Wayan Purwa lalu bercerita tentang pementasan tadi malam, yang diwarnai oleh suasana magis.
"Begitulah Bli Mangku. Luh Sukesti rupanya akan ngayah seperti Bli Mangku. Mohon di jaga dengan baik."
"Yee, Bli Wayan. Sudah tadi?" Duduk dulu saya buatkan kopj." Tidak lama Luh Sukesti datang membawa kopi.
Sambil meminum kopi Wayan Purwa bercerita kejadian tadi malam kepada Luh Sukesti.
"Luh, dari putaran pertama Bli sudah melihat aura wajah Luh berubah. Bli sudah mengira yang akan terjadi."
"Oo, Bli. Trus..Luh harus bagaimana?"
"Luh melik. Orang bilang indigo. Wajar karena Luh anak pemangku. Mulai sekarang jaga diri baik-baik. Luh punya kelebihan dibandingkan penari yang lain."
Setelah diberi penjelasan panjang lebar Luh Sukesti makin takut menghadapi kehidupannya kedepan. Ia masih terbayang akan keinginan Bli Purwa pernah melontarkan agar Luh Sukesti menjadi teman hidupnya. "Tapi apa mungkin? Bli Purwa orang berada dan kesohor di bidang seni. Sedangkan diriku? Hanya penari biasa." Pikir Luh Sukesti ditengah malam yang semakin kelam.
*ngayah = semacam tugas yg wajib dilaksanakan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H