Putusan MK No. 27/PUU-IX/2011 menyatakan bahwa beberapa ketentuan dalam Pasal 65 dan 66 UU Ketenagakerjaan perlu diubah, karena tidak sepenuhnya melindungi hak-hak pekerja outsourcing.
Dalam amar putusan ini, disebutkan bahwa perjanjian kerja outsourcing harus diatur lebih ketat dengan menyaratkan penggunaan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) dan menerapkan prinsip Transfer of Under Protection of Employment (TUPE) jika pekerja outsourcing dipindahkan ke perusahaan lain.
Peraturan pemerintah dan Surat Edaran yang dikeluarkan untuk menindaklanjuti putusan MK bertujuan memperbaiki kondisi tenaga kerja outsourcing di Indonesia.Â
Tantangan di Lapangan
Banyak perusahaan yang masih menghindari kewajiban mengonversi pekerja outsourcing menjadi pekerja tetap, dengan alasan efisiensi biaya atau fleksibilitas organisasi.Â
Kondisi ini menggambarkan tantangan pemerintah dalam memastikan implementasi kebijakan yang konsisten di seluruh sektor.
Dampak dari ketentuan outsourcing yang kurang efektif ini meluas pada ketidakstabilan ekonomi bagi para pekerja dan keluarga mereka.Â
Kondisi ekonomi yang sulit, ditambah dengan kurangnya kepastian kerja, membuat pekerja outsourcing sulit untuk merencanakan masa depan mereka, baik dalam hal keuangan maupun sosial.Â
Kondisi ini juga menciptakan kesenjangan yang semakin besar antara pekerja tetap dan pekerja outsourcing, yang secara langsung berimplikasi pada ketidaksetaraan sosial.
Perspektif Pemberi Kerja
Dari perspektif pemberi kerja, peningkatan pengawasan terhadap outsourcing sebenarnya dapat memberikan dampak positif.Â