Mohon tunggu...
Octavia Cahyaningyang
Octavia Cahyaningyang Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pandemi Kekerasan Seksual di Media Sosial

9 Juni 2021   11:47 Diperbarui: 9 Juni 2021   12:18 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pandemi yang memaksa banyak orang hidup di dunia maya untuk mencegah penyebaran virus telah memaparkan perempuan pada bentuk kekerasan baru, yaitu kekerasan berbasis gender berbasis online. Kekerasan ini merupakan serangan terhadap tubuh seseorang, orientasi seksual dan identitas gender yang didorong oleh teknologi digital.

Data terbaru menunjukkan bahwa kekerasan gender berbasis internet diperkirakan meningkat lebih dari 40% tahun ini. Pada 2019, tercatat 281 kasus, dan ada 659 kasus dalam 10 bulan terakhir saja.

Studi terbaru juga menunjukkan bahwa kebanyakan korban berasal dari generasi muda. Hal ini terjadi karena kebanyakan orang yang menggunakan internet adalah anak muda untuk bekerja dan belajar.

Dari sisi gender, yang mudah menjadi korban adalah perempuan, yaitu sebesar 71%.

Sayangnya, hingga saat ini, Indonesia belum memiliki regulasi yang jelas tentang kekerasan gender online.

Artikel ini mencoba menjelaskan berbagai bentuk kekerasan gender online dan upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap pelakunya.

Bentuk-bentuk kekerasan gender online

Kekerasan gender online didasarkan pada hubungan kekuasaan yang tidak setara. Tujuan pelaku biasanya untuk mendapatkan keuntungan seksual atau finansial atau keduanya dengan menyebabkan ketidaknyamanan dan kerugian bagi korban. Ciri khas dari bentuk kekerasan ini adalah partisipasi teknologi digital. Setidaknya ada tiga bentuk kekerasan online berbasis gender di Indonesia:

1. Kekerasan seksual dipicu oleh teknologi

Dalam hal ini, pelaku melakukan kekerasan seksual (cabul, pelecehan seksual, pemerkosaan, eksploitasi tubuh orang lain) terhadap orang lain secara real time melalui internet. Interaksi ini berbayar dan eksklusif. Satu kasus terjadi di Aceh. Sekelompok mahasiswa ditipu oleh jaringan penjahat dan memposting foto bugil mereka melalui media sosial. Kemudian mereka dieksploitasi secara seksual melalui internet dan dipaksa menjadi pelacur di dunia nyata. Di Bojonegoro, Jawa Timur, seorang guru memotret korban telanjang dan menjualnya di Internet. Dia kemudian memaksa korban untuk berhubungan seks di Internet dan tatap muka.

2. Penyebaran Konten Seksual

Tindakan ini dalam bentuk penyebaran foto, video, dan tangkapan layar dari percakapan antara pelaku dan korban. Konten yang didistribusikan mengandung elemen intim dan pornografi korban. Kasus ini adalah penyebaran foto telanjang 14 wanita muda di Lampung Selatan. Mereka bertemu pelaku di media sosial dan kemudian diancam dan dibujuk untuk mengambil foto telanjang. Ancaman dan tindakan dilakukan dengan tujuan memperoleh keuntungan seksual dan keuangan dari korban.

3. Balas dendam dengan pornografi

Bentuk kekerasan ini melibatkan mereka yang memiliki hubungan intim. Para pelaku menyebarluaskan kandungannya yang intim dengan korban untuk memfitnah nama baik korban, balas dendam, atau memperoleh manfaat finansial. Salah satu contoh kasus ini adalah penyebaran foto intim dari mantan pacar oleh siswa di Banyumas, Jawa Tengah.

Para pelaku biasanya adalah suami, mantan suami, mantan pacar, perselingkuhan, dan puncak para korban.

Upaya hukum

Penanganan kasus kekerasan berbasis gender online di Indonesia masih sangat terbatas karena tidak ada payung hukum yang jelas. Kemampuan pejabat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus ini masih kurang. Sehingga seringkali banyak korban benar-benar dikriminalisasi untuk pelaporan.

Terlepas dari kekurangan ini, ada beberapa tindakan yang dapat dilakukan oleh individu ketika mereka menemukan bahwa mereka adalah korban dari kekerasan berbasis gender online berdasarkan bimbingan Safenet (Network Ekspresi Keyakinan Asia Tenggara), salah satu organisasi non-pemerintah Terlibat dalam perlindungan kebebasan berekspresi dan melindungi data pribadi di Asia Tenggara.

Pertama, korban perlu mengkompilasi kronologi kasusnya untuk tujuan pelaporan.

Kedua, menyimpan bukti dalam bentuk tangkapan layar tangkapan layar atau percakapan, rekaman suara atau video.

Ketiga, memutuskan komunikasi dengan pelaku jika Anda telah mengumpulkan cukup bukti. Selain itu, penting bagi para korban untuk melakukan konsultasi psikologis untuk memulihkan dan memperkuat korban sambil melaksanakan proses pelaporan.

Keempat, pada tahap pelaporan ke jalur hukum, penting untuk melakukan pemetaan risiko. Pada tahap ini penting bagi para korban dan pendampingnya memetakan opsi penyelesaian kasus dan risiko apa yang akan dihadapi oleh korban. Misalnya, jika korban mengajukan laporan kepada polisi, korban harus siap menghadapi proses interogasi yang cenderung melelahkan dan panjang.

Kelima, langkah selanjutnya melaporkan pelaku ke platform digital terkait. Setelah itu, korban mengajukan kasus kepada pejabat penegak hukum dengan memasukkan file bukti yang telah dikumpulkan.

Selain tindakan-tindakan yang bisa dilakukan korban diatas, terdapat UU yang di sah kan Pemerintah dalam menangani kasus ini dan melindungi korban yaitu, UU No 44/2008 tentang pornografi yang berbunyi "Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.".

 UU  ITE  yaitu Pasal 27 ayat (1) UU Nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik yang berbunyi "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan." , yang dimana undang-undang tersebut sangat bisa menghukum dan mengadili pelaku terhadap korbannya.

Disamping itu korban perlu juga mendapat perawatan psikisnya akibat dari peristiwa yang ia terima disamping pelaku mendapatkan hukumannya. Perlu diingat, hukum di Indonesia terhadap perilaku seksual sudah ada, namun belum bisa membuat perilaku jera dan korban aman, terutama kaum wanita. Hukum di Indonesia masih tetap harus dibenahi dan harus diperkuat lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun