Sinta tersenyum. Hati nya jadi berdebar. "Rani memang teman perempuanku yang maco. Dia apa adanya. Ada jua benarnya. Buat apa memendam rindu dan cinta? Pikir Sinta."
"Ran, aku tahu kamu memang temanku yang baik. Tapi soal aku dengan Rio, jangan dibicarakan dulu ya. Please Ran. Aku belum ada apa-apanya."
"Oke, don't worry my frience." Sambil tersenyum, Rani turun dari bemo, sambil menepuk tangan Sinta.
Sinta terus menjawab. "Makasi ya Ran. Besok kita sua lagi."
Ia masih membayangkan kok bisa novel Siti Nurbaya benar dipinjam Rio? Dari kapan Rio suka baca novel? Bersamaan dengan hayalannya, bemo yang ditumpangi Sinta berhenti di depan rumahnya. Sintapun turun.
Hari itu, antara galau dan rasa hatinya kepada Rio berkecamuk. "Inikah namanya jatuh cinta? Mengapa saat-saat akan ujian dan akan berpisah aku menaruh perhatian kepada Rio?" Pikir Sinta sambil mengerjakan PR matematika. Bayangan wajah Rio seakan melintas. Lelaki itu memang menjadi idola teman-teman perempuan di kelasnya. Termasuk Sinta sendiri. Wajar saja karena disamping pintar, Rio juga ganteng dan luwes bergaul.
Swmentara ditempat lain, Rio, bingung sendiri mencari akal bagaimana novel dan lembar surat kepada Sinta bisa nyampe dengan tepat di tangan Sinta. "Aku tak ingin ada yang tahu tentang rahasia ini."
Dalam kegelisahan hatinya, akhirnya Rio dapat akal. "Aku besok harus pagi-pagi datang kesekolah, agar bisa memberi novel kepada Sinta, tanpa diketahui teman lain." Pikirnya.
Benar saja keesokan harinya, Rio pagi-pagi sudah berangkat. Tidak berselang lama, bemo yang ditumpangi sudah sampai. Rio pun bergegas masuk halaman sekolah. Rio mencari tempat yang biasa dilintasi Sinta, sambil pura-pura membaca.
Dari kejauhan, Rio melihat Sinta turun dari bemo. Hatinya sangat senang. Benar saja Sinta akan lewat dilintasan tempatnya berdiri.
"Sinta.tunggu sebentar."
Sinta tertahan langkahnya. Sinta juga takut dilihat teman lain. Apalagi oleh Rani. Rio sendiri dengan cekatan mengambil novel dari dalam tasnya.