Yang istimewa hingga kemudian merangkaikanku dengan Persebaya adalah koran Jawa Pos yang dibawanya dari sekolah. Saya masih ingat tentang pengumuman ikut Tret Tet Tet ke Senayan di tahun 1987 itu. Pengumuman besar di halaman depan koran itu menjadi bahan obrolan saya dengan teman-teman. Nama Persebaya sering diucapkan, dan itulah awal bagaimana saya mulai tersentuh oleh Persebaya.
Beberapa kali Bapak mengajak mengikuti pertandingan Persebaya melalui radio. Radio RGS yang frekuensi siarannya agak susah jika diterima di desa saya itu sering bikin Bapak berkali-kali kecewa jika siaran terputus. Susah sinyal, istilah sekarang. Saat RRI mulai pula menyiarkan siaran pandangan mata, kami agak terbantu karena frekuensi lebih mudah diterima.Â
Kamar kecil itu menjadi saksi saat kami mendengar penyiar radio teriak-teriak memandu siaran. Saya kadang sambil mijeti Bapak saat bersama-sama "mendengar" Persebaya bertanding. Ibu yang biasanya agak terganggu dengan situasi ramainya saat mendengar radio itu.
Namun suatu ketika justru kakak yang pernah diajak mbonek ke Tambaksari berangkat dari Kediri. Kata kakak, Bapak masuk angin saat pertandingan berlangsung, sehingga memutuskan keluar dari stadion tidak menunggu pertandingan selesai. Keluar dari stadion, Bapak muntah-muntah, katanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H