Â
Baru saja aku melirik ke arah sumber cahaya itu datang, Â bubung pintu kayu persegi panjang yang kini tak terlalu tegap. Bagian-bagiannya mulai mengelupas, warna coklat pekat yang dulu tampak hidup, kini menjadi sayu dan luntur sebagian.
Aku tak mungkin salah, buntut cahaya itu berwarna kemerahan. Berjalan cepat melintas di depanku. Awalnya aku tertidur didepan televisi saat matahari baru saja akan tergelincir ke barat, berbaring telentang dengan lengan kanan menutup mata.Â
Lalu mendadak tubuhku terkulai, sendi-sendinya terasa lemas. Bahkan menggerakkan jari-jari saja, aku tak mampu. Aku berusaha berteriak mengguncangkan bagian-bagian tubuhku, tapi sia-sia. Rasanya seluruh tenagaku disedot oleh sesuatu.
Ruangan ini berubah menjadi gelap, tiba-tiba ada yang berlarian di atas wajahku, begitu cepat. Bentuknya seperti cicak, tapi jauh lebih besar. Bergerak tak beraturan dari ubun-ubun ke bagian leher dan hilang. Sebentar kemudian, dari ujung kakiku naik mahluk panjang berigi, kaki-kakinya berbulu, panjang dan kasar seukuran lengan orang dewasa. Berjalan perlahan naik ke atas paha, lurus ke atas kebagian perut, lalu naik ke atas hingga melewati wajah dan rambutku.
Rasanya aku ingin meraung-raung sekuatnya, tetapi tak sedikit pun suara yang keluar dari mulut ini. Perlahan air mata ku turun, panas menyentuh bagian telinga. Aku menggigit bibir, badanku masih belum bisa digerakkan.Â
Sayup-sayup terdengar suara burung-burung terbang diatas rumah. Masuk satu persatu hingga terasa begitu dekat, "ada apa ini" pikirku. Bagian atap rumahku ditutup oleh genting-genting yang kokoh, kenapa kawanan burung itu bisa masuk dengan mudah. Aku bisa merasakan, paruh burung itu panjang dan tajam. Kali ini satu, tiga, tujuh, aku tidak bisa menghitungnya.Â
Terlalu banyak paruh yang mematuk-matuk tubuhku. Sakit, perih, sengal, semua campur aduk. Apa yang terjadi padaku, habis akal aku mencernanya. Aku baru hidup sendiri baru beberapa jam sejak bang Rino, suamiku berangkat kerja sebagai awak kapal di sekitar samudera Pasifik.
Ia baru akan kembali tiga bulan lagi, tak mungkin dia akan mampu menolongku disini. Tapi aku tak menyerah, ku goyang-goyangkan seluruh bagian wajahku. Terasa urat-urat leher menyembul. Pengap. Sekarang bau amis perlahan mengetuk hidung, semakin dekat dan menusuk.
Ya Tuhan, aku tak pernah merasakan sebegini tersiksanya. Perlahan, ada rasa sejuk yang menempel di kaki, betis, naik ke atas paha, menindih perut dan kini kurasa akan naik keatas muka ku. Ku besarkan mata, hendak menangkap mahluk apa yang sedang menimpaku.
Blub..blub..blub...benda itu muncul didepan mataku. Bentuknya persegi panjang pipih seukuran tubuh orang dewasa. Sebentar, benda ini tampak ku kenal. Kuperhatikan lamat-lamat sambil menahan bau busuk yang hampir membuatku muntah.
Aku tak mungkin salah, ini benar-benar benda itu. Tanpa kepala, disiram dengan cairan semacam saus tomat yang busuk. Lembek dan anyir. Kulit-kulitnya bahkan bisa jatuh dengan mudah tanpa ku sentuh.Â
Dan ya, ini benar-benar potongan ikan sarden seukuran manusia. Berjalan sangat pelan di atas tubuhku. Ada warna kemerahan pekat yang tak bisa kujelaskan. Pelan, pelan sekali. Bagian-bagiannya naik dan akan segera melewatkan ku sebentar lagi. Aku hanya perlu menahan, rasanya seperti menahan muntah saat melihat potongan ikan-ikan yang membusuk berminggu-minggu.
***
"Cepatlah bangun" suara emak menarik seluruh tubuhku. Aku terduduk, di depan televisi yang sedang menayangkan berita kematian ABK Indonesia yang dibuang ke laut.
Aku menarik nafas panjang, di atas meja sudah menunggu dua kaleng kecil sarden saus tomat untuk dimasak. Sore ini kami berbuka dengan sarden lagi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H