tahlil yang dilakukan di berbagai daerah di Indonesia, terutama pada hari-hari tertentu setelah seseorang meninggal.Â
TradisiAcara ini tidak hanya menjadi bentuk ibadah tetapi juga mencerminkan kuatnya solidaritas sosial dan budaya gotong royong di masyarakat.Â
Tahlil dan Gotong Royong Warga
Acara tahlil, seperti pada "3 harian," "7 harian," hingga "100 harian," menjadi wujud penghormatan terakhir kepada almarhum sekaligus sarana mempererat tali silaturahmi antarwarga.
Di Desa Sekayu, Kabupaten Magelang, tahlil 3 harian menjadi contoh nyata dari praktik gotong royong. Dalam acara ini, warga sekitar, terutama warga satu RT, bergotong royong mempersiapkan segala kebutuhan, termasuk makanan dan minuman bagi tamu yang hadir.Â
Tradisi ini melibatkan dua momen makan bersama yang dipersiapkan oleh warga setempat. Pada momen pertama, tamu disuguhi makanan ringan, dan pada momen kedua, hidangan lebih nasi dan lauk disajikan.
Ketua RT setempat, Slamet menyatakan, "Makanan tersebut dipersiapkan oleh keluarga, lalu warga turut bersemangat gotong royong. Setiap orang berkontribusi sesuai kemampuannya, baik dengan menyumbangkan tenaga, maupun bantuan lainnya."
Menariknya, dalam kegiatan tahlil ini, mayoritas yang hadir adalah warga bapak-bapak yang datang untuk berdoa, memberikan dukungan moral kepada keluarga yang berduka, dan turut merasakan suasana kehilangan.Â
Solidaritas Warga PedesaanÂ
Kehadiran warga bapak-bapak memperlihatkan solidaritas yang kuat di antara mereka. Sementara itu, peran perempuan tidak kalah penting, terutama dalam mempersiapkan konsumsi dan memastikan kelancaran acara.Â
Meski sering kali tidak berada di depan, kontribusi mereka sangat besar dalam menjaga kelancaran kegiatan.Â
Solidaritas sosial dalam tradisi tahlil juga terwujud melalui sumbangan yang diberikan oleh para tamu kepada keluarga yang berduka.Â
Hal ini mencerminkan bahwa tradisi tahlil tidak hanya sebagai ritual doa, tetapi juga sebagai sarana untuk berbagi dan memperkuat ikatan sosial di antara warga.
Saling Membantu tanpa Membeda-bedakan
Pengalaman menarik di Desa Sekayu ini juga dirasakan oleh Eben, seorang mahasiswa asal Pati yang sedang menjalani praktik pelayanan di daerah tersebut.Â
Eben merasa senang bisa terlibat dalam kegiatan tahlil dan merasakan langsung semangat gotong royong warga.Â
Ia terkesan dengan bagaimana warga sekitar, terutama warga bapak-bapak, saling membantu tanpa memandang perbedaan latar belakang.Â
Bagi Eben, momen ini menjadi pengalaman berharga dalam memahami budaya lokal dan melihat nilai-nilai kebersamaan yang masih kuat terjaga di masyarakat.
Selain itu, tahlil di Desa Sekayu juga sering dilaksanakan dengan dukungan dari pihak di luar warga Muslim. Sebagai contoh, gereja lokal seperti GJKI Sekayu kadang menyediakan fasilitas untuk acara tahlil ini.Â
"Meskipun acara ini merupakan tradisi keagamaan dalam Islam, gereja dengan tulus menyediakan tempat bagi kegiatan tersebut," ungkap Yohanes Paimin, pemimpin rohani di Sekayu.Â
Ini mencerminkan sikap toleransi dan kerukunan antarumat beragama yang hidup di Indonesia, khususnya di Desa Sekayu, Kabupaten Magelang.Â
Tindakan ini menunjukkan bahwa perbedaan keyakinan bukanlah penghalang bagi masyarakat untuk saling menghargai dan membantu.
Pentingnya Solisaritas
Tradisi tahlil di desa ini, selain menjadi ajang doa bagi yang telah meninggal, juga menjadi momen penting untuk memperkuat solidaritas sosial.Â
Di tengah perubahan zaman dan kehidupan yang semakin individualistik, kegiatan seperti ini mengajarkan pentingnya kebersamaan dan kepedulian terhadap sesama.Â
Gotong royong dalam tradisi tahlil bukan hanya sekadar membantu keluarga yang berduka, tetapi juga menjadi simbol dari nilai-nilai luhur yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H