Anak hanya belajar untuk menjawab soal. Mereka tidak dilatih untuk mengelola rasa ingin tahu mereka, mencari jawabannya, dan menguji kebenaran opini mereka. Sekolah hanya untuk mendapatkan ijasah, memiliki pekerjaan, mendapat status "sukses" dari masyarakat bukan untuk menguatkan daya nalar dan memperluas wawasan pemikiran.
Mengajar di Omah Sinau Ngijo dalam 2 tahun ini, saya menemukan banyak sekali keanehan yang terjadi pada cara berpikir & belajar anak - anak. Ada anak yang sudah kelas 5 tapi masih belum fasih menyelesaikan operasi penjumlahan pengurangan. Ada yang sudah SMP tapi belum mengerti apa arti dari "how are you".
"Kok kamu tahu jawabannya , I am Fine?"
"Soalnya gurunya menyampaikan perintahnya seperti itu."
Saya beberapa kali menemui kejadian seperti ini. Hal paling "nggemesin" terjadi 2 minggu yang lalu. Waktu itu kami mengajarkan ilmu bumi tentang kawasan iklim Tropis. Anak - anak kesulitan membaca peta, menyebutkan benua, dan bertanya
"Oh Indonesia itu Asia ya."Â
Melihat hal ini saya sungguh miris sekali. Pendidikan dasar yang harusnya menjadi fundamental anak Indonesia terbukti gagal melakukannya, minimal untuk anak di kawasan binaan Omah Sinau karena saya hampir melihat fenomena ini di semua tempat yang saya datangi.
Sebelum saya beropini lebih jauh, saya akan sedikit menjelaskan tentang Omah Sinau Kami yang saya bangun bersama suami saya. Omah Sinau Kami adalah ruang belajar yang kami inisiasi karena melihat rendahnya kemampuan literasi dan SDM di kawasan pedesaan. Ketidakberdayaan masyarakat di kawasan pedesaan ini membuat mereka rentan terhadap manipulasi baik politik maupun ekonomi. Kami membuka kelas gratis untuk anak - anak desa dengan 3 tujuan besar : Menumbuhkan kecintaan pada literasi, menumbuhkan daya nalar, dan menumbuhkan rasa cinta mereka terhada kearifan lokal yang dimilikinya.
"Halah mbak. Kasih aja pertanyaan kami yang jawab. Susah lho. Mau tanya apa?"
"Sembarang. Masa kamu tidak pernah penasaran sama tubuhmu atau lingkunganmu. Apa kamu sudah tahu semua dengan fenomena 7 kejadian disekitarmu?"
Saya tambah waktunya, 5 menit. Tuliskan pertanyaannya.
Ada 9 anak disana. 5 pertanyaan sama berkutat pada "kenapa rumah dibangun dengan semen & bata?". 2 pertanyaan retoris, hanya untuk menggugurkan kewajiban saja, "dimana kamu membeli semen?" setelah saya tanya balik jawaban dari pertanyaan itu kepada si penanya, dia bisa menjawab dengan tegas "toko bangunan."
"Kamu sudah tahu jawabannya. Kenapa tanya?"
"Pertama saya bingung, kedua kan tugasnya bikin pertanyaan. Itu kan juga pertanyaan. Di sekolah kalau tugasnya bikin pertanyaan, ya bikin aja. Malah kadang kita disuruh bikin pertanyaan dan menjawab pertanyaan itu."
2 pertanyaan tersisa. Pertama  "apakah merokok itu boleh atau tidak boleh? ", Kedua adalah "Kenapa ada Jam?". Pertanyaanya ini dibuat oleh anak kelas 2 SD. Begitu saya ajukan pertanyaan kedua, ada beberapa anak yang lebih besar tertawa.
"Kenapa kalian tertawa?"
"Yo kabeh tahu ta. Jam itu dipakai lihat waktu. Pertanyaannya gak penting."
"Le, apa maksudmu kenapa ada jam ?
"Aku tahu, mbak. Jam itu untuk menunjukkan waktu tapi aku pingin tahu kenpa kok jam itu 1 sampai 12 kenapa gak sampai 18 gitu." Anak - anak yang lain semakin tertawa. Mereka berpikir betapa naifnya si anak Kelas 2 SD ini.
"Le Nduk, ada yang bisa jawab kenapa jam hanya 1 sampai 12. Ada yang tahu sejarah jam modern yang kita gunakan sekarang? Apakah dulu nabi Muhammad memiliki arloji untuk melihat waktu shalat? Ada yang tahu kenapa waktu itu ada dan siapa yang menggunakan waktu sebagai ukuran?"
Anak - anak diam. Mereka baru menyadari bahwa pertanyaan sederhana yang mereka tertawakan itu menimbulkan pertanyaan besar di belakangany . Mereka tidak tahu kalau mereka tidak tahu, jelas ini adalah pondasi yang gagal dibangun. Bagaimana mereka bisa belajar kalau mereka sendiri tidak tahu apa tujan mereka belajar selain menuntut ilmu yang tinggi, memiliki nilai rapor yang baik, memiliki pekerjaan yang baik, mendapatkan penghasilan bagus, dan mendapatkan status sosial "orang sukses" dari masyarakat. Hanya sesempit itukah arti pendidikan?
Pernahkah para pelaku pendidikan itu menyadari bagaimana kalau Newton tidak pernah duduk santai di kebunnya dan mengamati pohonapel, Bagaimana kalau Thomas Alfa Edison tidak penasaran dengan listrik yang bisa menghasilkan cahaya, bagaimana kalau Bill gates tidak penasaran sampai keluar dari Harvard demi mengembangkan mini-komputernya,Apakah akan ada angka 0 kalau Al Khawarizmi tidak tertarik untuk belajar matematika?
Esensi belajar sebenarnya adalah proses perjalanan seseorang mencari jawaban dari tidak tahu menjadi tahu. Tidak bisa menjadi bisa. Inkompetensi menjadi kompetensi. Harus ada pertanyaan, rasa ingin tahu, dan motivasi mereka untuk mencari jawaban agar tercipta kondisi belajar yang idela.Â
Sistem belajar saat ini adalah anak - anak ditumbuhkan untuk menjawab pertanyaan yang dibuat oleh pembuat pertanyaan. Anak - anak tidak dibebaskan untuk mengekplorasi rasa ingin tahunya.Â
Mereka tentu tidak akan bisa bertanya kenapa cicak bisa menempel di dinding saat jam pelajaran matematika, bahkan di pelajaran sains pun apabila belum waktu materinya, pasti guru tidak akan menjawab pertanyaan si anak dengan detail. Sesampianya di rumah, mereka sudah lupa dengan pertanyaan tadi.Â
Mereka akan lebih memilih bermain dengan gadgetnya karena seharian sudah berkutat pada pembelajaran yang tidak semuanya menarik hati mereka. Hilang sudah momentum, anak mencari jawaban dari pertanyaannya. Lama kelamaan, mereka terprogram hanya belajar untuk menjawab pertanyaan.Â
Pertanyaan  A akan dijawab dengan jawaban A. Tidak perlulah membaca ABCD. Cari praktis. Ada google yang bisa menjawab semua pertanyaan mereka.Â
Tidak aneh, kalau akhirnya mereka tumbuh menjadi orang dewasa yang suka membuat kesimpulan walaupun hanya membaca nukilan berita. Mereka sudah tidak terbiasa menguji sebuah pernyataan.Â
Baca judul, buka artikel, baca sekejap, menarik, share. Hasilnya, bisa kita lihat sekarang , Berita HOAX mudah sekali menyebar. Padahal sudah jelas bahwa di momen "ganti presiden" ini akan banyak BOT yang diciptakan hanya untuk membuat berita pencitraan, saling menjatuhkan, dan klaim kebenaran.
Sering saya melihat wajah anak - anak di Omah Sinau Kami dengan perasaan tak menentu. Mau dibawa kemana mereka. Praksis pendidikan dasar sudah terbukti gagal menumbuhkan daya nalar bagi pesertanya. Apakah memang sistem ini dibuat langgeng begini saja untuk memudahkan kepentingan "invisible hand" agar mudah menjajah negeri ini.Â
Pendidikan sudah menjadi industri. Seakan untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas harus siap menggelontorkan hampir sebagian besar dana keluarga.Â
Pendidikan adalah investasi, jelas untuk mengembalikan investasi taid, para orang tua berharap anaknya mendapat pekerjaan yang layak agar dana pendidikannya tidak sia-sia. Suap sana sini. Korupsi menjadi - jadi.
"Akan jadi apa sebuah negara kelak tergantung pada sistem pendidikan yang dilaksanakan 10 tahun sebelumnya."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H