"Blarrrr" terdenger suara petir bersahutan diantara awan kelabu. Hari itu Narenda sedang semangat-semangatnya untuk hunting foto landscape. Namun apa daya melihat derasnya air hujan. Untung saja ada sebuah cafe, sehingga dia berteduh dan menghangatkan badan dengan secangkir kopi.
Suasana cafe cukup sepi, maklum dengan hujan sederas itu pasti tidak banyak yang datang. Namun ada yang cukup menarik perhatian Narenda. Ia seperti berada di dunia lain, tampak pelayan datang dengan kaki palsunya menghampiri Narenda dengan senyum hangat.
"Mau pesan apa mas?" sapa pelayan itu dengan ramah sambil mengulurkan buku menu.
"Saya pesan kopi arabica saja mas, tapi tanpa gula" jawab Narenda dengan senyum.
Ia mendapat pemandangan yang tak biasa, setelah pelayan cafe itu menyerahkan kertas pesanannya pada sang juru racik. Bukan karena barista itu tampan, tetapi ia tidak mempunyai tangan namun dengan gesit dia meramu kopi pesanannya. Meskipun beberapa di cafe itu tidak semua penyandang disabilitas, namun pemandangan baru ini menarik perhatiannya.
"Ini mas monggo dicoba kopinya" sapa seorang perempuan yang menyajikan kopi panas didepannya.
"Terima kasih mbak" Narendra membalasnya dengan senyum hangat.
Ia terus memperhatikan perempuan yang menyajikan kopinya dengan tangan kanan palsunya. Seumur hidup dia baru mampir kesebuah cafe yang isinya banyak orang disabilitasnya. Narendra mencicip kopi didepannya, terasa pait namun ada rasa lembut karena kopi disaring dengan benar. Niat kini berubah, dia tersentuh dengan keramahan dan rasa dari kopi yang disajikan ini.
"Anu...boleh saya tanya siapa manager disini?" tanya Narendra pada salah satu seorang pelayan.
"Loh kopinya kurang enak mas?" tanya pelayan dengan raut wajah tegang.
"Oh bukan mas, saya suka dengan racikan kopinya dan suasana cafe ini. Saya cuma mau minta ijin aja kok, boleh nggak saya motret disini." Narendra menjelaskan maksudnya dengan halus.