Mohon tunggu...
Novita Sari
Novita Sari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Aktif di dunia literasi, pergerakan dan pemberdayaan perempuan

@nys.novitasari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Karena Mas Pono

22 April 2020   23:00 Diperbarui: 22 April 2020   23:09 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar kartun tentara/id.lovepik.com

Lelaki itu mengenakan kemeja putih, berambut cepak dengan ransel hitam besar yang menggelendot di punggung. Sejak tadi tatapannya tak lepas dari jam tangan yang melingkar di pergelangan kiri nya. Entah apa yang ia gusarkan, barangkali ia tak benar-benar mengharapkan hujan ini turun. 2 orang lagi tampak asik dengan percakapannya. Aku duduk bersebelahan tak jauh dari mereka, dibawah kanopi bagian depan bangunan ini, kami menyelusup dalam ingatan masing-masing. 

Hari ini adalah hari terakhir ku berjumpa mas Pono, setidaknya ketika hujan ini belum turun. Tepat satu jam lalu, setelah aku mengecap pemandangan ganjil di bandara kota untuk menjemputnya pulang bertugas. Sebagai seorang prajurit negara, mas Pono sering mengorbankan waktu nya bersama keluarga. Pun bersama ku, kekasih nya sejak dua tahun lalu. Sejak mas Pono mengikuti pendidikan dasar calon militer, aku sudah was-was.  Pernah waktu itu, saat kami masih sama-sama di masa akhir sekolah menengah atas, kuutarakan ketakutan ku pada mas Pono. 

"Kau sudah pikirkan matang-matang, mas" jawabku setelah ia bercerita panjang lebar. "Iya dik, ini keinginan bapak sebelum dia meninggal" jawab mas Pono datar. Sejak saat itu aku tak pernah menanyakan lagi keinginan nya untuk menjadi prajurit negara. Aku yakin cinta mas Pono padaku tak kan luntur meski kami terpisah pulau.

Selesai SMA, aku melanjutkan pendidikan di sebuah Universitas swasta di kota ini. Mas Pono tentu saja telah masuk akademi militer, memang,  ia memiliki postur tubuh yang tegap dan berisi, ditambah dengan wajah yang cukup sangar kurasa memang cocok untuk itu. Ditambah lagi, almarhum ayah Mas Pono adalah seorang prajurit. Cukup sudah. Hari demi hari ku lewati tanpa mas Pono. 

Dulu, biasanya sehabis pulang sekolah, ia akan mengantarku pulang. Ibu sangat sayang pada mas Pono, tak perlu waktu lama bagi mereka untuk akrab layaknya anak dan ibu kandung. Namun, semenjak mas Pono mengikuti akademi militer, ia tak pernah lagi kerumah. Ibuku cukup paham, ia juga bangga dengan calon menantu nya yang seorang pelindung negara.  

Diam-diam aku merindukan mas Pono, sudah satu tahun kami tak bertemu. Aku ingin menyambut nya dengan suka cita. Telah aku persiapkan hadiah-hadiah kecil yang ku kumpulkan untuk memperingati hari ulang tahun dan perayaan hari jadi kami. Pun segala cerita tentang teman-teman sekolah dulu yang telah menikah, memiliki anak, bahkan mereka yang menjemput ajalnya lebih dulu. Berbagi cerita dengan mas Pono tentu akan mengasyikkan, pikirku. 

Baju terbaikku telah ku setrika sejak lama, sebuah gaun tosca dengan renda dibawah lutut. Tergantung rapi dalam lemari kaca dikamarku. Tentu saja, aku ingin mas Pono takjub melihatku esok hari,  setelah sekian lama kami tak bertemu. 

Matahari baru saja muncul dengan malu-malu, aku bergegas mandi. Mematut wajah pada cermin dan memoles nya dengan taburan bedak. Aku bertolak menggunakan sepeda motor matik yang biasa kutunggangi. Jalanan menuju bandara cukup ramai. Orang-orang berseliweran, kadang-kadang bunyi klakson memenuhi gendang telinga. Sesampainya di bandara, aku memarkirkan motor. Berjalan gontai sambil mematut wajah pada cermin kecil yang kusediakan dalam tas.  

Aroma kemesraan sangat dekat dengan hidungku. Aku membayangkan mas Pono akan bertambah cinta dalam pandangannya padaku. Bandara itu cukup ramai, beberapa anggota keluarga dari prajurit yang lain juga tampak memenuhi tempat penjemputan. Mata-mata mereka mawas dengan keadaan sekitar, seakan yang ditunggu telah berada didepan mereka.  

Hingga beberapa orang yang lewat, akhirnya aku menangkap wajah orang yang ku kenal hadir didepan mataku, Bik Sumi, saudara dekat mas Pono saat itu menjawil tanganku. Aku segera menoleh. Langit seperti runtuh di mataku, tak ada lagi matahari, orang-orang bersijingkat dengan kesibukannya sendiri, melihat dengan tatapan nanar dan pergi sejauh mungkin. Mas Pono saat itu mengenakan seragam hijau khas militer. 

Tubuhnya tetap tegap, badannya berisi, serta kumis tipis memenuhi bagian atas bibirnya yang membuat aku hampir tak mengenal nya. Ia menggendong seorang bayi mungil putih yang menggemaskan, disampingnya seorang perempuan kecil tersenyum. Kaca mata nya membuat mukanya tampak lebih manis. Mereka tampak kompak sebagai keluarga yang bahagia. Aku berlari sekuat tenagaku, memacu motor dengan sesenggukan, duniaku kiamat hari ini. 

Aku mengutuk diriku sendiri. Aku membenci lelaki itu, lelaki yang padanya aku serahkan segalanya. Padahal ia sudah berjanji akan menikahi ku saat kembali pulang. Mungkinkah dia bisa berjanji untuk negara, sedangkan janjinya sendiri tak bisa ia pegang? Aku terus berkendara dengan kecepatan tinggi, sambil memukul-mukul perutku. Di dekat perempatan lampu merah hujan perlahan turun deras, aku menepikan motorku di dekat kanopi. Tiga orang laki-laki tampak juga berteduh.

Saat sedang memperhatikan sekitaran jalan yang basah, ponselku berbunyi, tampak notifikasi pesan dari nomor tak dikenal. “Dik, kamu dimana? Mas menunggu, tadi itu istri teman mas, Paiman. Dia sedang di toilet, dan mas membantu menggendong anaknya.” Hampir saja aku meloncat-loncat  sambil berteriak, tapi enggan ku lakukan takut orang-orang di sampingku memandang aneh. Andai saja mereka melihat, senyumku mekar saat itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun