Mohon tunggu...
Nyoman Sarjana
Nyoman Sarjana Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Penulis

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tangisan Si Kecil

27 Maret 2024   07:46 Diperbarui: 27 Maret 2024   07:58 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tangisan Si Kecil
DN Sarjana

"Dengan cara apa kamu berdusta  lagi? Ayoo...dengan cara apa?" Teriak Fitri sambil melempar sendok yang kebetulan dipegangnya.

Pertengkaran kecil itu, syukur tidak diketahui oleh siapapun. Kebetulan rumah dalam keadaan sepi.

Peristiwa itu wajar saja terjadi. Siapa yang masih mampu tidak cemburu, ketika di depan matanya sudah terbukti suaminya selingkuh.

Sore itu sepulang kerja, seperti biasa suaminya Fredy rehat sejenak, kemudian menuju kamar tidur untuk beristirahat.

Fredy tidak menyadari bahwa perubahan kasih sayang kepada istrinya, Fitri  akan menjadi masalah. Memang umumnya lelaki cuek terhadap situasi yang terkadang sangat sensitif.

Seperti yang dilakukan Fredy. Ia sembarang saja menaruh hp. Fredy tidak menyadari bahwa kelakuannya di kantor akan menjadi masalah besar.

Hampir saja mahligai rumah tangganya runtuh gara-gara menyimpan chating.

"Pak, kita bertemu dimana?" Itu bunyi chat pertama yang merisaukan hati Fitri.

"Ma, aku kok punya perasaan tidak enak pada suamiku?" Awal pertama ia menyampaikan kepada ibunya.

"Ah, jangan berprasangka Fitri. Apalagi ini hari suci. Sabar dan tawakal. Ingat kemahakuasaan Tuhan." Kata ibunya di pagi itu.

"Tapi akan bisa terjadi Ma. Aku sudah muak dengan kelakuan Fredy." Fitri diam sejenak.

"Maksudmu gimana Fitri. Mama yang sudah tua, tak pernah tahu kamu punya masalah. Kamu baik-baik saja."

"Ya, karena Mama tidak tahu membaca chat wa."

"Ooo, maksud Fitri itu. Coba kalau tidak ada hp seperti jaman Mama dengan Ayahmu, kan baik-baik aja. Sampai Mama punya anak lima. Cucu Mama punya banyak."

"Ah, Mama. Itu dulu. Mama pasti tidak tahu bagaimana ayah di kantor."

"Ah, Fit.., Fit. Apa Mama harus tahu urusan ayahmu di kantor? Bisa-bisa kamu tidak makan."

Fitri terdiam. Mamanya meneruskan ucapannya. Semasih ikatan cinta yang tulus dan suci dipegang kuat, tak kan ada yang mampu menggoda.

Fitri merenung, sambil mencuci baju anaknya. Apa yang diucapkan oleh Mama, memang benar adanya. Semasih kepercayaan itu bertumbuh, mengapa cemburu harus aku pelihara. Bukankah itu akan membuat aku sakit hati?
Dan tangis si mungil menyadarkan Fitri bahwa cinta harus terjaga demi buah hatinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun