Tubuhnya tetap tegap, badannya berisi, serta kumis tipis memenuhi bagian atas bibirnya yang membuat aku hampir tak mengenal nya. Ia menggendong seorang bayi mungil putih yang menggemaskan, disampingnya seorang perempuan kecil tersenyum. Kaca mata nya membuat mukanya tampak lebih manis. Mereka tampak kompak sebagai keluarga yang bahagia. Aku berlari sekuat tenagaku, memacu motor dengan sesenggukan, duniaku kiamat hari ini.
Aku mengutuk diriku sendiri. Aku membenci lelaki itu, lelaki yang padanya aku serahkan segalanya. Padahal ia sudah berjanji akan menikahi ku saat kembali pulang. Mungkinkah dia bisa berjanji untuk negara, sedangkan janjinya sendiri tak bisa ia pegang? Aku terus berkendara dengan kecepatan tinggi, sambil memukul-mukul perutku. Di dekat perempatan lampu merah hujan perlahan turun deras, aku menepikan motorku di dekat kanopi. Tiga orang laki-laki tampak juga berteduh.
Saat sedang memperhatikan sekitaran jalan yang basah, ponselku berbunyi, tampak notifikasi pesan dari nomor tak dikenal. “Dik, kamu dimana? Mas menunggu, tadi itu istri teman mas, Paiman. Dia sedang di toilet, dan mas membantu menggendong anaknya.” Hampir saja aku meloncat-loncat sambil berteriak, tapi enggan ku lakukan takut orang-orang di sampingku memandang aneh. Andai saja mereka melihat, senyumku mekar saat itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H