaman sejarawan Cina dalam mengidentifikasi letak San-bo-tsai di Palembang. Kesalahpahaman ini sangat mungkin bersumber dari kesalahpahaman dalam memahami catatan shifu Ma Huan, Ying-yai Sheng-lan (1416), saat beliau berkunjung ke Palembang (P’o-lin-pang). Dan, untuk menjejaki kesalahpahaman ini hingga ke akarnya, kita akan butuh untuk melihat dan mencermati catatan yang beliau tinggalkan. Namun, sebab penjabarannya cukup panjang, pembahasan ini akan kita lanjutkan kembali pada tulisan berikutnya. Sabar, ya...

Bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun