Mohon tunggu...
Nyoman Sarjana
Nyoman Sarjana Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Penulis

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kenangan di Ubud

15 Juni 2024   21:21 Diperbarui: 15 Juni 2024   21:57 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kenangan di Ubud
DN Sarjana

Suasana Ubud adalah perpaduan harmoni antara keindahan alam, budaya, dan seni. Memancarkan ketenangan dan keindahan, membuat siapa pun yang datang akan merasa damai dan bahagia. Burung-burung berkicau riang, suaranya yang merdu,  menambah harmoni alam ini. Juga taman-taman yang ditata apik di pinggir jalan dan tempat-tempat seni mewarnai kesan Ubud sebagai desa tujuan wisata kelas dunia. Walau daerah wisata,  Ubud masih meninggalkan pertanian yaitu sawah. Terlihat padinya berwarna hija, menari-nari ditiup angin lembut, seperti bergelombang hijau yang indah.

Di pusat kota, pasar tradisional masih terlihat eksis di kunjungi pembeli maupun penjual dagangan. Jualan yang tersaji dengan pola dan barang dagangan tradisonal setiap saat dan hari ramai dengan aktivitas jual beli oleh penduduk lokal maupun wisatawan.

Disetiap saat, Ubud kembali hidup dengan berbagai aktivitas seni, karena galeri seni, selalu memamerkan karya yang menakjubkan. Malam Ubud selalu dihiasi dengan suara gamelan karena  pertunjukan tari tradisional Bali mewarnai kehidupan malam. Tidak heran di Ubud bertebaran bangunan rumah hunian untuk tamu baik berupa home stay, villa, resort dan hotel. Tidak salah Ubud dijuluki kampung tourism.

Salah satu tempat galeri seni berada di sudut jalanan menuju monkey fores bernama "Young Yogja." Galeri lukisan ini lumayan terkenal dikalangan anak muda. Karya realis yang dipadungan dengan latar imajinatif membuat model yang dilukis menjadi puas. Sesuai dengan namanya, galeri ini digawangi oleh pelukis muda yang eksentrik.

Memasuki galeri, pengunjung langsung disuguhkan dengan beragam lukisan yang menghiasi dinding-dindingnya. Lukisan di galeri ini beraneka ragam situasi mulai dari keindahan alam, figur, kehidupan sehari-hari, keindahan alam, dan budaya Bali.

Di sudut lain galeri, terdapat sekumpulan lukisan abstrak yang penuh dengan warna-warna berani. Dedi pemuda asal Yogja yang menggawangi galeri ini.  

Angin berhembus membawa aroma bunga kamboja dan suara gemericik air kolam kecil di tengah taman, menambah kesan damai dan harmoni. Setiap kunjungan ke galeri ini adalah sebuah perjalanan menyelami keindahan seni dan kekayaan budaya Bali yang tak terlupakan.

Hari ini galeri ini lumayan ramai. Disamping kedatangan penikmat seni, ada kisaran tiga orang menunggu untuk dilukis wajahnya. Salah satunya seorang gadis dari Jakarta yang sedang berlibur ke Bali. Dedi pemilik galeri, kelihatan sibuk bergerak mengamati model yang dilukis.

Dengan gaya eksentrik dan pulasan kuas yang ekspresif menunjukkan Dedi memang pelukis yang lumayan profesional. Kepulan asap rokok tak henti-henti keluar dari bibirnya. Orang bilang merokok salah satu perangsang untuk mengeluarkan ide yang mengalir dalam pikiran.

"Ya, begitu. Agak geser ke timur. Ada melirik kesini. Ya...ya...pas. Tapi rambut disingkap dikit".

"Ah, gimana sih yang pas Bapak?" Perempuan putih dan berparas cantik itu agak ketus. Mungkin perempuan ini pertamakali melakukan lukis diri. Ia kelihatan tidak kerasan. Dikiranya posisi duduk sekali lukisan itu sudah cukup.
Dedi dengan sabar melayani tamunya. Ia sudah biasa sesekali dikonflin oleh model yang diambil.

"Boleh aku pegang sebentar rambutmu?" Perempuan dengan wajah lumayan manis itu sesaat memandangi Dedi. Sorot matannya, yang tajam seperti menghujam dada Dedi. Tumben kali ini ia bertemu dengan gadis model seperti ini. Sesaat perempuan itu  mengangguk.

Sesungguhnya Dedi merasa tidak enak bersentuhan dengan setiap model yang akan dilukisnya. Dia selalu berusaha menjaga prifatisasi seseorang. Apalagi dia seorang gadis. Dedi dua tiga kali memberi perintah gadis yang sedang dilukis.

Sketsa lukisan mulai tampak. Dia melihat gadis itu gelisah. Dedipun menghentikan sejenak agar gadis yang dilukisnya dapat beristirahat.
Benar saja. Ia menoleh ibunya dan berucap, "Ma, aku capek".
Mamanya mendekat, kemudian berusaha merayu putrinya. Tapi rupanya ia sepertinya ngambek, hingga  kemudian mamanya bertanya kepada Dedi.
"Adakah jalan memotret anak saya untuk kemudian dilukis?"

Dedi menghirup rokoknya terus berucap. "Boleh aja bu. Tapi saya biasanya lebih suka dari pemodelan langsung, karena tidak terpengaruh situasi buatan. Baik saya potret aja". Dedi mengambil kamera hp, lalu memotret gadis itu beberapa kali.

"Sudah, silahkan. Pengambilan poto sudah selesai selesai".
Gadis itu kelihatan lega. Ia kemudian melangkah mendekati mama nya. Diambilnya botol minuman, sambil duduk di atas batu. Dedi diam-diam memperhatikan perempuan langsing yang baru saja dia ambil dalam beberapa adengan.

"Lumayan cantik," pikirnya. Perempuan itu sangat menikmati suasana terkesan klasik di studio ini. Pandangannya tertuju pada lukisan-lukisan yang dipajang di berbagai sudut. lalu dia mendekati sketsa lukisan yang masih dikerjakan.

Alisnya kelihatan sedikit dikerut. Rupanya gadis itu menyimpan sesuatu pada sketsa wajahnya. Lalu ia berucap. "Pak, kok senyumku kecut banget sih?"

"Kan belum selesai. Nanti akan dipadukan dengan poto tadi Buk". Gadis itu menoleh kepada Dedi. Lalu dia berkata.

"Jangan bilang ibu lah. Aku masih muda kok".
Dedi terkejut karena merasa keceplosan bilang ibuk. Dipandanginya gadis tersebut. Dia melihat sebuah senyum yang manis dilepas.

"E, maaf mbak. Saya salah sebut. Atau Sekalian boleh saya tahu namanya?"

"Aku Lely. Usia ku baru dua puluh tahun."

"Aku juga masih muda Mbak Lely. Namaku Dedi". Dedi mencoba bergurai dengan gadis model di depannya.

"Tapi...kau". Dedi memotong perkataan Lely.

"Kelihatan tua ya. Mungkin aku terlalu konsen melukis. Apalagi melukis wajah sepertimu". Lely melepas senyumnya. Ia merasa bersalah memancing dengan pertanyaan tadi. Sebenarnya Lely hanya ingin bermain-main saja.

 "Seperti apa sih wajahku Mas?" tanya Lely ragu akan jawaban Dedi.

"Cantik". Jawab Dedi singkat. Lely tak bisa menyembunyikan senyumnya. Rupanya lelaki ini tidak seperti yang ia duga sebelumnya. Lelaki serampangan, cuek. Pokoknya menyebalkan. Tapi setelah ia bicara, ternyata dia ramah, sopan. "Pikir Lely."

"O, ya maaf saya bilang Bapak tadi Mas Dedi".

"Tidak apa-apa. Kita tidak saling kenal".

"Sudah ya. Aku pamit. Aku harus balik bersama mamaku." Lely diberikan isyarat oleh mamanya harus  melanjukan perjalanan ke Kuta. Dedi hanya menyempatkan diri meminta nomer telpon. Dedi berjanji dua hari lagi lukisan akan selesai.

"Sampai jumpa Mas Dedi". Lely melambaikan  tangannya dan mobil pun melaju.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun