Obrolan berlanjut dengan kehangatan serupa. Di sela-sela cerita perjalanan kami, kami mencoba menikmati pahitnya kopi hitam tanpa gula.Â
Ada sensasi unik saat menyeruput kopi pahit ini; seolah pahitnya kopi ini tidak sebanding dengan pahitnya kenyataan ekonomi yang dihadapi sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini.Â
Kesenjangan ekonomi dan kesulitan hidup menjadi permasalahan yang tak kunjung selesai. Kami merenungi, apakah benar kekayaan alam ini telah membawa manfaat untuk masyarakat secara adil dan merata?
Nandy, dengan nada sinis, menyebutkan, "Manis itu mungkin hanya ucapan lip service para oportunis kekuasaan."Â
Ucapan ini membawa perbincangan kami ke arah yang lebih serius. Kami sepakat bahwa terkadang janji-janji manis dan retorika yang terdengar indah hanya sekadar hiasan di tengah realitas yang pahit.Â
Banyak pihak yang memiliki kekuasaan cenderung memberikan janji manis yang tidak selalu diiringi dengan tindakan nyata bagi kesejahteraan rakyat.Â
Fenomena ini sering kali menyisakan luka bagi mereka yang berharap akan perubahan.
Di antara cerita-cerita dan refleksi kami, muncul harapan bahwa suatu hari Indonesia akan benar-benar mampu mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya.Â
Kami membayangkan Indonesia di mana setiap individu bisa merasakan hasil dari kekayaan alam yang melimpah.Â
Ketika rakyat dapat menikmati hasil bumi dengan adil, dan saat janji-janji manis tidak lagi hanya menjadi sekadar kata-kata kosong.
Namun, untuk mencapai mimpi tersebut tentu bukan perkara mudah. Indonesia memerlukan dukungan dari setiap pihak---dari pemerintah, masyarakat, hingga generasi muda yang peduli akan perubahan.Â