Namun, implementasi aturan ini sering kali terbentur pada realitas politik di lapangan. Bahkan, beberapa kalangan berpendapat bahwa reformasi birokrasi di Indonesia belum sepenuhnya berhasil melepaskan ASN dari pengaruh politik, terutama di tingkat daerah.
Hal ini menunjukkan bahwa regulasi saja tidak cukup; perlu ada komitmen kuat dari seluruh pihak untuk menegakkan netralitas ASN.
Selain itu, faktor pengawasan internal dari instansi pemerintah sendiri masih lemah. Pengawasan yang efektif bukan hanya harus datang dari Bawaslu, tetapi juga dari pimpinan ASN itu sendiri, seperti Inspektorat Jenderal dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB).Â
Tanpa adanya pengawasan yang tegas dan konsisten, sulit bagi ASN untuk tetap berada di jalur netral, terutama ketika berada di bawah tekanan politik yang kuat.
Realitas di Indonesia juga menunjukkan mungkin saja bahwa banyak ASN yang kesulitan mendapatkan perlindungan ketika mereka memilih untuk bersikap netral. ASN yang tidak mendukung calon kepala daerah tertentu, atau petahana mungkin mendapat tekanan atau mungkin saja ancaman non-karier, seperti dipindahkan ke posisi yang tidak strategis.Â
Mungkin saja hal ini mengakibatkan ASN enggan mengambil sikap netral, meskipun mereka memahami bahwa keterlibatan dalam politik praktis melanggar aturan.
Pada akhirnya, netralitas ASN dalam Pilkada di Indonesia masih menjadi tantangan besar yang memerlukan perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat.Â
Reformasi birokrasi yang berkelanjutan, peningkatan kesadaran ASN tentang pentingnya netralitas, serta penguatan pengawasan yang lebih efektif adalah langkah-langkah yang harus diambil untuk menciptakan birokrasi yang profesional dan netral.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H