Kalangan masyarakat dan mahasiswa Surabaya mendadak rami memperbincangkan Pemkot Surabaya setelah keputusan pemerintah kota untuk meniadakan kegiatan Car Free Day (CFD) pada Minggu, 29 Desember 2024. Keputusan ini menjadi sorotan karena bertepatan dengan rencana demonstrasi mahasiswa dan masyarakat yang ingin menyuarakan penolakan terhadap kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. Banyak pihak mempertanyakan, apakah ini murni langkah teknis menjelang tahun baru, atau strategi untuk meredam suara publik?
Peniadaan CFD yang Mendadak
Melalui pengumuman dari akun media sosial resmi beberapa dinas, seperti $ @dishubsurabaya dan @dlh.surabaya$ , pemerintah kota menyatakan bahwa CFD di seluruh wilayah Surabaya pada tanggal tersebut ditiadakan. Alasannya adalah fokus pada persiapan tahun baru. Namun, pengumuman ini muncul hanya beberapa jam setelah $ poster-poster aksi demonstrasi #TolakPPN12%$ Â mulai tersebar luas.
Mahasiswa dari berbagai universitas, termasuk Universitas Airlangga, sudah merencanakan aksi mimbar rakyat di CFD Taman Bungkul. Lokasi ini dipilih karena sifatnya yang terbuka sebagai ruang publik, di mana warga biasa berkumpul setiap Minggu pagi. Keputusan mendadak ini pun dianggap menghambat penyampaian aspirasi secara damai. Padahal, sudah jelas di pasal 28E ayat 3, ''Setiap orang  berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.". Lantas, apa alasan pemkot menghambat aspirasi masyarakat dan mahasiswa? Â
Reaksi Keras Dari Mahasiswa dan Masyarakat
Keputusan ini memicu gelombang kritik di media sosial. Akun resmi BEM Universitas Airlangga menyebut langkah Pemkot sebagai langkah yang "memalukan" dan menuding bahwa pemerintah takut terhadap gerakan sipil yang menolak PPN 12%. Poster demonstrasi yang telah tersebar luas sebelumnya menjadi viral, menggambarkan mahasiswa dan masyarakat Surabaya bersatu dalam aksi penolakan terhadap kebijakan tersebut.
Gerakan ini tidak hanya menyoroti kenaikan PPN yang dianggap memberatkan masyarakat kecil, tetapi juga mempertanyakan transparansi pemerintah dalam mengelola pajak. Dalam unggahannya, BEM Universitas Airlangga menegaskan bahwa penundaan CFD ini berpotensi menjadi hal buruk bagi kebebasan berekspresi di ruang publik.Â
Tentu postingan pemkot tentang peniadaan CFD menuai hujatan dari kalangan masyarakat dan mahasiswa, berikut beberapa yang terpampang:Â
1. @athaariq_akbar: "Izin saran caption Min:Â
Boloo, kami infokan CFD libur karena ada mahasiswa yang ingin melebur dengan masyarakat untuk menolak PPN 12%"Â
2. Â @azhurazoudir: "Walach gimana tuh gamau mendengarkan aspirasi rakyat,, mana janji kampanyenya, yuk muhasabah diri"Â
3. @fokusoposisi: "CFD diliburkan, Penolakan PPN 12 Gas terus."Â
Kenaikan PPN 12% dan Beban Rakyat
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% resmi diberlakukan oleh pemerintah pada awal 2024. Walaupun secara angka terlihat kecil yakni hanya 1%, namun dampaknya dirasakan signifikan oleh masyarakat, terutama golongan menengah ke bawah.Â
Sebagai contoh, harga kebutuhan pokok yang sudah tinggi akibat inflasi menjadi semakin mahal. Misalnya, untuk setiap pembelian bahan pokok senilai Rp1 juta, masyarakat kini harus membayar tambahan pajak sebesar Rp120 ribu dibandingkan Rp110 ribu sebelumnya. Perbedaan Rp10 ribu ini mungkin terlihat kecil, tetapi akan terasa berat jika dikalkulasikan setiap bulan, terutama bagi masyarakat kalangan bawah.Â
Selain itu, kenaikan ini juga berdampak pada biaya pendidikan. Buku pelajaran dan alat tulis yang tidak termasuk kategori bebas pajak turut mengalami kenaikan harga. Seorang mahasiswa yang harus membeli buku seharga Rp500 ribu kini harus mengeluarkan tambahan Rp60 ribu, dibandingkan Rp55 ribu sebelumnya. Memang hanya Rp5 ribu, namun nilai tersebut juga bukan nilai yang kecil di mata masyarakat kecil.Â
Dalam situasi ini, kenaikan PPN tidak hanya menciptakan tekanan ekonomi baru, tetapi juga memicu ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai kurang memihak kepada masyarakat.Â
Apa yang Harus Dilakukan Pemkot?
Peniadaan CFD pada momen penting ini meninggalkan pertanyaan besar: apakah ini benar-benar soal teknis menyambut tahun baru, atau upaya menghindari tekanan publik? Pemerintah Kota Surabaya perlu menjelaskan dengan transparan alasan di balik keputusan ini, sekaligus memastikan ruang demokrasi tetap terbuka bagi masyarakat yang ingin menyuarakan aspirasinya. Sebab, ketika ruang publik mulai dibatasi, maka suara rakyat yang menjadi korban.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H