Nikmat di Ujung Pisau 2
DN Sarjana
Begitulah hidup Rani semakin bimbang. Rani menyesal sudah berani bermain api.
Tapi penyesalan yang terlambat sama saja bohongnya.
Sore setelah pulang kerja, Rani mendapati rumahnya sepi. Dia tak melihat siapa di rumah. Setahun lalu Rani dan keluarga kecilnya pindah dari rumah tua. Walau tidak begitu luas, ia merasa nyaman karena hanya bertiga di rumah.
Namun akhir-akhir ini kenyamanan terasa berkurang. Mulai ada ketidak cocokan Rani dengan suaminya Teo. Entah siapa yang memulai, mereka seolah berjalan sendiri-sendiri.
"Pa, dimana?" Tanya Rani sambil merebahkan tubuhnya di kasur.
"Aku pulang kampung bersama Santi. Dia saya titipkan ke neneknya. Saya ada urusan dengan teman-teman." Teo menjawab telpon istrinya Rani dan langsung mematikan.
Rani memandangi hp nya. Kejadian seperti ini membuat hatinya terluka. Rani ingin masa lalu itu. Ketika ia lelah pulang kerja, suaminya menyambut hangat. Celoteh anak semata wayang membuat suasana rumah menjadi ramai.
Kenangan itu tinggal kenangan. Hari-hari dalam kesendirian, membuat hatinya terguncang. Rani mulai kehilangan tempatnya berpijak. Saking lelahnya Rani tertidur lelap sampai malam datang. Panggilan renyah suara anaknya Santi membangunkan Rani. Hatinya sumringah dan bergegas memandikan serta memberi makan anaknya.
Rani berusaha menahan diri agar tidak terjadi perselisihan dengan suaminya. Ia mengajak bicara dan seperti biasa makan bersama. Rani mencoba tahu apa yang dilakukan suaminya tadi.
"Pa, tadi pergi kemana sih?" Tanya Rani sambil mengambilkan sayur suaminya.
"Biasa, ketemu teman-teman di jalan melepas kangen."
"Berisi minum kan?"
"Kalau iya, gimana sih? Bertemu seperti itu minuman dan rokok temannya. Suasana akan tambah akrab dan asik."
Rani tidak mau melanjutkan pembicaraan. Ia tak mungkin meredam ego suaminya kalau sudah seperti ini. Padahal Rani merasa curiga. Betapa tidak kehangatan yang ia dapatkan selama ini dari Teo berubah hampir seratus derajat. Kamar yang dulunya sumringah, kini tidak lebih dari onggokan yang membisu
Sebagai perempuan intuisi rasa curiganya dan cemburu tumbuh di hati. Tidak hanya pada gerak gerik, sikap Teo, tapi kehangatan itu terasa sudah hilang. Apalagi gara-gara bau farfum di baju Teo, pernah menjadi biang kerok keributan.
Rani tahu persis farfum yang menjadi kesukaan suaminya Teo. Dan sering kali Ranilah yang memberikan. Tapi malam minggu lalu, setelah Teo bilang keluar dengan temannya, Rani mencium bau farfum....di tubuh suaminya Teo. Ia mencoba bertanya. Tapi apa yang dia dapatkan? Suara dempratan dan kata-kata mengusir keluar dari mulut Teo. Rani terdiam. Ia tak ingin anaknya mendengar perkelahian malam itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H