Kesempatan bicara berdua seperti ini jarang bisa kami lakukan. Aku sangat menjaga adab di desa ini yang begitu kental.
Hari yang dinanti telah tiba. Prosesi perang pandan atau mekar-kar sebagai bentuk persembahan  menghormati para leluhur dan juga Dewa Indra sebagai Dewa Perang, yang bertempur melawan Maya Denawa seorang raja yang sewenang-wenang, dan melarang rakyat menyembah Tuhan.
Tampak gadis remaja berpakaian adat dengan tenunan pegringsingan dan bunga oncer disematkan di rambut nampak cantik-cantik duduk berjejer di Balai Panjang. Sedang para pemuda juga berpakaian adat. Beberapa diantara mereka memegang tameng dan daun pandat yang sudah diikat benang tri datu. Dan Aku bersyukur diijinkan ikut, sehingga ada di tengah kerumunan itu.
Para tetua desa sibuk menyiapkan upakara atau sesaji persembahan agar upacara Siat Pandan berjalan dengan baik. Pemangku menjalankan ritual disertai suara genta. Para ibu Serati Banten menjalankan rangkaian sesaji persembahan. Suasana nampak hening.
Rangkaian perang pandan segera dimulai. Ternyata Aku mendapat giliran ke dua. Setelah pemandu masuk lapangan diikuti dua pemuda bersiap perang. Komando diberikan. Dua pemuda itu mencari tubuh di belakang yang tidak memakai satupun kain. Tampak darah mulai keluar dan segera dihentikan. Lalu mereka di balur dengan minyak yang berisi kunir, lengkuas dan ramuan lain.
Setelahnya Aku juga seperti itu.
"Ayo Bli Dewo.. Ayo..jangan menyerah." Suara itu jelas terdengar. Aku merasa gagah dilapangan, walau ada rasa sakit di punggung. Perang Pandan dihentikan.
Terasa ada tangan halus yang mengusap punggungku. "Aduuh...perih. pelan-pelan." Kataku sambil meringis.
"Maaf ya Bli. Biar lekas sembuh."
Aku berbalik. Teryata Aku melihat perempuan manis tersenyum. Luh Latri yang mencuri hatiku.
Tidak berselang lama Aku memberanikan berucap karena kesempatan seperti ini susah dicari.
"Latri, Bli akan lebih sakit ketika akan berpisah nanti." Kataku pelan.