Mohon tunggu...
Obed Antok
Obed Antok Mohon Tunggu... Jurnalis - Tukang tulis

Berminat Dalam Bidang Sosial, Politik, Iptek, Pendidikan, dan Pastoral Konseling.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Obrolan Pagi, Seruput Kopi Pahit dan Hangatnya Mendoan Cilacap

27 Oktober 2024   08:33 Diperbarui: 27 Oktober 2024   12:09 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sajian mendoan di Obrolan Pagi/ dok.pri

Pagi yang cerah menyambut kami dengan kehangatan yang sempurna. Duduk santai sambil menikmati kopi hangat, kami ditemani sajian khas dari Cilacap, yaitu mendoan tipis dan lebar yang begitu terkenal, serta tahu isi yang gurih. 

Tak ketinggalan, arem-arem hangat tersaji di meja, memberikan nuansa nyaman dan cukup mengganjal perut. 

Suasana ini sungguh menenangkan, seolah mengundang kami untuk berbincang santai sembari menikmati hidangan khas yang mengingatkan pada kekayaan kuliner lokal Indonesia.

Di tengah obrolan kami, teman kami, Nandy, membuka percakapan yang cukup reflektif. "Indonesia sangat kaya, luar biasa suburnya," ucapnya sambil menyesap teh hangatnya. 

"Tapi siapa sebenarnya yang menikmati kekayaan ini? Mengapa kita masih saja kesulitan ekonomi?" Ucapan Nandy membuat kami merenung sejenak.

Pertanyaan yang terdengar sederhana itu memiliki makna mendalam, menyingkap ironi dari keadaan negeri ini yang kaya sumber daya namun belum mampu memberi kesejahteraan merata bagi semua.

Sejenak kami terdiam, membiarkan kata-kata Nandy menggantung di udara. Pemandangan indah dan kekayaan alam yang kami temui selama perjalanan dari Wonosobo hingga Pangandaran terasa seperti kontras dengan kenyataan ekonomi yang dihadapi banyak orang. 

Alam yang subur ini seolah menegaskan anugerah Tuhan, namun kenyataan kehidupan masyarakat sehari-hari sering kali tidak seindah pemandangan alam yang kami lalui.

Perjalanan kami menyusuri alam dari Wonosobo hingga Pangandaran menjadi salah satu pengalaman yang membekas di hati. 

Kami menyaksikan perbukitan hijau, lahan pertanian yang subur, dan udara yang bersih di sepanjang perjalanan. Pemandangan alam ini adalah bukti nyata bahwa Indonesia adalah negara yang diberkahi tanah yang sangat subur. 

Kesuburan tanah ini, buah dari beragam iklim dan keanekaragaman hayati, adalah potensi besar yang dapat menyejahterakan rakyat. Namun, seperti yang Nandy singgung, hasil dari kekayaan alam ini belum dapat dinikmati oleh semua.

Obrolan berlanjut dengan kehangatan serupa. Di sela-sela cerita perjalanan kami, kami mencoba menikmati pahitnya kopi hitam tanpa gula. 

Ada sensasi unik saat menyeruput kopi pahit ini; seolah pahitnya kopi ini tidak sebanding dengan pahitnya kenyataan ekonomi yang dihadapi sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini. 

Kesenjangan ekonomi dan kesulitan hidup menjadi permasalahan yang tak kunjung selesai. Kami merenungi, apakah benar kekayaan alam ini telah membawa manfaat untuk masyarakat secara adil dan merata?

Nandy, dengan nada sinis, menyebutkan, "Manis itu mungkin hanya ucapan lip service para oportunis kekuasaan." 

Ucapan ini membawa perbincangan kami ke arah yang lebih serius. Kami sepakat bahwa terkadang janji-janji manis dan retorika yang terdengar indah hanya sekadar hiasan di tengah realitas yang pahit. 

Banyak pihak yang memiliki kekuasaan cenderung memberikan janji manis yang tidak selalu diiringi dengan tindakan nyata bagi kesejahteraan rakyat. 

Fenomena ini sering kali menyisakan luka bagi mereka yang berharap akan perubahan.

Di antara cerita-cerita dan refleksi kami, muncul harapan bahwa suatu hari Indonesia akan benar-benar mampu mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya. 

Kami membayangkan Indonesia di mana setiap individu bisa merasakan hasil dari kekayaan alam yang melimpah. 

Ketika rakyat dapat menikmati hasil bumi dengan adil, dan saat janji-janji manis tidak lagi hanya menjadi sekadar kata-kata kosong.

Namun, untuk mencapai mimpi tersebut tentu bukan perkara mudah. Indonesia memerlukan dukungan dari setiap pihak---dari pemerintah, masyarakat, hingga generasi muda yang peduli akan perubahan. 

Diperlukan komitmen yang kuat untuk memastikan sumber daya yang melimpah ini dapat diolah dan dimanfaatkan secara berkelanjutan, tanpa mengorbankan keadilan bagi semua. 

Kami pun menyadari bahwa perubahan harus dimulai dari langkah-langkah kecil. Mungkin dimulai dengan mengapresiasi dan memanfaatkan produk lokal seperti mendoan dan tahu isi yang kami nikmati pagi ini, sebagai bentuk dukungan bagi usaha kecil dan ekonomi rakyat. 

Melalui apresiasi dan dukungan pada hal-hal kecil, kita bisa membantu membangun ekonomi yang lebih mandiri dan berkelanjutan. 

Kami kembali menyeruput teh, menyadari bahwa perbincangan ini bukan sekadar obrolan ringan, atau mungkin kehampaan belaka?

Impian kami, suatu hari Indonesia akan mencapai kemakmuran yang sejati bagi semua lapisan masyarakat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun