Mohon tunggu...
Obed Antok
Obed Antok Mohon Tunggu... Jurnalis - Tukang tulis

Berminat Dalam Bidang Sosial, Iptek, dan Pendidikan, Pastoral Konseling.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pak Ahmad Penjulan Mainan Tradisional: Menjaga Warisan Budaya di Tengah Gempuran Teknologi

12 September 2024   19:01 Diperbarui: 12 September 2024   19:10 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pak Ahmad Penjual Mainan Tradisional/dok.pri

Di tengah arus kemajuan teknologi yang begitu pesat, anak-anak masa kini cenderung lebih akrab dengan gadget ketimbang alat permainan tradisional. Permainan digital yang menawarkan grafis canggih dan interaksi virtual kini mendominasi waktu luang anak-anak.

Namun, sore ini, saat saya berjalan-jalan di Lapangan Pancasila Salatiga, ada pemandangan yang mengingatkan saya pada masa lalu, ketika mainan tradisional masih menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari anak-anak. Saya duduk di trotoar sebelah timur dan bertemu dengan seorang pedagang asongan bernama Pak Ahmad, yang menjual aneka mainan tradisional dari bambu.

Menjaga Warisan Mainan Tradisional

Pak Ahmad, pria yang berasal dari Trucuk, Klaten, Jawa Tengah, adalah salah satu dari sedikit orang yang masih berusaha mempertahankan eksistensi mainan tradisional. Ia membawa berbagai macam mainan dari bambu, seperti seruling, gangsingan, othok-othok, dan sempritan.

Mainan-mainan ini dijual dengan harga yang sangat terjangkau, mulai dari lima ribu hingga empat puluh ribu rupiah. Saya pun tertarik membeli sebuah peluit bambu seharga lima ribu rupiah sebagai kenang-kenangan dan bentuk apresiasi atas usaha Pak Ahmad.

Mengenang Masa Kecil

Dalam percakapan kami, Pak Ahmad menceritakan bahwa mainan-mainan tersebut ia peroleh dari pasar di Yogyakarta, yang kemudian dipasarkan di Salatiga. Meski sederhana, mainan tradisional ini dibuat dengan sangat hati-hati, menggunakan bambu wulung yang dihias dengan lukisan-lukisan yang menarik.

Tak hanya sebagai mainan, produk-produk ini juga kerap dijadikan suvenir oleh para pengunjung. Meski zaman berubah, mainan-mainan ini masih memiliki daya tarik tersendiri, terutama bagi mereka yang ingin mengenang masa kecil atau menghadiahkan mainan yang unik kepada anak-anak mereka.

Simbol Kesederhanaan

Fenomena ini menimbulkan refleksi mendalam tentang bagaimana kemajuan teknologi telah mempengaruhi cara anak-anak bermain. Mainan tradisional yang dulunya menjadi pusat kebahagiaan kini tergeser oleh kehadiran gadget.

Namun, di tengah gempuran teknologi, kehadiran pedagang seperti Pak Ahmad mengingatkan kita akan nilai-nilai sederhana yang terkandung dalam mainan bambu, yang tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sebagai penghubung dengan kearifan lokal dan budaya.

Tantangan Ekonomi

Pak Ahmad tidak hanya menjual mainan tradisional untuk menghidupi keluarganya, tetapi juga menjaga agar tradisi ini tidak punah. Bagi sebagian orang, mainan bambu mungkin hanya sekadar barang antik, tetapi bagi Pak Ahmad, ini adalah warisan budaya yang layak untuk dilestarikan. Di tengah kesulitan ekonomi, ia tetap bertahan dan berinovasi, mencari cara agar produk-produk tradisional ini tetap diminati, meskipun daya saingnya dengan permainan modern sangat ketat.

Kisah Pak Ahmad juga mencerminkan bagaimana tuntutan ekonomi dapat memunculkan kreativitas dalam mencari nafkah. Menjadi pedagang mainan tradisional tidak hanya sekadar profesi, tetapi juga bentuk perjuangan untuk bertahan di masa yang penuh tantangan. 

Terlebih lagi, dalam masa sulit di mana mencari pekerjaan tetap semakin sulit, usaha seperti ini menjadi salah satu jalan untuk mencukupi kebutuhan keluarga.

Anak-anak dan Mainan Tradisional

Saat melihat anak-anak yang bermain dengan gadget, saya berpikir tentang perbedaan pengalaman bermain yang mereka miliki dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Mainan bambu, dengan kesederhanaannya, mengajarkan kreativitas, ketangkasan, dan kebersamaan. 

Sementara itu, permainan digital cenderung individualistis dan berorientasi pada hiburan instan. Mungkin sudah saatnya kita memikirkan kembali bagaimana mainan tradisional bisa dimasukkan kembali dalam kehidupan anak-anak sebagai alternatif yang mendidik dan memperkenalkan budaya. 

Keberadaan Pak Ahmad di Lapangan Pancasila Salatiga sore itu adalah pengingat bahwa di tengah globalisasi dan modernisasi, ada ruang bagi kita untuk tetap menghargai tradisi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun