Mohon tunggu...
Obed Antok
Obed Antok Mohon Tunggu... Jurnalis - Tukang tulis

Berminat Dalam Bidang Sosial, Iptek, dan Pendidikan, Pastoral Konseling.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Bagaimankah Penegakan Hak Asasi Manusia di Era Pemerintahan Prabowo Subianto?

22 Oktober 2024   13:52 Diperbarui: 22 Oktober 2024   22:51 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Permasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, yang menyatakan bahwa kasus kekerasan yang terjadi pada tahun 1998 tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Ini membuka ruang diskusi yang mendalam mengenai penegakan keadilan dan perlindungan HAM di Indonesia. 

Pernyataan tersebut memicu berbagai reaksi, baik dari kalangan aktivis HAM, akademisi, hingga masyarakat umum, yang selama ini memperjuangkan kejelasan hukum terkait peristiwa-peristiwa tersebut. 

Pernyataan ini mengingatkan kita bahwa definisi dan pengakuan atas suatu tindakan sebagai pelanggaran HAM berat bukan hanya soal hukum semata, tetapi juga tentang sejarah, keadilan, dan upaya negara dalam melindungi warganya. 

Kasus-kasus kekerasan tahun 1998, yang diwarnai oleh kerusuhan, diskriminasi, dan kekerasan terhadap kelompok tertentu, masih meninggalkan luka mendalam dalam ingatan bangsa ini. 

Oleh karenanya menjadi penting untuk terus direfleksikan, terutama dalam konteks tanggung jawab negara dalam penegakan HAM.

Perdebatan dalam Masyarakat

Dalam pandangan Yusril, setiap kejahatan memang merupakan pelanggaran HAM, namun tidak semua kejahatan dapat dianggap sebagai pelanggaran HAM berat.

Pandangan ini menimbulkan perdebatan di masyarakat, terutama di kalangan para aktivis hak asasi manusia. 

Banyak pihak yang berpendapat bahwa tragedi 1998---yang menyebabkan hilangnya banyak nyawa dan pelanggaran terhadap hak-hak individu---seharusnya dipandang sebagai pelanggaran HAM berat. 

Ini bukan sekadar masalah hukum, tetapi juga masalah kemanusiaan yang mendalam, yang menyisakan luka bagi banyak orang.

Kategori Pelanggaran HAM

Menurut hukum internasional, pelanggaran HAM berat mencakup kejahatan yang sangat serius, seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan pelanggaran serius terhadap hak-hak sipil dan politik. 

Standar internasional ini diatur dalam berbagai instrumen, seperti Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, Konvensi tentang Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa, dan Statuta Roma tentang Pengadilan Pidana Internasional. 

Dengan demikian, penting untuk menilai kembali pernyataan Yusril dalam konteks standar tersebut. Yusril menyatakan bahwa pelanggaran HAM berat seperti genosida dan pembersihan etnis lebih sering terjadi pada masa kolonial dan awal kemerdekaan. 

Meskipun ada benarnya, penilaian semacam ini dapat dianggap meremehkan konteks dan kompleksitas peristiwa kekerasan di tahun 1998. 

Di era reformasi, harapan untuk penegakan HAM dan keadilan seharusnya menjadi agenda utama, bukan justru diabaikan.

Peristiwa Pelanggaran HAM

Penting untuk dicatat bahwa pada 11 Januari 2023, pemerintah Indonesia yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo mengakui adanya 12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu. 

Dalam pernyataannya, Jokowi mengekspresikan penyesalan terhadap peristiwa tersebut dan berkomitmen untuk memulihkan hak-hak korban secara adil dan bijaksana, tanpa mengabaikan penyelesaian secara yudisial. 

Pernyataan ini menunjukkan adanya kesadaran pemerintah tentang pentingnya mengakui dan menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia.

Ke-12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang diakui mencakup Peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius 1982-1985, Talangsari, Lampung 1989, Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989, Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998. 

Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Trisakti dan Semanggi I-II 1998-1999, Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, Simpang KKA, Aceh 1999, Wasior, Papua 2001-2002, Peristiwa Wamena, Papua 2003, dan Jambo Keupok, Aceh 2003. 

Pengakuan ini seharusnya menjadi langkah awal yang penting dalam upaya pemulihan dan penyelesaian keadilan bagi para korban.

Tuntutan Keadilan Masyarakat

Kehadiran menteri baru di bidang hukum dan HAM, yang dipimpin oleh Yusril, diharapkan dapat membawa perubahan positif. Namun, fokus pada pelanggaran HAM masa lalu tetap krusial. 

Pengalaman masa lalu perlu dijadikan pelajaran untuk memastikan bahwa kejadian serupa tidak terulang. Tidak hanya dengan mendorong reformasi struktural, tetapi juga dengan mengakui dan memperbaiki kesalahan yang pernah terjadi.

Nasib keluarga korban tragedi 1998 adalah cerminan dari ketidakadilan yang terus berlanjut. Banyak keluarga yang kehilangan anggota keluarga, tidak hanya secara fisik tetapi juga secara psikologis. 

Ketidakjelasan mengenai nasib orang yang hilang dan kurangnya keadilan bagi korban menambah beban emosional yang mereka tanggung. 

Keluarga-keluarga ini sering kali terabaikan dalam diskusi mengenai HAM, meskipun mereka adalah saksi hidup dari pelanggaran yang terjadi.

Pemerintah Perlu Diawasi

Masyarakat sipil dan aktivis hak asasi manusia berperan penting dalam mengawasi kinerja pemerintah. 

Mereka memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa isu pelanggaran HAM tidak dikesampingkan. 

Keberadaan organisasi non-pemerintah dan kelompok advokasi harus didukung agar suara korban dan masyarakat terdengar. 

Penting juga bagi pemerintah untuk mendengarkan keluhan dan aspirasi keluarga korban, serta memberikan dukungan yang diperlukan untuk pemulihan mereka.

Sebagai bagian dari tanggung jawabnya, pemerintah perlu merumuskan kebijakan yang jelas untuk menangani pelanggaran HAM. 

Ini mencakup penuntasan kasus-kasus yang belum terpecahkan, memberikan kompensasi kepada korban dan keluarga, serta memastikan bahwa pelaku pelanggaran HAM diadili sesuai dengan hukum yang berlaku. 

Tanpa langkah-langkah konkret ini, kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum akan semakin menurun, dan rasa ketidakadilan akan terus menghantui banyak orang. 

Kesadaran sejarah yang baik dapat mendorong generasi berikutnya untuk lebih kritis terhadap isu-isu HAM dan mendorong mereka untuk berkontribusi dalam menciptakan masyarakat yang lebih adil dan manusiawi. 

Tanggungjawab Pemerintah Menuntaska Pelanggaran HAM

Pemerintah perlu mengambil langkah konkret dalam menyelesaikan masalah pelanggaran HAM. Penuntasan kasus-kasus lama yang belum terpecahkan harus menjadi prioritas. 

Tanpa adanya keadilan bagi korban, masyarakat akan terus merasa dikhianati, dan kepercayaan terhadap institusi hukum akan semakin menurun.

Rekonsiliasi bukan hanya tentang mengingat kesalahan yang telah terjadi, tetapi juga tentang menciptakan landasan untuk menghormati hak asasi manusia di masa depan. 

Ini melibatkan upaya bersama dari pemerintah, masyarakat sipil, dan semua pihak terkait untuk menciptakan mekanisme perlindungan yang efektif.

Prioritas Utama Penegakan HAM

Kepentingan publik dan perlindungan hak asasi manusia harus menjadi prioritas utama. Setiap langkah yang diambil oleh pemerintah harus berorientasi pada keadilan dan pemulihan bagi para korban. 

Dalam hal ini, dukungan dari masyarakat dan lembaga internasional juga penting untuk menciptakan lingkungan yang mendukung penegakan HAM.

Dalam konteks ini, Yusril perlu menunjukkan komitmen nyata dalam penanganan isu-isu HAM. Tindakan berbicara lebih keras daripada kata-kata. 

Mengambil inisiatif untuk mendengarkan suara korban dan mengatasi masalah dengan serius akan menjadi ukuran keberhasilan kepemimpinannya di kementerian ini.

Masyarakat Menuntut Keadilan

Kita semua berharap agar pernyataan dan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah mencerminkan kepedulian yang mendalam terhadap pelanggaran HAM. 

Masyarakat berhak mendapatkan keadilan dan perlindungan, serta pengakuan atas penderitaan yang telah dialami. 

Melalui pengakuan dan tindakan yang tegas, kita dapat bersama-sama membangun masa depan yang lebih baik dan adil.

Akhirnya, masa lalu adalah guru yang baik. Mengakui dan menghadapi sejarah kelam, seperti pelanggaran HAM di tahun 1998, adalah langkah penting dalam menuju rekonsiliasi. 

Hanya dengan cara inilah kita dapat berharap untuk menciptakan masyarakat yang lebih berkeadilan, di mana hak asasi manusia dihormati dan dilindungi untuk semua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun