Mohon tunggu...
Obed Antok
Obed Antok Mohon Tunggu... Jurnalis - Tukang tulis

Berminat Dalam Bidang Sosial, Politik, Iptek, Pendidikan, dan Pastoral Konseling.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

6 Kebiasaan Buruk Orang yang Suka Playing Victim

1 Agustus 2024   16:10 Diperbarui: 3 Agustus 2024   00:10 667
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi orang marah, Playing Victim. (Sumber: SHUTTERSTOCK via kompas.com)

Dalam pergaulan kita sehari-hari, kita sering bertemu dengan orang-orang yang tampaknya selalu merasa menjadi korban dalam berbagai situasi.

Meskipun mereka mungkin tidak selalu menyadarinya, kebiasaan ini dapat merusak hubungan dan menghambat perkembangan pribadi, bahkan merusak organisasi.

Dalam tulisan ini, kita akan membahas enam kebiasaan buruk yang umumnya dimiliki oleh orang-orang yang suka playing victim (berperan sebagai korban).

1. Terus-Menerus Menyalahkan Orang Lain

Salah satu tanda utama dari seseorang yang sering memainkan peran sebagai korban adalah kecenderungan mereka untuk selalu menyalahkan orang lain ketika masalah muncul. 

Misalnya, jika mereka terlambat menghadiri suatu rapat, mereka mungkin mengatakan: "Saya terlambat karena kamu tidak memberi tahu saya tentang perubahan jadwal rapat lebih awal. Ini semua salahmu."

Kebiasaan ini juga terlihat jelas ketika mereka menghadapi tantangan di tempat kerja atau dalam hubungan pribadi. 

Ketika sebuah pekerjaan tidak selesai tepat waktu, ia lebih suka berkomentar, "Proyek ini tidak selesai tepat waktu karena kamu tidak memberikan semua informasi yang diperlukan. Saya tidak bisa melakukan apa-apa jika tidak ada data lengkap dari Anda."

Dalam lingkup hubungan pribadi, mereka mungkin mengatakan, "Kita sering bertengkar karena kamu selalu mengabaikan perasaanku. Aku merasa tidak dipahami dan dihargai."

Dengan cara ini, mereka cenderung menyalahkan orang lain tanpa mempertimbangkan kontribusi mereka sendiri terhadap penyelesaian masalah.

2. Tidak Bertanggung Jawab

Orang yang sering merasa sebagai korban biasanya kurang memiliki rasa tanggung jawab terhadap tindakan mereka sendiri. Mereka cenderung enggan mengakui kesalahannya dan lebih memilih untuk melihat dirinya sebagai korban dari situasi atau tindakan orang lain. 

Sikap ini menghambat kemampuan mereka untuk belajar dari pengalaman dan membuat perubahan positif dalam hidup mereka.

Contoh: Setiap kali ada masalah, Pak Regen selalu menyalahkan orang lain, dia berkata, "Saya gagal dalam proyek ini karena rekan kerja saya tidak mau memberikan dukungan." Pak Regen tidak mempertimbangkan apa yang bisa dia lakukan untuk memperbaiki situasinya.

3. Fokus pada Keluhan dari Solusi

ilustrasi: https://www.vectorstock.com
ilustrasi: https://www.vectorstock.com

Orang yang playing victim bisa terjebak dalam siklus keluhan daripada mencari solusi, baik itu di rumahnya, lingkungan pekerjaan, maupun lingkungan sosial .

Misalnya, seorang anggota tim di sebuah  perusahaan sering mengeluh tentang beban kerja yang tinggi dengan pernyataan seperti ini: "Saya selalu mendapatkan tugas yang paling sulit, sementara rekan-rekan saya tidak mengalami hal yang demikian."

Alih-alih mencari solusi untuk masalah yang dihadapi, orang tersebut sering kali lebih fokus pada keluhan dan rasa sakit yang mereka alami. 

Sebagai contoh, seorang pegawai di sebuah perusahaan terus-menerus meratapi ketidakadilan dengan mengatakan, "Saya merasa tidak dihargai, tidak peduli seberapa keras saya bekerja." 

4. Berusaha Mendapatkan Simpati

Mencari simpati dari orang lain adalah kebiasaan umum bagi mereka yang memerankan diri sebagai korban. Mereka mungkin sering berbicara tentang kesulitan dan penderitaan mereka untuk mendapatkan dukungan emosional atau perhatian ekstra dari orang-orang di sekitar mereka.

Misalnya, seseorang mungkin berkata kepada rekan kerjanya, "Saya benar-benar kelelahan karena harus menangani semua pekerjaan ini sendirian, dan tidak ada yang peduli."

Tindakan ini sering kali berujung pada hubungan yang tidak sehat dan ketergantungan emosional. Seseorang di sebuah organisasi atau perusahaan sering berkata, "Saya merasa semua orang selalu meninggalkan saya ketika saya membutuhkan mereka." 

Kebiasaan ini bisa menciptakan dinamika yang tidak sehat, di mana orang tersebut terus-menerus bergantung pada dukungan emosional orang lain tanpa benar-benar mencari solusi.

5. Menolak Bantuan orang lain

Ketika orang lain mencoba menawarkan bantuan atau saran, seorang playing victim sering kali menolak atau mengabaikannya.

Misalnya, jika seorang rekan kerja mengatakan, "Saya bisa membantu Anda menyelesaikan pekerjaan ini jika Anda mau," orang yang biasa berperan sebagai korban akan menjawab, "Terima kasih, tapi sepertinya tidak ada yang bisa memperbaiki situasi ini. Saya sudah mencoba segalanya."

Contoh lain dapat ditemukan dalam urusan pribadi. Ketika seorang teman menawarkan saran untuk mengatasi masalah pribadi dengan mengatakan, "Mungkin Anda bisa mencoba berbicara dengan seorang konselor tentang ini," orang tersebut mungkin menanggapi dengan mengatakan, "Saya sudah mencoba banyak hal, dan sepertinya semua usaha itu sia-sia."

Menolak dukungan ini hanya akan menghambat kemampuan mereka untuk mengatasi masalah dan memperbaiki situasi.

6. Manipulasi emosi

Ketika seseorang memanipulasi emosi dengan berpura-pura menjadi korban, mereka sering kali menggunakan pernyataan yang dirancang untuk menimbulkan rasa bersalah atau simpati. Misalnya dengan mengatakan, "Aku tidak mengerti mengapa semua orang terus-menerus menuduhku melakukan hal-hal buruk. Aku hanya mencoba yang terbaik dan terus-menerus merasa disalahpahami."

Kalimat ini itu menunjukkan bahwa mereka adalah korban dari ketidakadilan dan kurangnya pemahaman dari orang lain, sementara sebenarnya mereka mungkin menghindari tanggung jawab atas tindakan atau kesalahan mereka.

Di sisi lain, pernyataan seperti, "Kenapa kamu selalu memperlakukanku seperti ini? Aku sudah melakukan semua yang aku bisa, tapi tidak ada yang pernah menghargai usahaku. Tidak adil sekali!"

Berusaha menarik simpati dengan menekankan seolah-olah mereka telah memberikan segalanya tanpa mendapatkan pengakuan atau penghargaan yang layak. 

Melalui pernyataan ini, mereka berusaha membalikkan situasi, dan membuat orang lain merasa bertanggung jawab kesulitannya.

Pada akahirnya setiap kebiasaan buruk yang dimiliki oleh orang-orang yang suka playing victim atau sebagai korban akan berdampak buruk pada diri sendiri dan orang di sekitarnya.

Dengan menyadari kebiasaan-kebiasaan ini, kita dapat lebih memahami bahwa orang yang suka playing victim dapat merusak diri dan lingkungannya. 

Mengatasi kecenderungan ini seseorang yang suka playing victim memerlukan kesadaran diri, dan keinginan untuk berubah.

Untuk itu perlu bagi kita mengoreksi diri agar hubungan kita di rumah, masyarakat, organisasi, perusahaan, dan komunitas lebih sehat dan konstruktif. 

Kita harus dapat menciptakan hubungan yang lebih harmonis dan meningkatkan kualitas pergaulan kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun