Mohon tunggu...
Pendidikan Pilihan

Bukan Sebatas Papa-Mama

19 Maret 2019   21:38 Diperbarui: 19 Maret 2019   21:45 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Perkembangan dunia global ditandai dengan menguatnya teknologi yang canggih. Sesungguhnya, hal ini memberi dampak yang positif bagi kemajuan manusia. Dampak positif tersebut adalah kemudahan dalam mengakses informasi, komunikasi, bahkan membuka jendela yang seluas-luasnya bagi semua orang untuk memperkaya pengetahuan. 

Secara kasat mata, hal ini tentu menguntungkan dan bermanfaat. Akan tetapi, tanpa disadari, perlahan-lahan tapi pasti globalisasi dapat menenggelamkan jati diri dan identitas manusia itu sendiri. Informasi demi informasi yang terekam dalam pikiran tanpa disadari telah mengubah pola pikir yang sebelumnya sudah dipupuk dengan baik dan pada akhirnya menjadi terdistorsi. 

Sebagai bangsa, jiwa nasionalisme pun terancam. Pancasila menjadi urutan terakhir sebagai dasar bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Bukti nyata terkikisnya jiwa nasionalis terlihat ketika lebih banyak rakyat Indonesia yang bangga berbicara dengan menggunakan bahasa asing dibandingkan dengan bahasa ibu pertiwi. Gaya hidup kebarat-baratan kerap menjadi sorotan bagi anak bahkan orang tua sekalipun. 

Dengan demikian, kebanyakan orang tua maupun anak disadari atau tidak telah dipimpin oleh budaya global yang tanpa batas. Lajunya begitu cepat sehingga batasan etika dan moral sengaja ditinggalkan dalam bermasyarakat karena tidak lagi popular. 

Kini kehadirannya tidak dibutuhkan lagi dalam mengatur kehidupan manusia. Maka tak heran jika dewasa ini, bangsa dikhawatirkan dengan kegaduhan yang sulit dibendung. Entah darimana dan bagaimana akar masalah harus dicabut. Sepertinya semua pihak kewalahan dalam menyikapinya secara bijaksana.

Sebagai contoh, berita tentang maraknya kasus kenakalan remaja di negeri ini. Kasus terjadi pada bulan Februari 2018 berupa tewasnya seorang guru honorer di Kabupaten Sampang oleh siswanya sendiri pada saat jam pelajaran berlangsung. 

Selain kasus-kasus tersebut, masih banyak pula kasus tawuran pelajar yang dihimpun dari berbagai sumber media online, seperti adanya bentrok antar pelajar yang terjadi pada 9 September 2017 hingga terjadi penganiayaan dan penusukan terhadap dua siswa SMA Negeri di Lombok Timur. 

Permasalahan tidak berhenti pada remaja saja, media sosial juga sering mempertontonkan kegaduhan antar petinggi negara yang ada di negeri ini. Kegaduhan yang terjadipun acapkali mirip dengan sebuah tawuran yang para remaja lakukan. 

Mereka saling menghujat demi meraup keuntungan pribadi dan golongan. Mereka saling menebarkan berita hoax demi memenangkan pertandingan tanpa memperhatikan karakter bangsa yang bermartabat. Hal ini bukan lagi hal yang tabu bagi seluruh rakyat Indonesia melainkan menjadi rahasia umum bagi setiap warga negara terkhusus bagi kaum milenial sebagai kaum generasi bangsa. 

Dimana-mana dan hampir setiap hari sosial media maupun media televisi secara langsung atau tidak langsung sering menayangkan kegaduhan-kegaduhan tersebut. Pelakunya pun bermacam-macam, ada antar individu ataupun antar kelompok, mulai dari lembaga kecil hingga lembaga tinggi, baik yang berpendidikan rendah maupun berpendidikan tinggi. 

Melihat keadaan ini, saya sebagai bagian dari warga negara memaknai peristiwa ini sebagai cerminan bahwa peradaban manusia dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia telah mengalami kemerosotan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun