Media sosial memainkan peran besar dalam memperparah fenomena flexing di dunia kerja.Â
Platform seperti LinkedIn, Instagram, dan Facebook sering kali digunakan untuk menampilkan pencapaian pribadi dan profesional. Di era digital ini, keberhasilan sering kali diukur melalui jumlah likes dan komentar yang diterima seseorang.Â
Karyawan yang terpapar pada konten semacam ini merasa terdorong untuk menunjukkan hal yang sama, meskipun sebagian besar hanya mencerminkan sisi terbaik kehidupan mereka.
3. Kurangnya Rasa Aman Diri (Insecurity)
Banyak orang yang terlibat dalam flexing di dunia kerja sebenarnya didorong oleh rasa tidak aman atau kurangnya kepercayaan diri.Â
Mereka merasa perlu untuk mendapatkan validasi dari orang lain dengan cara memamerkan pencapaian atau kekayaan.Â
Insecurity ini sering kali muncul ketika karyawan merasa terancam oleh rekan kerja yang lebih sukses. Sehingga mereka berusaha untuk menutupi perasaan tersebut dengan memamerkan hal-hal yang dianggap dapat meningkatkan citra mereka di mata orang lain.
4. Budaya Materialisme
Flexing juga berkaitan erat dengan budaya materialisme yang semakin berkembang.Â
Di masyarakat modern, kesuksesan sering kali diukur dari seberapa banyak kekayaan atau barang mewah yang dimiliki seseorang.Â
Di tempat kerja, karyawan yang terpapar pada budaya materialisme mungkin merasa terdorong untuk memamerkan barang-barang berharga mereka, seperti mobil mewah, gadget terbaru, atau pakaian bermerek, sebagai cara untuk menegaskan status mereka.