Mohon tunggu...
Obed Antok
Obed Antok Mohon Tunggu... Jurnalis - Tukang tulis

Berminat Dalam Bidang Sosial, Iptek, dan Pendidikan, Pastoral Konseling.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

5 Dampak Buruk Flexing di Tempat Kerja

24 September 2024   01:21 Diperbarui: 26 September 2024   07:36 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam beberapa tahun terakhir, istilah "flexing" menjadi semakin populer, terutama di media sosial. Secara umum, flexing merujuk pada tindakan memamerkan keberhasilan, kekayaan, atau status sosial seseorang secara berlebihan. 

Fenomena ini kini tidak hanya terjadi di media sosial, tetapi juga merambah ke dunia kerja. Flexing di lingkungan profesional dapat muncul dalam berbagai bentuk, seperti pamer jabatan tinggi, pendapatan besar, atau gaya hidup mewah yang ditunjukkan secara mencolok. 

Meskipun beberapa orang menganggapnya sebagai bentuk kebanggaan diri, dampak flexing di dunia kerja memiliki konsekuensi yang lebih luas bagi individu dan organisasi.

Dampak Flexing di Dunia Kerja

1. Meningkatkan Tekanan dan Kompetisi Tidak Sehat

Salah satu dampak terbesar dari flexing di tempat kerja adalah meningkatnya tekanan dan kompetisi yang tidak sehat di antara karyawan. 

Ketika seseorang secara konsisten memamerkan pencapaiannya, karyawan lain merasa tertekan untuk menunjukkan hal yang sama. 

Mereka mungkin mulai berlomba-lomba memamerkan status mereka, meskipun hal itu di luar kemampuan finansial atau emosional mereka. 

Akibatnya, lingkungan kerja menjadi semakin kompetitif secara berlebihan, yang tidak selalu berkontribusi terhadap produktivitas atau kesejahteraan karyawan.

2. Memicu Kesenjangan dan Diskriminasi Sosial

Flexing juga berpotensi memperbesar kesenjangan sosial di tempat kerja. Misalnya, karyawan yang kerap memamerkan gaya hidup mewah dapat membuat rekan-rekan kerja dengan kondisi ekonomi yang berbeda merasa minder atau terpinggirkan.

Ketimpangan ini menciptakan perasaan diskriminasi yang mengganggu hubungan antar karyawan dan menimbulkan ketidakpuasan di lingkungan kerja. 

Seiring waktu, ketegangan ini dapat merusak kerjasama tim dan menciptakan lingkungan yang tidak kondusif untuk bekerja.

3. Menciptakan Lingkungan Kerja yang Toksik

Flexing yang berlebihan sering kali mengarahkan organisasi pada budaya kerja yang toksik. 

Di tempat kerja yang didominasi oleh flexing, karyawan lebih mementingkan pencitraan diri daripada kualitas pekerjaan yang mereka hasilkan. 

Fokus mereka bergeser dari tugas-tugas profesional ke hal-hal yang lebih dangkal, seperti penampilan atau status sosial. 

Ini mengarah pada penurunan moral, berkurangnya kepuasan kerja, dan akhirnya menurunkan produktivitas secara keseluruhan.

4. Mengganggu Fokus pada Tujuan Organisasi

Ketika flexing menjadi norma di dunia kerja, fokus karyawan dan manajer sering kali beralih dari pencapaian tujuan perusahaan menuju hal-hal yang bersifat pribadi. 

Flexing mengalihkan perhatian dari upaya bersama untuk mencapai target organisasi, karena karyawan lebih tertarik pada penampilan sukses daripada hasil nyata. 

Hal ini dapat merugikan perusahaan dalam jangka panjang, karena tujuan jangka pendek pribadi karyawan mulai menggeser prioritas perusahaan.

5. Mengurangi Kepercayaan Antar Karyawan

Dampak lain yang tak kalah penting dari flexing adalah menurunnya rasa saling percaya antar karyawan. 

Ketika seseorang terus-menerus memamerkan pencapaian mereka, kolega mungkin mulai meragukan ketulusan dan motivasi di balik tindakan tersebut. 

Hal ini menyebabkan berkurangnya rasa kebersamaan dan menghambat kolaborasi yang efektif. 

Lingkungan kerja yang sehat membutuhkan kepercayaan yang kuat, dan flexing dapat mengikis fondasi tersebut.

Penyebab Flexing dalam Dunia Kerja

1. Budaya Kompetisi dan Tekanan Sosial

Salah satu penyebab utama flexing di dunia kerja adalah budaya kompetisi yang ketat. Di banyak perusahaan, pencapaian individu dijadikan tolok ukur utama keberhasilan, baik untuk mendapatkan promosi, bonus, maupun pengakuan dari manajemen.

Karyawan yang ingin menonjolkan diri sering merasa perlu menunjukkan kesuksesan mereka kepada rekan-rekannya. 

Tekanan sosial ini menyebabkan beberapa orang merasa terdorong untuk memamerkan pencapaian, bahkan ketika itu tidak diperlukan atau tidak sesuai dengan kenyataan.

2. Pengaruh Media Sosial

Media sosial memainkan peran besar dalam memperparah fenomena flexing di dunia kerja. 

Platform seperti LinkedIn, Instagram, dan Facebook sering kali digunakan untuk menampilkan pencapaian pribadi dan profesional. Di era digital ini, keberhasilan sering kali diukur melalui jumlah likes dan komentar yang diterima seseorang. 

Karyawan yang terpapar pada konten semacam ini merasa terdorong untuk menunjukkan hal yang sama, meskipun sebagian besar hanya mencerminkan sisi terbaik kehidupan mereka.

3. Kurangnya Rasa Aman Diri (Insecurity)

Banyak orang yang terlibat dalam flexing di dunia kerja sebenarnya didorong oleh rasa tidak aman atau kurangnya kepercayaan diri. 

Mereka merasa perlu untuk mendapatkan validasi dari orang lain dengan cara memamerkan pencapaian atau kekayaan. 

Insecurity ini sering kali muncul ketika karyawan merasa terancam oleh rekan kerja yang lebih sukses. Sehingga mereka berusaha untuk menutupi perasaan tersebut dengan memamerkan hal-hal yang dianggap dapat meningkatkan citra mereka di mata orang lain.

4. Budaya Materialisme

Flexing juga berkaitan erat dengan budaya materialisme yang semakin berkembang. 

Di masyarakat modern, kesuksesan sering kali diukur dari seberapa banyak kekayaan atau barang mewah yang dimiliki seseorang. 

Di tempat kerja, karyawan yang terpapar pada budaya materialisme mungkin merasa terdorong untuk memamerkan barang-barang berharga mereka, seperti mobil mewah, gadget terbaru, atau pakaian bermerek, sebagai cara untuk menegaskan status mereka.

5. Kepemimpinan yang Mendorong Flexing

Gaya kepemimpinan di suatu perusahaan juga dapat mempengaruhi munculnya flexing di tempat kerja. 

Ketika manajemen atau pemimpin perusahaan menunjukkan sikap yang mendorong pameran keberhasilan pribadi, bawahan mereka cenderung meniru perilaku tersebut. 

Jika penghargaan dan promosi lebih sering diberikan kepada mereka yang memamerkan pencapaian mereka secara mencolok, budaya flexing akan semakin mengakar di dalam organisasi.

Bagaimana Mengatasi Flexing di Dunia Kerja?

Flexing dalam dunia kerja dapat memiliki dampak jangka panjang yang merusak baik bagi individu maupun organisasi. 

Untuk mengatasinya, diperlukan perubahan budaya organisasi yang mendukung pengakuan atas kualitas kerja dan kolaborasi, bukan pencitraan semata. 

Salah satu cara untuk memerangi flexing adalah dengan memberikan penghargaan berdasarkan pencapaian tim dan tujuan bersama, daripada hanya berdasarkan pencapaian individu.

Organisasi juga perlu memberikan perhatian lebih pada kesejahteraan karyawan. Ketika karyawan merasa aman dan dihargai di tempat kerja, mereka tidak akan merasa perlu untuk memamerkan kesuksesan atau status mereka. 

Selain itu, pemimpin organisasi harus menjadi contoh yang baik dengan menunjukkan sikap rendah hati dan fokus pada tujuan jangka panjang daripada pencapaian instan.

Dunia kerja yang sehat, harmonis, dan produktif dapat terwujud, di mana karyawan merasa dihargai atas kerja keras dan dedikasi mereka, bukan atas apa yang mereka tampilkan di permukaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun