Selain tidak terima bila sang calon yang didukung dinilai kurang bagus, para mendukung bahkan melakukan cara lain sebagai strategi untuk menjaga agar sang calon tetap dianggap mumpuni, dengan cara mengupas, mengulas, mengorek, dan mencari-cari kesalahan calon lain.
Seperti halnya yang terjadi pasca debat kedua calon Presiden dan Wakil Presiden yang digelar beberapa waktu lalu, dengan menampilkan Muhaimin Iskandar, Gibran Rakabuming Raka, dan Mahfud MD, yang menuai keriuhan dengan saling mencari kesalahan lawan.
Roy Suryo menuduh bahwa Gibran melakukan kecurangan dengan menggunakan 3 buah mic saat memaparkan gagasannya. Tuduhan ini kemudian menjadi liar dan viral, yang kemudian diamini oleh para pendukung lawan politik Gibran.
Penggunaan mic hingga 3 buah disinyalir sebagai cara Gibran untuk bisa menerima arahan dari timnya sehingga dia bisa lancar pada saat berbicara. Namun tuduhan ini dibantah oleh Ketua KPU Hasyim Asyari. Dia mengajak Roy untuk membuktikan. Bahkan Hasyim menilai Roy sebagai tukang fitnah.
Perkara pretelan yang tidak substantif ini juga terjadi pada Muhaimin dan Mahfud MD. Masing-masing pendukung menguras energinya hanya untuk mencari kekurangan dan kesalahan lawan. Dua puluh satu daftar program Mahfud MD yang dianggap garing misalnya.
Atau komentar atas pengakuan jujur Muhaimin yang tidak mengetahui maksud pertanyaan Gibran ketika menanyakan tentang sikap Muhaimin dalam menghadapi SGEI. Sebuah singkatan yang dianggap kurang familiar. Juga pertanyaan Gibran pada Mahfud MD tentang regulasi carbon capture storage yang membuat Mahfud MD seperti bersilat lidah.
Debat yang mestinya fokus pada substansi yang dapat menjadi daya pikat untuk mendukung sang calon, berubah menjadi debat kusir tiada berujung diantara para pendukung masing-masing. Boro-boro bisa mengubah dukungan karena menariknya program, malah masing-masing menyajikan narasi pembenar atas kekurangan sang calon pujaan.
Bila pun debat tidak akan berpengaruh terhadap pilihan para pemilik suara, sejatinya ada ceruk yang menjadi segmen untuk menggalang dukungan. Mereka ini merupakan kalangan floating mass yang belum menentukan pilihan. Perlu diingat, floating mass ini rerata merupakan kalangan menengah dan terdidik.
Mereka belum menentukan pilihan sembari waiting and see. Karena kalangan ini memiliki alasan rasional saat menjatuhkan pilihan, maka baik sang calon maupun tim relawan serta para pendukung mesti memiliki daya pikat yang bisa menarik mereka untuk bergabung.
Bisa jadi mereka berniat mendukung calon Presiden tertentu karena sang calon berhasil meyakinkan dengan menawarkan program yang rasional dan terukur. Tapi kadang niat itu urung tersebab perilaku para pendukung yang norak. Seperti kerap berbagi hoax dan ujaran kebencian.
Atau ulah para pendukung yang begitu masif menarasikan kekurangan dan kelemahan calon lain, sehingga abai bahkan lupa dengan keunggulan dan kelebihan calon yang didukung. Bagi kalangan floating mass ini, cara begitu bisa mengubah niat untuk menaruh simpati yang bisa menuai sebaliknya, antipati.