Mohon tunggu...
Nyonya Ria
Nyonya Ria Mohon Tunggu... Front End Developer -

Saya adalah Pembelajar. Belajar menjadi ibu, belajar menjadi penulis, belajra mengenal sejarah lokal, belajar untuk memiliki hidup yang lebih berkualitas.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Melawan Sistem Pendidikan dengan Ruang Belajar Kampung

19 Februari 2017   21:11 Diperbarui: 20 Februari 2017   09:02 891
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kelas perkusi dengan barang bekas

Sudah 8 bulan ini saya membuka kelas-kelas belajar sepulang sekolah di kampung saya. Kampung saya di Desa Ngijo, Kecamatan Karangploso, Malang.

Berawal dari kelas bahasa Inggris dan kelas diskusi, sekarang saya sudah memiliki kelas perkusi, kelas gambar, dan kelas tari tradisional Jawa. Tempatnya bisa di mana saja, teras rumah penduduk, sawah yang baru saja panen, atau di gubuk-gubuk dekat sawah. Pokoknya, ada materi, ada guru, ada murid dan sistem belajar bisa terlaksana. Awalnya, saya hanya ingin memberikan ruang bermain yang edukatif bagi anak-anak di kampung saya. Semakin ke sini semakin saya melihat ada lubang besar di dunia pendidikan kita yang sepertinya tidak akan bisa diatasi dalam waktu dekat.

Dengan alasan itu, saya semakin tergerak untuk membuat kelas "after school" yang setidaknya bisa menjadi solusi kecil bagi permasalahan pendidikan di desa. Membuka ruang-ruang belajar yang membuat mereka merasa "tidak seperti disuruh belajar". Itulah kenapa saya lebih suka mengajar di ruang-ruang terbuka, tempat di mana mereka bermain dan berinteraksi. Mereka tidak digiring ke dalam ruangan kotak yang membuat mereka merasa sesak. Dan saya tidak mau membubuhkan kata-kata les biar mereka tidak takut duluan.

Inilah beberapa permasalahan yang saya amati selama saya membangun ruang belajar di kampung saya. Semuanya berdasarkan pengamatan dan curhatan eksklusif anak yang pastinya jarang dibicarakan anak ke orang tuanya karena takut dimarahi.

1. Mencontek adalah pendidikan tambahan yang mereka dapat di sekolah.

Saya yakin setiap guru dan pendidik di sekolah akan protes dengan pernyataan saya. Cuma inilah kenyataannya, pendidikan yang hanya berbasis nilai bukan karakter memicu anak untuk menghalalkan segala cara demi mendapatkan nilai yang baik atau biar naik kelas. Memang, sekarang pendidikan karakter menjadi menu utama dalam teori pendidikan, tapi di lapangan realitasnya berbeda. Ada beberapa sekolah yang masih mementingkan nilai. Dalam ruang belajar ala kampung saya, saya selalu menekankan untuk tidak mencontek. Bukan hanya masalah kejujuran, dengan mencontek kamu akan terbiasa menipu diri sendiri, guru pun tidak bisa mendeteksi apakah materi sudah tuntas sampai ke murid. 

Awalnya, anak-anak banyak yang mengeluh karena nilai mereka jeblok dan takut dimarahi oleh orang tua mereka. Saya memastikan bahwa saya akan bilang ke orang tua mereka masing-masing agar lebih menghargai kejujuran anak ketimbang mendapat nilai baik dengan cara yang tidak baik, cuma saya memberi syarat agar mereka mau belajar lebih rajin. Alhamdulillah, ketika saya menyambangi orang tua mereka, banyak yang mau mengerti dan mendukung saya. Melihat kesungguhan saya, merayu orang tuanya, anak-anak jadi rajin belajar tanpa harus diperintah.

2. Tinggal kelas hanya akan membuat anak minder.

Adit, anak berbaju biru yang kehilangan keprcayaan dirinya karena sudah 3 kali tidak naik kelas.
Adit, anak berbaju biru yang kehilangan keprcayaan dirinya karena sudah 3 kali tidak naik kelas.
Saya tidak tahu bagaimana di tempat Anda. Kalau disini, hampir tiap tahun pasti ada anak-anak "bodoh dan nakal" yang tidak naik kelas di kampung saya. Bahkan, ada anak yang tidak naik kelas hingga tiga kali. Kebanyakan dari anak yang tinggal kelas pasti akan tumbuh menjadi anak yang bermasalah. Bisa jadi nakal banget atau mider banget. Bahkan ada di atara mereka yang sampai disuruh melakukan sesuatu akan diawali dengan kalimat,  "Iso gak yo, Mbak. Aku kan goblok (Bisa endak ya, Mbak? Aku Kan Bodoh)."

Ada satu kejadian yang cukup mencengangkan saya. Anak yang tidak naik kelas 3 tahun tadi, bisa menggambar dengan sangat baik dan di atas rata-rata. Sementara dia sendiri tidak meyakini kemampuannya sendiri. Masalah datang ketika dia disuruh menggambar bebas. Beberapa kali dia nampak gelisah dan menghapus gambarnya. Pas saya tanya, dia bilang kalau dia tidak yakin dengan apa yang dipikirkannya. Dia meyakini bahwa dia adalah bodoh dan tidak berani untuk menyakini dirinya sendiri.

Hingga saat ini, saya kurang paham kenapa ada sistem tidak naik kelas di Indonesia. Beberapa kali saya mengobrol dengan teman pengajar di Jepang hingga Rusia mereka tidak mengenal sistem naik kelas dan ujian nasional. Kami berharap dari ruang kelas kampung ini, saya bisa mengembalikan kepercayaan diri anak-anak yang kepercayaan dirinya turun karena tidak naik naik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun