Perang Pandan, Bukti Kesatria Sejati
DN Sarjana
"Silahkan lihat di papan pengumuman masing-masing fakultas, di mana kalian dapat tempat KKN. Keberangkatan terakhir menuju desa yang dituju awal Maret." Demikian pengumuman terpasang di papan rektorat.
Dua hari kemudian kami saling kontak dari mulut ke mulut. Maklum, mana ada gaway di masa itu. Ya, tahun 1985. Kebetulan saja Aku  bertiga dapat desa yang sama. Kamipun bersama minta surat tugas kepada Dekan.
Aku bersama Manik dan Budiasa mendapat KKN disalah satu desa tua di Bali yang merupakan desa Bali Aga yaitu Desa Tenganan. Desa ini memiliki tradisi unik yang disebut Perang Pandan dikenal dengan nama Mekar-Kar atau Magrt Pandan.
Upacara perang pandan ini, memakai senjata pandan berduri yang perlambang sebuah gada yang dipakai berperang, diikuti oleh para lelaki baik itu anak-anak, dewasa maupun orang tua. Upacara perang pandan dirayakan setiap bulan 5 kalender Bali.
Prosesi perang pandan atau mekar-kar sebagai bentuk persembahan  menghormati para leluhur dan juga Dewa Indra sebagai Dewa Perang, yang bertempur melawan Maya Denawa seorang raja yang sewenang-wenang, dan melarang rakyat menyembah Tuhan.
"Kita bertemu di sana aja ya. Aku tidak punya motor. Aku akan naik bus ke Karangasem. Katanya Desa Tenganan berada di pinggir jalan besar. Nanti cari rumah tinggal, Aku naik ojek aja." Teman-teman mengiyakan.
Aku ingat hari itu Senin, 20 Maret 1985 sekitar pukul sembilan pagi, Aku sudah sampai di tempat. Aku langsung menuju kantor desa.
"Selamat pagi. Saya Dewo, salah seorang mahasiswa KKN."
"Oh, ya. Silahkan duduk. Pagi benar sudah nyampe?"
"Ya, kebetulan Bus yang Saya tumpangi dari terminal Ubung sudah penuh."
Kami pun ngobrol beberapa hal sebelum diantar ke rumah kepala desa.
Kurang lebih tiga puluh menit, saya sudah sampai di rumah kepala desa. Dalam perjalanan Aku menikmati pemandangan yang indah. Jalan berliku dan di kanan kiri dipenuhi tanaman tinggi dan rimbun. Terdengar siulan burung bertengger dan saling berlompatan di dahan.
Tidak lama Aku tiba di rumah kepala desa. Sesaat aku terpana oleh sambutan seorang gadis. Hmm, cantiknya.
"Silahkan masuk Pak. Duduk dulu, saya buatkan teh." Katanya
"Maaf boleh Aku minta kopi? Di sini lumayan dingin." Kataku sambil memandangi gadis itu.
"O, maaf. Boleh Pak. Tunggu sebentar." Gadis itupun bergegas ke dapur.
Aku berpikir, kenapa Aku dibilang bapak ya. Apa wajahku terlihat tua?
"Ini Pak. Kopinya. Kalau pahit, bilang ya. Nanti saya tambahin gulanya."
Belum sempat menyaut, gadis itu telah pergi. Jadilah Aku merenung sendiri sambil meminum kopi disertai sebatang rokok.
"Pak, nanti tidur di kamar timur itu. Bisa kok bertiga. Kamarnya sudah saya bersihkan."
"Baik dik. Terimakasih banyak." Jawabku. Begitu sempurna perempuan ini. Rupanya cantik. Lakunya santun. Aku pun bergegas masuk ruangan.
Menjelang sore semua temanku Manik, Budiasa, Agung, Mirah, Wayan sudah nyampai. Manik dan Mirah tidur berdua di rumah sebelah barat.
Tidak terasa sebulan sudah berlalu. Banyak pekerjaan yang sudah kami tuntaskan. Kami bertiga sering mengumpulkan remaja di desa untuk memberi arahan terkait dengan pentingnya sekolah. Sudah pasti Ketut Lastri memandu muda-mudi. Ia anak ke empat dari Bapak kepala desa, sehingga di sebut Ketut.
Kami juga sering melaksanakan kerja bakti bersama muda-mudi setempat. Suasan desa terlihat tua dan klasik. Rumah-rumah  berjejer di samping. Sementara di tengahnya terdapat rumah panjang semacam rumah panggung beratap ijuk. Lantai perumahan beralaskan batu yang di tata rapi menambah kesan sangat alami.
Pantaslah Desa Tenganan termasuk Desa Bali Aga atau Bali Mula. Pesona alam perbukitan dengan hutan adat yang lestari masih terjaga.
Hingga suatu hari,
"Bapak lagi seminggu, di desa kami akan ada upacara Ngusaba Sambah. Saat itu akan ada kegiatan seru yang disebut Mekar-Kar. Bapak pernah dengar upacara itu?"
"Pernahlah. Aku kan orang Bali. Maaf boleh Aku minta Dik Ketut memanggil Aku Bli? Aku kurang enak dipanggil Bapak karena Aku masih muda!"
"O, maaf ya. Kok baru bilang? Kan sudah sebulan di sini. Baik mulai dari sekarang Aku panggil Bli. Bli siapa sih lengkapnya?"
"Bilang aja Bli Dewo. Apakah boleh Bli ikut Mekar-Kar? Bli ingin mencoba.
"Rasanya sih boleh. Besok Ketut tanyakan kepada Bapak."
Kesempatan bicara berdua seperti ini jarang bisa kami lakukan. Aku sangat menjaga adab di desa ini yang begitu kental.
Hari yang dinanti telah tiba. Prosesi perang pandan atau mekar-kar sebagai bentuk persembahan  menghormati para leluhur dan juga Dewa Indra sebagai Dewa Perang, yang bertempur melawan Maya Denawa seorang raja yang sewenang-wenang, dan melarang rakyat menyembah Tuhan.
Tampak gadis remaja berpakaian adat dengan tenunan pegringsingan dan bunga oncer disematkan di rambut nampak cantik-cantik duduk berjejer di Balai Panjang. Sedang para pemuda juga berpakaian adat. Beberapa diantara mereka memegang tameng dan daun pandat yang sudah diikat benang tri datu. Dan Aku bersyukur diijinkan ikut, sehingga ada di tengah kerumunan itu.
Para tetua desa sibuk menyiapkan upakara atau sesaji persembahan agar upacara Siat Pandan berjalan dengan baik. Pemangku menjalankan ritual disertai suara genta. Para ibu Serati Banten menjalankan rangkaian sesaji persembahan. Suasana nampak hening.
Rangkaian perang pandan segera dimulai. Ternyata Aku mendapat giliran ke dua. Setelah pemandu masuk lapangan diikuti dua pemuda bersiap perang. Komando diberikan. Dua pemuda itu mencari tubuh di belakang yang tidak memakai satupun kain. Tampak darah mulai keluar dan segera dihentikan. Lalu mereka di balur dengan minyak yang berisi kunir, lengkuas dan ramuan lain.
Setelahnya Aku juga seperti itu.
"Ayo Bli Dewo.. Ayo..jangan menyerah." Suara itu jelas terdengar. Aku merasa gagah dilapangan, walau ada rasa sakit di punggung. Perang Pandan dihentikan.
Terasa ada tangan halus yang mengusap punggungku. "Aduuh...perih. pelan-pelan." Kataku sambil meringis.
"Maaf ya Bli. Biar lekas sembuh."
Aku berbalik. Teryata Aku melihat perempuan manis tersenyum. Luh Latri yang mencuri hatiku.
Tidak berselang lama Aku memberanikan berucap karena kesempatan seperti ini susah dicari.
"Latri, Bli akan lebih sakit ketika akan berpisah nanti." Kataku pelan.
"Bli, jangan ucapkan sekarang. Hati Latri tambah perih dari perih luka Bli. Bli tidak tahu, Latri memendam kekaguman ini sendiri. Apakah Bli Dewo tahu?" Ucap Latri dengan wajah terpancar sedih.
Aku julurkan tangan seolah ada luka, biar bisa memegang tangan Luh Latri.
"Maafkan Bli Dewo. Bli juga punya perasaan sama. Tapi dari awal Bli tahu diri. Kita tak mungkin menjalin kasih sayang, karena tradisi yang harus dihormati.
"Bli Dewo. Satria Bli di Perang Pandan akan selalu Luh ingat dan kenang. Bli Dewo Kesatria sejati itu. Luh akan selalu mengobati luka hati Bli walau hanya doa. Selamat berjuang ya Bli Dewo. Sukses menyertai."
Luh Latri melepas pegangan tangannya. Ia mengusap air mata yang meleleh di pipi. Aku membiarkan saja. Aku tak berani bersentuhan. Aku menghormati masyarakat dan tradiai di sini yang terjaga dengan baik.
Kamipun berpisah, seiring datangnya sore menjelang malam. Langit tertungkub warna jingga, seperti jingga luruh lara hatiku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H