Mohon tunggu...
Ocit Abdurrosyid Siddiq
Ocit Abdurrosyid Siddiq Mohon Tunggu... Guru - Warga Biasa

Penikmat kopi, penyuka film.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tuhan dalam Perang Gaza

23 Desember 2023   18:16 Diperbarui: 23 Desember 2023   18:16 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tahun 1948 Israel menjadi sebuah negara. Tahun 1967 Israel menduduki Jalur Gaza, Tepi Barat, Yerusalem Timur, Dataran Tinggi Golan Suriah, dan Semenanjung Sinai.

Sejak saat itu, perang tiada henti antara Israel dan Palestina. Karena kalah ketersediaan dan teknologi persenjataan serta dukungan, Palestina kerap mengalami kekalahan.

Akhir pekan pada pekan pertama di bulan Oktober lalu, secara mendadak Hamas menyerang Israel. Banyak jatuh korban. Baik tentara, sipil, perempuan, juga anak-anak.

Selebrasi kemenangan Hamas hanya berlangsung dua hari. Kondisi kemudian berbalik. Israel melakukan pembalasan yang jauh lebih dahsyat. Bahkan brutal.

Hamas diserang. Pemukiman diserbu. Rumah sakit dibombardir. Sekolah dirudal. Peluru dan mesiu tak mengenal apalagi memilih calon korban.

Banyak korban berjatuhan. Tentara Hamas, warga sipil, lansia, perempuan, juga anak-anak. Sudah lebih dari 10.000 orang meninggal.

Dunia bereaksi atas kebrutalan dan kebiadaban Israel. Aksi Bela Palestina menggema dimana-mana. PBB bersidang. Mereka mengutuk tindakan biadab kaum zionis.

Amerika yang menjadi adikuasa dunia yang selama ini menjadi sekutu Israel bergeming. Tidak mau mengambil tindakan tegas. Bahkan sebaliknya.

Genosida di Palestina yang dilakukan oleh Israel tetap berlangsung. Tak ada -semoga belum- kekuatan lain yang mampu menghentikan ulah dehumanisasi ini.

Saat perlawanan senjata tak bisa menandingi, saat langkah diplomasi tidak lagi berarti, saat bantuan dana tidak cukup menjadi solusi, cara lain adalah panjat doa pada ilahi.

Pastinya, itu adalah cara yang paling mudah dan sering dilakukan. Dilakukan setiap saat, setiap orang, setiap tempat, sebagai cara untuk membantu perjuangan muslim Palestina.

Tangisan bayi yang terhimpit reruntuhan bangunan, wajah memelas anak-anak yang terluka, ekspresi korban yang menahan rasa sakit karena terkena fosfor, kita "laporkan" pada Tuhan dalam doa.

Aksi Bela Palestina bukan hanya wujud kami membela mereka, bukan hanya untuk mengutuk Israel. Aksi itu sejatinya juga untuk memuja Tuhan yang disertai harapan.

Tujuh puluh lima tahun hal itu sudah dilakukan. Rentang waktu yang tidak sebentar. Namun belum cukup "mengetuk hati Tuhan" untuk menurunkan pertolongan.

Ya Tuhan, kami tidak cukup dengan janji pelipur-lara para penceramah agama yang bersuara lantang diatas mimbar yang tidak bisa kami interupsi, bahwa  di kemudian hari ada Imam Mahdi.

Sosok yang digambarkan sebagai ratu adil yang akan menciptakan kemenangan dan perdamaian. Sosok absurd untuk saat ini.

Sudah lebih dari satu bulan Israel menggempur Gaza. Ribuan orang meninggal dan terluka. Termasuk anak-anak dan wanita. Video dan foto para korban begitu mengiris rasa. Baik yang sedang dirawat maupun yang meninggal dunia.

Kita yang disini turut terbawa emosi. Larut dalam murka atas perilaku biadab Israel yang begitu keji. Tangisan bayi yang organ tubuhnya tak utuh lagi begitu menyayat hati. Ini bukan lagi perang tapi genosida yang ingin melenyapkan warga Gaza dari muka bumi.

Perang kali ini sudah tak lagi bertempur. Sekolah, pengungsian, rumah ibadah, bahkan rumah sakit habis digempur. Mesiu, roket, dan rudal, secara sporadis menyasar objek yang tidak lagi terukur. Semua hancur. Bahkan lebur.

Banyak negara bereaksi dengan mengeluarkan himbauan dan tuntutan. Agar perang tak seimbang ini dihentikan. Dana digalang untuk bantuan. Sebagian lainnya hanya bisa mendoakan. Walau itu merupakan cara selemah-lemah iman.

Kiriman video dan foto korban yang disebar untuk menggalang solidaritas sudah lebih dari cukup. Pemandangan yang menggambarkan kengerian itu sudah tak lagi membuat kita terkejut. Praktek banalitas ini sungguh biadab dan terkutuk.

Diplomasi negara, sudah. Aksi bela, sudah. Galang dana, sudah. Gerakan boikot, sudah. Bantu doa, sudah. Mengutuk juga, sudah. Harus dengan cara apalagi untuk menghentikan aksi laknatullah?

Untung ada gencatan senjata. Ini berkat desakan dunia. Agar kedua belah pihak menghentikan perang untuk sementara. Israel dan Hamas saling bertukar sandera. Situasi sesaat mereda.

Pasca gencatan senjata perang kini kembali berkobar. Bahkan area peperangan semakin melebar. Selain di Gaza, juga Lebanon dan perbatasan Mesir. Korban jatuh semakin besar.

Disana, peperangan kembali terjadi dan masih terus berlangsung. Disini, kami bukan hanya turut berkabung. Bahkan murka, serapah, dan amarah tidak terbendung.

Kiriman video dan foto korban berjatuhan sudah tak lagi mengagetkan. Pemandangan mengerikan itu selain wujud kedzaliman juga ulah yang sudah diluar batas kemanusiaan.

Sebagai orang beriman, kami punya Tuhan, yang diyakini dengan kuasaNya mampu memberikan pertolongan. Tapi kapan? Jangan-jangan..

Muslim Palestina butuh pertolongan. PertolonganMu kami butuhkan bukan nanti, bukan lewat kemunculan Imam Mahdi, bukan di kemudian hari. Tapi kini. Dan saat ini. Di mesjid kami berdoa, di musholla kami bermunajat. Bahkan di lapangan dan alun-alun kami memanjat.

Tuhan, dimana posisi? Share loc!

**

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun