Belum lama ini publik dihebohkan oleh kasus kekerasan yang dilakukan oleh Mario Dandy anak pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan terhadap Cristalino David Ozora pada hari Senin, 20 Februari 2023 di Pesanggrahan Jakarta Selatan.Â
Video viral yang berdurasi beberapa detik mempertontonkan aksi penganiayaan yang tak semestinya dilakukan oleh Mario (20) terhadap David (17) hingga di larikan ke rumah sakit. Sontak warganet mengecam perbuatan Mario tersebut.
Menariknya motif dibalik peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh Mario terhadap David hanya perihal hubungan romansa antar remaja, hingga akhirnya Mario gelap mata menganiaya secara brutal dan David pun menjadi korbannya.
Fenomena kekerasan yang dilakukan remaja juga terjadi di Desa Citepus, Kecamatan Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, pada Sabtu, (4/3/2023). Tiga siswa yang masih duduk dibangku SMP tega membunuh anak SD berinisial RA (12) tahun yang pada saat kejadian sedang melintas berjalan kaki bersama temannya untuk pulang ke rumah.
Tahun 2020 silam pun publik juga dikejutkan dengan kasus pembunuhan bocah berusia 6 tahun oleh remaja (NF) 15 tahun. NF terbukti bersalah dan meyakinkan melakukan tindak pidana dengan vonis Pasal 76C UU RI No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU RI No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, juncto Pasal 80 Ayat (3) UU RI No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU RI No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Berdasarkan putusan hakim NF dijatuhkan pidana penjara dan ditempatkan di Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial (LPSK) Handayani Jakarta.
Hal yang mengejutkan dari contoh kasus kekerasan tersebut justru dilakukan oleh anak-anak atau remaja. Banyaknya kasus kekerasan terhadap anak sebagai pelaku maupun korban menimbulkan sebuah pertanyaan, mengapa mereka bisa berani melakukan sebuah tindak kejahatan?
Menurut Dorothy Law Nolte seorang pendidik dan ahli konseling keluarga mengatakan dalam sajaknya, children learn what they live. Yaitu anak-anak belajar dari apa yang mereka jalani pada kehidupannya.
Anak-anak belajar dengan melihat dan meniru orang dewasa di sekitar mereka. Anak-anak belajar dari pengalaman yang mereka alami langsung. Melalui pengalaman tersebut dapat mengembangkan kemampuan sosial, emosional, kognitif serta belajar bagaimana mengatasi tantangan dan mencari solusi atas masalah yang dihadapi.
Tindak kejahatan yang dilakukan oleh remaja tentu tidak terjadi begitu saja. Dalam banyak kasus kekerasan yang kerap terjadi pada anak-anak atau remaja, mereka tumbuh dan dibesarkan dalam lingkungan yang tidak sehat secara fisik dan mental. Sebagai contoh, seperti kekerasan dalam rumah tangga, penelantaran orang tua, kemiskinan, dan lain-lain.
Berdasarkan penelitian, anak yang belum matang secara emosional lebih rentan melakukan tindak pidana. Hal ini disebabkan karena anak belum matang secara emosional, belum memiliki kemampuan untuk mengontrol emosi dan perilaku mereka dengan baik.
Anak yang belum matang secara emosional cenderung memiliki reaksi emosional yang berlebihan, sulit mengontrol kemarahan dan impulsif dalam mengambil keputusan. Anak yang mengalami masalah emosional seringkali tidak mampu memproses informasi dengan baik dan membuat keputusan yang bijak. Tidak seperti orang dewasa, anak yang masih dibawah umur disebut sebagai anak-anak karena mereka belum dewasa secara mental.
Selain itu, anak yang belum matang secara emosional juga lebih mudah dipengaruhi oleh teman sebaya atau lingkungan yang tidak sehat. Hal ini dapat memicu perilaku yang tidak baik, termasuk perilaku kriminal. Kondisi emosional dan mental anak yang belum matang membuat mereka mengekspresikan emosi mereka dengan cara yang tidak dibenarkan atau melanggar hukum dengan melakukan sebuah tindak pidana.
Dalam artikel upaya perlindungan hak anak melalui Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) yang dipublikasikan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Hasan selaku Asisten Deputi Perlindungan Anak Berhadapan dengan Hukum mengatakan “Anak yang berkonflik dengan hukum sebenarnya merupakan korban dari apa yang dilihat didengar dan dirasakan serta pengaruh lingkungan disekitar mereka. Banyak faktor yang melatarbelakangi anak yang melakukan tindak pidana diantaranya, pendidikan, usia, pergaulan anak dan lingkungan keluarga" dikutip pada Minggu, (12/08/2018).
Banyak cara yang dilakukan anak agar mereka mendapatkan pengakuan dari orang tuanya. Mereka hanya ingin diperhatikan, dipahami, didengar dan mengutarakan segala kesedihan yang mereka rasakan. Anak-anak seringkali tidak memiliki kontrol penuh atas lingkungan mereka dan tidak memiliki kemampuan untuk memilih lingkungannya sendiri baik untuk tinggal maupun bertumbuh. Namun dalam banyak hal orang dewasa seringkali tidak menyadarinya.
Kasus kekerasan yang terjadi pada anak sudah bukan lagi menjadi perkara pribadi. Tindak Kekerasan yang terjadi terhadap anak merupakan masalah sosial yang  sangat serius dan anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) membutuhkan perhatian dari semua pihak. Pemerintah dan masyarakat pun turut bertanggung jawab. Riset menunjukkan apabila kasus kekerasan anak ditangani secara tepat akan menciptakan lingkungan di masyarakat yang lebih kondusif dan aman serta dapat mencegah tindakan kriminalitas yang dilakukan oleh anak. Jika orang dewasa tidak mau ambil sikap jangan harap kasus kekerasan yang dilakukan pada anak-anak atau remaja tidak terulang kembali kedepannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H