Mohon tunggu...
Nyonya Ria
Nyonya Ria Mohon Tunggu... Front End Developer -

Saya adalah Pembelajar. Belajar menjadi ibu, belajar menjadi penulis, belajra mengenal sejarah lokal, belajar untuk memiliki hidup yang lebih berkualitas.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Melawan Sistem Pendidikan dengan Ruang Belajar Kampung

19 Februari 2017   21:11 Diperbarui: 20 Februari 2017   09:02 891
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kelas perkusi dengan barang bekas

3. Bakat Seni adalah nomor sekian, pokoknya Matematika dan ilmu pasti harus sempurna.

Kelas perkusi dengan barang bekas
Kelas perkusi dengan barang bekas
Saya pernah membaca buku tentang Ki Hajar Dewantara, di situ beliau mengatakan: 

"Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai dengan kodratnya sendiri. Pendidik hanya merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu." 

Nah, yang kita lihat sekarang di pendidikan Indonesia adalah sebuah paradoks. Bapak pendidikan nasional kita adalah Ki Hajar Dewantara, namun tuntunan beliau tidak digunakan. Terus, apa sih acuan dari sistem pendidikan kita? Apakah sistem "pokoknya harus ada projek"? 

Sekolah lebih mengejar nilai-nilai akademis, sementara minat dan bakat hanya sampingan, Bandingkan dengan anak yang menang olimpiade matematika dengan anak yang menjadi lomba mewarna, siapakah yang lebih dielu-elukan. Sepertinya sekolah membentuk kita menjadi generasi "kantoran" jadi PNS, dokter, pilot, atau dosen. Profesi yang nonformal adalah pilihan terakhir saat kita gagal tes PNS.

Itulah kenapa di ruang belajar kampung kami, anak-anak ditekankan untuk mengeksplorasi bakat dan minat mereka. Kami membuka kelas musik, kelas gambar, kelas perkusi, dan kelas tari dengan guru-guru yang kompeten. Pengajar kelas seni adalah orang-orang yang hidup dari bakat mereka sehingga anak-anak bisa melihat bahwa sekolah bukan penentu masa depan mereka. Bakat dan minat kalau dipelajari dengan baik akan menjadi modal untuk menopang hidup. Bekerja dengan passion adalah hal yang menyenangkan, bukan?

4. Minimnya kompetensi guru Bahasa Inggris membuat anak-anak berpikir kalau belajar Bahasa Inggris itu supersulit.

Kelas Bahasa Inggris Bersama Roberto dari Italia.
Kelas Bahasa Inggris Bersama Roberto dari Italia.
Kurikulum Bahasa Inggris yang mengerikan dan guru bahasa Inggris dengan kompetensi  minim adalah formula ampuh yang menjadikan banyak orang trauma dengan bahasa inggris. Hiperbolakah saya? Sepertinya tidak. Tengok saja, pelajaran SD anak kelas 1 yang baru saja belajar membaca, mereka sudah diberi cerita pendek dan jumbled words. Kaget itu yang pasti. Baca aja masih garatal-gratul sudah diberi kalimat panjang yang ajaib dan sulit dicerna bagi mereka. Saya pernah mendapati anak kelas 4 SD dikasih tugas bikin fabel dalam bahasa Inggris. Canggih bukan gurunya?

Saya juga pernah memiliki proyek sosial mengajar bahasa Inggris di SD bersama dengan native dan kebanyakan guru bahasa Inggris di SD, kemampuannya sangat beginner bahkan ada di antara mereka yang tidak punya keberanian untuk berbicara langsung dengan si bule. Nah, bagaimana mereka bisa mengajar dengan baik kalau ternyata kemampuan mereka sangat minim. Itulah mungkin alasan kenapa banyak guru SD yang memberikan PR seabreg biar minggu depan mereka membuang waktu dengan mencocokkan PR bermodalkan kunci jawaban di LKS pegangan guru :D

Di ruang kelas kampung yang saya bangun, saya mengajak anak-anak untuk mengenal bahasa Inggris dengan bermain. Saya lebih menekankan keberanian berkomunikasi dan menambah perbendaharaan kata. Saya juga sering mengundang teman-teman bule yang sedang berwisata ke Indonesia untuk mampir ke rumah dan berinteraksi dengan anak-anak binaan kami. Hampir setiap bulan, anak-anak diajar dengan native yang tentu saja mampu meningkatkan kepercayaan diri mereka dalam berkomunikasi.

5. Kurangnya komunikasi antara orang tua dan sekolah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun