DBD Semakin Menjadi Ancaman Akibat Perubahan Iklim, Kota Tarakan Beradaptasi dengan Menggunakan Topi Anti DBD (TAD)
[caption caption="Topi Anti DBD (TAD) yang dipasang di tempat penampungan air warga di Kota Tarakan"][/caption]
Apakah perubahan iklim betul-betul berdampak pada sektor kesehatan? Para peneliti telah menyatakan bahwa beberapa area yang temperatur-nya semakin menghangat berpengaruh pada perkembangan beberapa wabah penyakit dan hewan-hewan pembawa penyakit (carrier). Beberapa kejadian yang terkait dengan meningkatnya suhu juga dikaitkan dengan perubahan iklim.
Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa iklim yang menghangat mengakibatkan siklus perkawinan dan pertumbuhan nyamuk dari telur menjadi larva dan nyamuk dewasa akan dipersingkat, sehingga jumlah populasi lebih cepat berkembang. Udara panas dan lembab sangat cocok untuk nyamuk malaria (Anopheles), dan nyamuk demam berdarah (Aedes aegypti). Dulu, nyamuk-nyamuk ini lebih sering muncul di musim pancaroba, antara musim hujan dan kemarau. Kini udara panas dan lembab bisa berlangsung sepanjang tahun. Maka, kini virus malaria yang dibawa Anopheles dan virus dengue yang dibawa nyamuk Aedes aegypti tersebut dapat menyerang sewaktu-waktu.
Dari Studi KRAPI (Kajian Risiko dan Adaptasi Perubahan Iklim) Kota Tarakan yang disusun oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) bersama dengan Pemerintah Kota Tarakan, didapatkan kesimpulan bahwa dampak perubahan iklim di Kota Tarakan terjadi pada sektor pesisir, sumber daya air, dan kesehatan. Sesuai dengan salah satu sektor rentan yang teridentifikasi, berdasarkan kajian Dinas Kesehatan Kota Tarakan, Kelurahan Selumit Pantai merupakan zona merah sarang nyamuk Aedes aegypti dimana 92,45% total kawasan tidak bebas jentik. Kerentanan terhadap sumber penyakit tropis ini juga terkait dengan dampak perubahan iklim. Menurut Kajian Angka Bebas Jentik (ABJ) yang dikumpulkan dalam kegiatan larvasidasi massal (penaburan bubuk larvasida-pembunuh jentik) tahun 2013, Demam Berdarah Dengue (DBD) menjadi ancaman bagi masyarakat kota Tarakan.
[caption caption="Kelurahan Selumit Pantai di Kota Tarakan merupakan kelurahan pesisir yang masih belum terjangkau jaringan pipa air bersih (dokumen program ACCCRN)"]
Kurangnya akses masyarakat terhadap sumber air bersih juga berpengaruh terhadap penyebaran penyakit DBD. Karakternya sebagai kota pulau kecil membuat Kota Tarakan mendapat frekuensi hujan yang cukup sering dan tidak menentu sepanjang tahun. Ini membuat tidak sedikit warga yang berinisiatif menaruh drum atau tangki air sederhana di halaman rumahnya untuk mensubstitusi ketidaktersediaan layanan pipa air bersih yang memadai.
Kondisi seperti ini salah satunya dialami masyarakat yang tinggal di Kelurahan Selumit Pantai di daerah pesisir Kota Tarakan. Kelurahan Selumit Pantai merupakan salah satu kelurahan yang bermasalah dimana sebanyak 67.66% atau 2.087 KK (12.525 jiwa) tidak mendapatkan akses air bersih PDAM (Data Dinas Kesehatan Kota Tarakan, 2014). Sebagai gantinya, masyarakat memanfaatkan air hujan sebagai alternatif sumber air bersih. Hampir semua warga menggunakan tandon-tandon air terbuka yang ditempatkan baik di halaman maupun di dalam rumah yang biasanya langsung berhubungan dengan talang air. Namun, air hujan yang tertampung dalam tandon yang terbuka ini dengan mudah menjadi sarang nyamuk Aedes Aegypti sebagai penular penyakit DBD. Hal ini juga dikarenakan keengganan masyarakat untuk menguras air sebagai langkah pencegahan penyakit DBD karena takut tidak mendapatkan air hujan yang cukup.
Topi Anti DBD sebagai Penutup Tempat Penampungan Air
Topi Anti DBD atau yang biasa lebih dikenal sebagai TAD oleh warga setempat bukanlah suatu alat penutup kepala, melainkan merupakan penutup kontainer penampung air yang akan menghalangi nyamuk untuk hinggap dan bertelur di atas air yang mereka tamping tersebut. Nama TAD sendiri diusung oleh Dinas Kesehatan Kota Tarakan agar lebih mudah diingat oleh masyarakat. TAD dibuat dari bahan kasa berlubang dengan diameter kecil untuk mengatasi ketakutan masyarakat bahwa mereka tidak mendapatkan air dengan menutup tempat penampungan airnya. Oleh karena itu, TAD dirancang dengan pori-pori yang tetap dapat menampung air saat hujan yang menyesuaikan kebutuhan warga di sana.
Konsep TAD ini sendiri diinisiasi oleh Ibu Tri Astuti dari Dinas Kesehatan Kota Tarakan. Kegelisahan beliau melihat tingginya kasus DBD di kotanya membuatnya mencari ide alternatif untuk mendukung program-program penanggulangan DBD yang sudah ada sebelumnya. “Perubahan iklim menjadi pemicu berkembangnya nyamuk DBD, ditambah dengan meningkatnya jumlah penduduk serta masih banyak masyarakat yang mau tidak mau masih menggunakan bak penampungan air hujan karena daerahnya belum terpasang instalasi jaringan pipa air PDAM.” ungkapnya.