Mohon tunggu...
Nyoman Sarjana
Nyoman Sarjana Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Penulis

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Penari

18 April 2024   14:10 Diperbarui: 18 April 2024   17:28 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber gambar Lukisan Bpk Wiguna Negara. Alamat Bali/dok. pri

Penari

Penari itu sudah selesai berhias. Pakaian bercahaya sangat klasik. Sementara di gelung kepala berhiaskan bunga warna kuning ke emasan.

Satu set barung tetabuhan siap-siap dihadapi oleh penabuh. Mereka berpakaian seragam. Patus pemimpin tabuh memberi aba. Dan byaaaar...suara tabuh berbarengan, lalu saling bersahutan menjadi sangat indah.

Penari bersiap. Ia masih berdiri di balik langse. Tatapannya begitu tajam dan meyakinkan. Mungkin ada rasa berkecamuk antara taksu dan penonton. Setelah mengatupkan tangan tanda berdoa, penari perlahan keluar mengikuti irama gamelan.

Tangan digetarkan, meliak-liuk. Sementara gerakan tubuh lemah gemulai serasi dengan imbangan tanjek kaki.

Sesekali matanya menatap tajam dan senyumnya merekah. Dia malam ini memang cantik dan bersahaja. Sorotan dan kerlip lampu panggung menambah indah suasana. Sementara nyala obor dibeberapa titik membuat suasana terasa magis.

Penari terus menari. Ia itari beberapa kali panggung. Gamelan makin cepat, seiring dengan cepatnya liukan penari.

Sementara sepasang mata menatap dan mengawasi. Lelaki berbadan tegap, berambut agak panjang. Kemungkinan pemuda itu penekun spritual. Matanya nanar terus menatap.

Entah bagaimana ceritanya, penari itu rebah. Tetabuh dihentikan perlahan. Beberapa orang tua mendekati penari. Mereka rata-rata berpakaian putih.

Pemuda yang sedari tadi terus memperhatikan, ada dikerumunan itu. Ia dengan sigap mengambil dengan meletakkan lengannya di bahu. Ternyata perempuan penari mengalami trence.

"Aku ngayah...Aku ngayah... Carikan bunga cempaka putih 3 buah. Aku mau minum air suci. Aku ngayah..."

Lelaki yang sebaya dengan penari itu meminta orang tua, mencari kembang cempaka dan mengambil air suci yang sudah tersedia.

Lelaki itupun seperti berucap dan memohon sesuatu, lalu dia memercikkan air suci kepada penari. Tidak lama penari sudah lemas tidak bertenaga. Ia duduk dengan tenang, seolah tidak terjadi apa-apa.

"Bli, aku gimana?" Dia bertanya pada lelaki yang ada di sampingnya.

"Tidak apa Luh, hanya Luh tidak sadar sebentar."

"Tapi aku takut Bli. Aku tidak mau."

"Yaa.., tenang dulu. Besok setelah mepamit, kita akan bicarakan. Sekarang mari kita siap-siap pulang.

Luh SUkesti masih termangu. Dia dipapah oleh lelaki itu. Ternyata dia Wayan Purwa, pemimpin sekha atau grup kesenian yang pentas. Wayan Purwa disamping penari juga penekun spritual.

Keesokan harinya, Wayan Purwa pergi ke rumah Luh Sukesti. Ia ingin tahu apa yang terjadi kemarin malam.

"Selamat pagi Bli Mangku. Luh Sukesti ada?"

"Yee, Wayan Purwa. Ayo duduk. Baru san Luh Sukesti habis sembahyang. Ada apa tumben?"

Wayan Purwa lalu bercerita tentang pementasan tadi malam, yang diwarnai oleh suasana magis.

"Begitulah Bli Mangku. Luh Sukesti rupanya akan ngayah seperti Bli Mangku. Mohon di jaga dengan baik."

"Yee, Bli Wayan. Sudah tadi?" Duduk dulu saya buatkan kopj." Tidak lama Luh Sukesti datang membawa kopi.

Sambil meminum kopi Wayan Purwa bercerita kejadian tadi malam kepada Luh Sukesti.

"Luh, dari putaran pertama Bli sudah melihat aura wajah Luh berubah. Bli sudah mengira yang akan terjadi."

"Oo, Bli. Trus..Luh harus bagaimana?"

"Luh melik. Orang bilang indigo. Wajar karena Luh anak pemangku. Mulai sekarang jaga diri baik-baik. Luh punya kelebihan dibandingkan penari yang lain."

Setelah diberi penjelasan panjang lebar Luh Sukesti makin takut menghadapi kehidupannya kedepan. Ia masih terbayang akan keinginan Bli Purwa pernah melontarkan agar Luh Sukesti menjadi teman hidupnya. "Tapi apa mungkin? Bli Purwa orang berada dan kesohor di bidang seni. Sedangkan diriku? Hanya penari biasa." Pikir Luh Sukesti ditengah malam yang semakin kelam.

*ngayah = semacam tugas yg wajib dilaksanakan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun