Karena Novel Siti Nurbaya
DN Sarjana
Kalau saja buku yang Sinta mau pinjam tidak berpindah tangan, mungkin ceritanya tidak sampai ke Rio. Bayangkan, dia hampir satu jam memilih buku yang seabrek jumlahnya di perpustakaan sekolah, dan sudah pastinya dia taruh di atas meja ruangan pojok timur, tiba-tiba menguap tidak ada. Sinta yakin benar buku itu telah ditaruh disitu.Â
Satu buku novel. Dua buku tentang lsafat. Paling mangkel Sinta kehilangan buku novel dengan judul Siti Nurbaya, yang lama dicari-cari. Peminatnya pasti banyak,terutama temen perempuan. Maklum sangat romantis.Â
Apalagi seumur Sinta sudah mau menginjak dewasa. Sinta bolak-balik di sekitar ruangan perpustakaan. Sambil pura-pura membaca, dia melirik teman-teman perempuan sekitarnya. Â Dilihatnya Rani asik membaca buku. Dia malu menuduh Rani membaca buku novel yang hilang. Sinta pun mendapat akal dengan pura-pura bertanya.
"Ran, kamu baca apa sih? Asik bener." Rani tetap membaca, sambil senyum-senyum.
Sinta jadi penasaran. Apa pertanyaannya didengar, atau dia cuwek aja?
"E, kutu buku. Kamu dengar pertanyaanku Ran?" Sergah Santi dengan nada sedikit meninggi.
"Sori, Nona novel. Aku sedang asik baca cerita ini. Lucu...menggelikan. kamu pingin tahu?"
Rani menjawab dan bilang Nona novel karena Sinta terkenal di kelas 3 IPA1 dengan sebutan nona novel. Habis, Sinta kalau masuk ruang perpustakaan pasti yang pertama dibaca adalah buku novel.
"Ran, kamu tahu ya kisahku hampir sama dengan novel yang kamu baca?"
"Mana ku tahu? Kamu kan lagi asik tadi di pojok perpustakaan."
Sinta bengong, jadi tidak paham, lalu bertanya sama Rani. "Aku tidak ngerti. Maksudmu apa sih Ran?"
"Ah, kura-kura dalam perahu." Jawab Rani sambil senyum-senyum.
"Ran, jangan permainkan aku. Nanti aku marah. Ni, lihat. Kuku ini bisa mencakarmu."
Sinta memegang tangan Rani. Rani terus mejawab. " Sory ya Nona novel. Tadi aku lihat kamu baca buku. Di belakangmu terlihat Rio berdiri sembunyi. Saat kamu taruh buku, Rio cekatan ngambilnya."
"Oh, gitu ya Ran. Kenapa kamu tidak bilang dari tadi?"
"Emangnya ada urusan apa?"
"Ndak sih, cuman Aku. Ah... sudahlah." Sinta memotong perkataannya biar tidak muter-muter lagi.
"Iya, nonaaaa... Kirain kamu maen petak umpet sama pujaan hati."
"Ah, kamu ada saja Ran. Dia beda kelas. Malu-maluin." Sinta menjewer pipi Rani.
"Aku lapor ke Ibu perpus dulu ya Ran. Aku penasaran sama novel yang mau aku pinjam."
"Oo, ceritanya kehilangan novel tuh. Nanti pinjam aja ke Rio!"
"Ih, Rani. Kamu ada-ada saja." Sinta terus bergegas ke ruang kerja Ibu perpus.
Sesampai di depan meja kerja, Sinta melihat ibu perpus sedang santai. Kesempatan itu Sinta manfaatkan untuk bertanya. "Bu, apakah ada siswa yang pinjam buku novel Siti Nurbaya tadi?"
"Hmmm...Coba ibu lihat catatan pinjaman dulu."
Sambil membuka buku peminjam Ibu perpus menatap dan membuka nama-nama peminjam. "O, ini ada Sinta. Ni, catatan ke dua puluh. Namanya Rio. Kelas 9c."
"Terimakasih bu. Saya mau pinjam buku ini saja." Sinta menyodorkan buku.
Perasaan Sinta deg-degan. Dari kapan dia suka novel? Bukankah dia suka baca buku kimia dan biologi? Aku dengar dia cari kedokteran. " Tapi...apakah Rio tidak berhak membaca baca novel juga?" Pikir Sinta.
Tidak berselang lama, Sinta dan Rani barengan keluar dari ruangan perpustakaan. Mereka kemudian mengikuti pelajaran terakhir yaitu mata pelajaran kesenian selama dua jam pelajaran.
Waktu tidak terasa. Bunyi bel sekolah terdengar. Teng...teng...teng... itu pertanda bel pulang sekolah. Siswa bersamaan keluar ruangan. Mereka rebutan cari bemo jemputan. Tak disangka Sinta berpapasan dengan Rio. Sikap Sinta biasa saja. Sinta sempat melirik kaca mata tebal yang dipakai Rio. Pantesan juga dapat juara umum dari kelas IPA. Biasanya para juara ngumpul di kelas IPA1.
Rani pindah berdiri agak jauh. Takut diledekin teman-teman. Bemo jemputan telah tiba. Sinta naik bersama Rani. Sekitar 10 meter, tahunya Rio naik ke bemo yang sama. Sialnya lagi Sinta duduk berhadapan. Hati Sinta deg-degan, disaat Rani mulai senyum-senyum. "Pasti dia ledekin aku." Pikir Sinta.
Bener aja, Rani mulai berulah.
"Sin, bagaimana buk perpus tadi? Dia tahu ada yang mengambil novel yang mau kau pinjam?"
Sambil menjimpit paha Rani, Sinta mengalihkan pembicaraan.
"Ran, baiknya kau diam. Aku mau mabuk. Tadi kebanyakan minum es!" Kata Sinta sedikit berbisik pada Rani.
Bukannya Rani mau ngerti maksud Sinta, tapi dia malah makin ngaco ngeledek. Suaranya justru dikeraskan. Antara mangkel dan malu Sinta memberi kerdipan mata. Justru Rani kian ngoceh.
"Sin..., kalau aku melihatnya, pasti aku cakar. Sukanya mempermainkan perempuan."
Sinta bener-bener bereaksi. Dia menjimpit paha Rani. Rani menjerit. "Aduh, sakit Sin. Coba tanya Rio. Sakit ndak kalau dijimpit perempuan!"
Tampak Rio tersenyum. Namun wajahnya sedikit memerah, karena dia takut ketahuan mengambil novel itu. Padahal lewat novel itu dia ingin menitip sesuatu yang paling rahasia buat Sinta.
Suasana dalam bemo kemudian sepi.Tidak terasa Rio sudah sampai di depan rumahnya. Sopir bemo sudah hapal betul dengan rumah-rumah siswa karena hampir tiap hari dia antar jemput. Setelah membayar ongkos, Rio bergegas turun dari bemo.
"Hai, Rani dan teman-teman. Aku duluan ya."
"Kok, sebut namaku saja? Sapa dong Sinta!"
Rani menggoda. Dan Rio hanya senyum-senyum saja.
Tak berselang lama Sinta berucap dengan suara tidak terlalu keras. "Ran, kamu keterlaluan deh hari ini. Kamu kerjain aku habis-habisan. Aku malu Ran."
"Buat apa menutup peti? Lebih baik letakkan memanjang. Buat apa menutup hati? Lebih baik berucap sayang." Rani langsung jawab dengan pantun.
Sinta tersenyum. Hati nya jadi berdebar. "Rani memang teman perempuanku yang maco. Dia apa adanya. Ada jua benarnya. Buat apa memendam rindu dan cinta? Pikir Sinta."
"Ran, aku tahu kamu memang temanku yang baik. Tapi soal aku dengan Rio, jangan dibicarakan dulu ya. Please Ran. Aku belum ada apa-apanya."
"Oke, don't worry my frience." Sambil tersenyum, Rani turun dari bemo, sambil menepuk tangan Sinta.
Sinta terus menjawab. "Makasi ya Ran. Besok kita sua lagi."
Ia masih membayangkan kok bisa novel Siti Nurbaya benar dipinjam Rio? Dari kapan Rio suka baca novel? Bersamaan dengan hayalannya, bemo yang ditumpangi Sinta berhenti di depan rumahnya. Sintapun turun.
Hari itu, antara galau dan rasa hatinya kepada Rio berkecamuk. "Inikah namanya jatuh cinta? Mengapa saat-saat akan ujian dan akan berpisah aku menaruh perhatian kepada Rio?" Pikir Sinta sambil mengerjakan PR matematika. Bayangan wajah Rio seakan melintas. Lelaki itu memang menjadi idola teman-teman perempuan di kelasnya. Termasuk Sinta sendiri. Wajar saja karena disamping pintar, Rio juga ganteng dan luwes bergaul.
Swmentara ditempat lain, Rio, bingung sendiri mencari akal bagaimana novel dan lembar surat kepada Sinta bisa nyampe dengan tepat di tangan Sinta. "Aku tak ingin ada yang tahu tentang rahasia ini."
Dalam kegelisahan hatinya, akhirnya Rio dapat akal. "Aku besok harus pagi-pagi datang kesekolah, agar bisa memberi novel kepada Sinta, tanpa diketahui teman lain." Pikirnya.
Benar saja keesokan harinya, Rio pagi-pagi sudah berangkat. Tidak berselang lama, bemo yang ditumpangi sudah sampai. Rio pun bergegas masuk halaman sekolah. Rio mencari tempat yang biasa dilintasi Sinta, sambil pura-pura membaca.
Dari kejauhan, Rio melihat Sinta turun dari bemo. Hatinya sangat senang. Benar saja Sinta akan lewat dilintasan tempatnya berdiri.
"Sinta.tunggu sebentar."
Sinta tertahan langkahnya. Sinta juga takut dilihat teman lain. Apalagi oleh Rani. Rio sendiri dengan cekatan mengambil novel dari dalam tasnya.
"Sin, maaf ya. Aku mengambil novel yang mau kau pinjam kemarin. Ini saya kasi kamu. Tapi...tapi...ada sesuatu di dalamnya. Jangan ada orang lain tahu ya Sin."
Sinta tak berpikir panjang. Langsung saja ia ambil novel itu sambil tersenyum Sinta menganggung. Yang begitu membuat hatinya berdebar adalah sentuhan tangan Rio di jemari Sinta. Sesuatu banget terasa menjalar.
Ah, baiknya aku tidur saja. Bua tapa mikirin Rio. Tapi apakah aku jatuh cinta kepada Rio? Rani tertidur pulas bersama kerinduan kepada Rani.
Sesampai di kelas, Sinta membuka buku novel. Secepat kilat Sinta mengambil selembar surat yang dititip Rio. Dia menaruh pada tempat paling rahasia di tasnya. Hatinya kian berdebar.
Hari itu jam belajar  terasa lebih lama buat Sinta. Ia mencari waktu yang tepat dan dapat sendiri keperpustakaan untuk kembalikan buku novel.
"Sin, kamu kok menghilang jam mengaso tadi? Maen petak umpet ya sama Rio?"
"Uh, Ran. Kamu ada aja. Aku ke perpus kembaliin buku."
"Oo, pantes Aku tak melihat mu di kantin. Aku tanya Rio kekasihmu juga bilang tidak tahu." Jawab Rani.
"Ih. Kamu ada aja Ran. Jangat nyebut gitu. Aku tidak enak karena kenyataan tidak ada."
Sinta tak sabaran, untuk bisa segera membaca lembar surat itu. Apakah rasa cinta yang baru tumbuh akan ada yang menyamai? Apakah Rio orang pertama yang menyirami rasa cinta itu? Hanya waktulah yang akan menjawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H