Mohon tunggu...
Obed Mangunsong
Obed Mangunsong Mohon Tunggu... Arsitek - Pelajar

Menggambar / karya fiksi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gema Kehilangan

27 September 2024   20:05 Diperbarui: 27 September 2024   20:14 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Megan duduk di tepi tempat tidur putrinya, selimut merah muda lembut yang masih sempurna, belum tersentuh sejak hari kepergian Ellie. Udara terasa pekat dengan keheningan, pengingat yang menyakitkan akan tawa yang pernah memenuhi rumah itu. Sudah enam bulan berlalu sejak kecelakaan itu, namun gema kehadiran Ellie masih terasa, menghantui sekaligus menghibur.

Setiap pagi, Megan terbangun, pikirannya menolak untuk menerima kenyataan akan kematian putrinya. Dunia di luar terus berjalan, namun ia terjebak dalam momen beku di mana Ellie masih ada, senyumnya menerangi sudut-sudut tergelap hati Megan. Dalam kesedihannya, Megan mulai mendengar bisikan-bisikan, tawa lembut, langkah kaki yang tidak asing lagi di lorong.

Pada suatu sore yang hujan, saat bayangan menari-nari di ruang tamu, Megan mendengar suara Ellie memanggil namanya. "Ibu, ayo bermain denganku!" Dia merasakan harapan yang sangat besar. Mungkin Ellie telah kembali, mungkin ini semua hanyalah mimpi buruk yang akan membuatnya terbangun. Megan berlari ke halaman belakang, tempat mereka menghabiskan banyak waktu di sore hari.

"Megan?" seorang tetangga memanggil, dengan kekhawatiran terukir di wajahnya. Tapi Megan tersesat di dunianya sendiri, mencari gadis kecil yang telah memberinya begitu banyak kegembiraan. Taman itu kosong, tapi dalam pikirannya, dia bisa melihat Ellie mengejar kupu-kupu, tawanya berbaur dengan angin.

Hari berganti menjadi minggu, dan halusinasi menjadi lebih jelas. Megan mendapati dirinya sedang memasak makanan kesukaan Ellie, menyiapkan piring tambahan di meja, percaya bahwa putrinya akan kembali bergabung dengannya. Dalam keheningan malam, ia mendengar Ellie membisikkan rahasia-rahasia, bercerita tentang sekolah, teman, dan petualangan. Setiap momen terasa nyata, balsem untuk hatinya yang sakit.

Namun retakan pada fasad ini mulai terlihat. Teman-temannya mengulurkan tangan, prihatin dengan keadaan Megan. "Kamu harus berbicara dengan seseorang," mereka mendesak, tetapi pikiran untuk berbagi penglihatannya terasa mustahil. Bagaimana dia bisa menjelaskan bahwa di saat-saat tergelapnya, Ellie adalah satu-satunya cahaya baginya?

Suatu malam, setelah seharian mengenang, Megan duduk di ruang tamu, cahaya lembut dari perapian memancarkan bayangan yang berkedip-kedip. Dia memejamkan matanya, menghirup aroma kondisioner rambut Ellie yang menempel di bantal. Tiba-tiba, dia merasakan sebuah tangan kecil menyelinap ke dalamnya.

"Ibu, aku merindukanmu," kata Ellie, suaranya manis dan polos.

Hati Megan pun melayang. "Aku juga merindukanmu, sayang! Ke mana saja kamu?"

"Hanya menunggumu menemukanku," jawab Ellie, tawanya mencerahkan ruangan.

Namun kemudian, rasa dingin yang aneh menyelimuti Megan. "Kenapa kamu tidak keluar lagi? Aku sudah mencarimu ke mana-mana!" Kepanikan merembes ke dalam suaranya saat suasana berubah.

Senyum Ellie memudar, dan untuk pertama kalinya, Megan menyadari bayangan yang bersembunyi di balik tubuh putrinya. "Kau harus melepaskanku, Bu. Aku tidak benar-benar di sini."

Nafas Megan tercekat di tenggorokannya, kebingungan membanjiri pikirannya. "Apa maksudmu? Kau ada di sini! Kita bisa bersama lagi."

Ellie menggelengkan kepalanya, cahaya di matanya meredup. "Ini hanya mimpi. Kau harus bangun. Kamu menyakiti dirimu sendiri dengan bertahan."

Beban dari kata-kata Ellie menghantam Megan seperti gelombang pasang, memaksanya untuk menghadapi kebenaran yang selama ini ia hindari. Penglihatan-penglihatan itu, tawa-tawa itu -- semua itu adalah usaha keras pikirannya untuk melindunginya dari rasa sakit yang tak tertahankan karena kehilangan.

Saat kesadarannya mulai meresap, ruangan di sekelilingnya mulai memudar. "Tidak! Tolong, jangan tinggalkan aku!" jeritnya, mencengkeram udara, tetapi sudah terlambat. Bayangan Ellie berkilauan dan larut dalam Ke dalam bayangan.

Megan ditinggalkan sendirian, gema tawa putrinya terdengar dalam keheningan. Air mata mengalir di wajahnya saat kesedihannya kembali membanjiri, membanjiri tanpa henti. Dia akhirnya mengerti-penerimaan adalah langkah pertama menuju penyembuhan, tetapi rasanya seperti melepaskan anaknya lagi.

Pada minggu-minggu berikutnya, Megan mencari bantuan, perlahan-lahan belajar untuk mengatasi kesedihannya. Setiap langkah terasa berat, namun seiring berjalannya waktu, bayang-bayang itu mulai hilang. Dia menemukan cara untuk menghormati kenangan Ellie, menciptakan sebuah taman kecil di halaman belakang rumah, tempat yang penuh dengan bunga, tawa, dan cinta-tanpa ilusi kehadiran putrinya.

Megan tidak akan pernah melupakan Ellie, namun ia menyadari bahwa cara terbaik untuk menjaga semangatnya tetap hidup adalah dengan tidak menahannya, tetapi melepaskan dan menghargai saat-saat yang telah mereka lalui bersama. Gema kehilangan akan selalu membayangi, namun hal itu berubah menjadi pengingat lembut akan cinta yang tidak akan pernah hilang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun