Mohon tunggu...
Obed Antok
Obed Antok Mohon Tunggu... Jurnalis - Akademisi

Berminat Dalam Bidang Sosial, Iptek, dan Pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pak Ahmad Penjulan Mainan Tradisional: Menjaga Warisan Budaya di Tengah Gempuran Teknologi

12 September 2024   19:01 Diperbarui: 12 September 2024   19:10 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pak Ahmad Penjual Mainan Tradisional/dok.pri

Tantangan Ekonomi

Pak Ahmad tidak hanya menjual mainan tradisional untuk menghidupi keluarganya, tetapi juga menjaga agar tradisi ini tidak punah. Bagi sebagian orang, mainan bambu mungkin hanya sekadar barang antik, tetapi bagi Pak Ahmad, ini adalah warisan budaya yang layak untuk dilestarikan. Di tengah kesulitan ekonomi, ia tetap bertahan dan berinovasi, mencari cara agar produk-produk tradisional ini tetap diminati, meskipun daya saingnya dengan permainan modern sangat ketat.

Kisah Pak Ahmad juga mencerminkan bagaimana tuntutan ekonomi dapat memunculkan kreativitas dalam mencari nafkah. Menjadi pedagang mainan tradisional tidak hanya sekadar profesi, tetapi juga bentuk perjuangan untuk bertahan di masa yang penuh tantangan. 

Terlebih lagi, dalam masa sulit di mana mencari pekerjaan tetap semakin sulit, usaha seperti ini menjadi salah satu jalan untuk mencukupi kebutuhan keluarga.

Anak-anak dan Mainan Tradisional

Saat melihat anak-anak yang bermain dengan gadget, saya berpikir tentang perbedaan pengalaman bermain yang mereka miliki dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Mainan bambu, dengan kesederhanaannya, mengajarkan kreativitas, ketangkasan, dan kebersamaan. 

Sementara itu, permainan digital cenderung individualistis dan berorientasi pada hiburan instan. Mungkin sudah saatnya kita memikirkan kembali bagaimana mainan tradisional bisa dimasukkan kembali dalam kehidupan anak-anak sebagai alternatif yang mendidik dan memperkenalkan budaya. 

Keberadaan Pak Ahmad di Lapangan Pancasila Salatiga sore itu adalah pengingat bahwa di tengah globalisasi dan modernisasi, ada ruang bagi kita untuk tetap menghargai tradisi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun