Mohon tunggu...
Obed Antok
Obed Antok Mohon Tunggu... Jurnalis - Tukang tulis

Berminat Dalam Bidang Sosial, Politik, Iptek, Pendidikan, dan Pastoral Konseling.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kerendahan Hati: Spiritualitas Tanpa Kepalsuan

14 September 2024   23:35 Diperbarui: 15 September 2024   00:00 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Berdoa/ Pixabay.com

Dalam Alkitab, kritik Tuhan terhadap umat-Nya sering kali menyoroti ketidakmurnian motivasi di balik praktik keagamaan. 

Salah satu tema yang berulang adalah penekanan bahwa banyak orang, meskipun mengaku beriman, hanya mencari keuntungan duniawi atau memberikan persembahan sebagai bentuk sogokan untuk mendapatkan berkat atau perhatian Tuhan.

Kritik Terhadap Farisi dan Tokoh Agama

Di dalam Perjanjian Baru, Yesus sering mengkritik orang Farisi, imam, dan tokoh agama lainnya karena kesombongan mereka. 

Mereka dianggap telah menjadikan agama sebagai topeng untuk menutupi kekurangan dan kepalsuan mereka. Yesus menyatakan hal ini dengan jelas dalam Matius 23:27-28:

Yesus mengkritik ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang munafik, mengatakan bahwa mereka seperti kubur yang dipoles—di luar tampak indah, tetapi di dalam penuh dengan tulang belulang dan segala sesuatu yang najis. 

Ia menegaskan bahwa meskipun mereka tampak benar di mata manusia, sebenarnya mereka penuh dengan kemunafikan dan kedurhakaan.

Contoh nyata dari kontras antara mereka yang merendahkan diri dan mereka yang merasa diri lebih tinggi terlihat dalam perumpamaan Yesus. 

Pemungut cukai dan perempuan berdosa yang dianggap rendah di masyarakat menunjukkan kemurnian iman mereka melalui sikap kerendahan hati dan pertobatan.

Dalam Lukas 18:13-14, Yesus menggambarkan bahwa pemungut cukai berdiri jauh dari altar dan tidak berani menengadah ke langit; ia hanya memukul dadanya sambil berdoa meminta belas kasihan Tuhan atas dosa-dosanya. 

Yesus menyatakan bahwa pemungut cukai tersebut pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan oleh Tuhan, sedangkan orang Farisi tidak.

Kritik Terhadap Orang Berkelas dalam Iman

Orang-orang yang dianggap berkelas dalam iman sering kali menjadi sasaran kritik yang lebih keras. Mereka terjebak dalam adat istiadat dan ritual yang telah mengaburkan esensi dan kemurnian iman mereka. 

Yesus menegaskan hal ini dalam Markus 7:6-7, Yesus menjelaskan kepada mereka bahwa nubuat Yesaya benar adanya mengenai mereka yang disebut-Nya sebagai orang-orang munafik. 

Ia mengatakan bahwa tulisan tersebut menyebutkan bahwa bangsa itu hanya menghormati Tuhan dengan kata-kata saja, sementara hati mereka jauh dari-Nya. 

Selain itu, Yesus menegaskan bahwa ibadah mereka sia-sia karena ajaran yang mereka sampaikan hanyalah perintah manusia.

Dampak Buruk dari Topeng Iman

Salah satu dampak buruk dari fenomena ini adalah bahwa agama sering kali berubah menjadi topeng-topeng kepalsuan. 

Ketika iman digunakan untuk keuntungan pribadi, status sosial, atau sebagai alat untuk menghindari tanggung jawab moral. 

Tujuan sejatinya dari agama---yaitu membangun hubungan yang mendalam dengan Tuhan dan mencerminkan kasih-Nya kepada sesama---dapat menjadi terdistorsi.

Yesus mengingatkan bahwa kita harus waspada terhadap nabi-nabi palsu yang datang dengan penampilan yang tampak lembut dan baik hati, tetapi sebenarnya mereka seperti serigala buas. 

Dia menegaskan bahwa kita dapat mengenali mereka melalui hasil perbuatan mereka.

Kesimpulan

Untuk menjalani kehidupan beragama dan beriman yang benar, penting bagi kita untuk menghindari topeng iman yang palsu dan kembali kepada esensi sejati dari iman. 

Sejatinya kita harus menekankan kerendahan hati, kejujuran, dan hubungan yang tulus dengan Tuhan. 

Seperti yang dinyatakan dalam Mikha 6:8, Tuhan telah memberitahukan kepada kita apa yang baik dan apa yang Dia tuntut dari kita, yaitu untuk melakukan keadilan, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan-Nya.

Dengan mengikuti prinsip-prinsip ini, kita dapat menghindari jebakan kepalsuan dan membangun kehidupan spiritual yang autentik, yang memuliakan Tuhan dan membawa dampak positif bagi sesama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun